Di Indonesia, umat/jemaat yang merindukan untuk membangun tempat ibadah (mis.gedung gereja) dengan menghadirkan pejabat pemerintah, tentu tidak sekadar suatu sikap harmoni dalam kerangka tri toleransi: toleransi antar umat beragama, toleransi intern umat beragama, dan toleransi umat beragama dengan pemerintah.Â
Tidak sekadar perwujudan tri toleransi itu, tetapi sudah rahasia umum bahwa kehadiran pejabat pemerintah dan pejabat politik sangat berpengaruh pada gerak dan daya pembangunan itu sendiri. Oleh karena itu, "ritual" yang demikian tidak mudah dilakukan oleh pihak institusi keagamaan, misalnya oleh kaum Kristen, termasuk di sebahagian provinsi Nusa Tenggara Timur dimana Gereja Masehi Injili di Timor (GMIT) berdiri.
 Pendekatan (lobi) untuk menghadirkan seorang pejabat pemerintah (gubernur, bupati, walikota) mesti dilakukan beberapa kali agar memastikan hal kehadirannya. Hal ini sangat penting mengingat penjadwalan kegiatan pejabat pemerintah yang padat dan sangat sering bertubrukan acara/kegiatan.Â
Bila pejabatnya sudah menyatakan kesiapan menghadiri undangan yang dilakukan dengan pendekatan nateek oko'mama' ~ (harfiah meletakkan tempat sirih-pinang), maka pulanglah perwakilan umat dengan badan yang terasa amat ringan dan hati riang.Â
Mereka akan sangat bersemangat menyiapkan segala hal yang akan menaikkan derajat umat/jemaat/masyarakat dan pejabat itu sendiri. Harga dan nilai kehadiran seorang pejabat pemerintah terasa lebih penting dibandingkan kehadiran seorang pejabat gereja (agama). Padahal, membangun Gedung gereja tidaklah di bawah control pemerintah.Â
Perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan pembangunan dilakukan oleh Majelis Jemaat yang kolektif kolegial.Â
Majelis Jemaat membentuk satu panitia yang bekerja sampai bangunan itu selesai. Sementara itu secara organisatoris, Majelis Jemaatlah yang bertanggung jawab pada keseluruhan program pelayanan, pembangunan dan pengembangan gereja.
 Posisi pejabat pemerintah bagai "penginjeksi" semangat dengan daya dan nutrisi tertentu belaka. Ada harapan terselubung atau bahkan benar-benar terbaca ketika pejabat pemerintah benar-benar hadir dan menyatakan sesuatu yang meringankan beban.Â
Padahal, beban itu sendiri dibuat oleh jemaat/umat yang merindukan adanya suatu bangunan tempat ibadah (dhi. Gedung gereja). Mengapa bergantung pada pemerintah? Karena tri toleransi tadi. Pemerintah (provinsi, kabupaten, kota) memiliki sumber daya/dana yang kiranya dapat disalurkan untuk mengurangi beban anggaran dari jemaat/umat.
 Pernyataan ini tidak mudah diterima oleh jemaat/umat yang sedang membangun, tetapi fakta bahwa menghadirkan pejabat pemerintah di kalangan umat beragama dalam kerangka membangun tempat ibadah sudah dipastikan untuk mendapatkan suntikan anggaran.
Maka, umat beragama di Nusa Tenggara Timur dewasa ini sangat suka mengundang Gubernur NTT, Dr. Victor B. Laiskodat. Kehadirannya akan membuat masyarakat (umat beragama) merasa "ringan badan" dibandingkan bila pejabat non pemerintah. Lalu, bersukacitalah mereka yang mendapatkan "hujan berkat" dari Gubernur NTT, Dr. Victor B. Laiskodat. Akankah "hujan berkat" itu terlunasi segera?