Pengantar
Dunia pendidikan di Indonesia telah berada dalam arus global di mana kemajuan dan kecanggihan produk teknologi bagai merajai sendi-sendi kehidupan umat manusia. Produk teknologi yang semula untuk memudahkan dalam berkomunikasi dengan "mengabaikan" telepon kabel; kini makin kompleks dan memudahkan bahkan rada memanjakan. Rasanya setiap individu pada zaman ini tak dapat menikmati kehidpan bila tidak bersentuhan dengan produk teknologi informasi dan komunikasi (TIK).
Ragam produk TIK[3] telah menjadi kebutuhan umat manusia. Produk-produk itu mengalami evolusi yang makin memudahkan untuk dapat dipindahkan dari satu tempat ke tempat lainnya. Setiap produk yang terlihat kasar (hardware) dan berat, selanjutnya diupayakan agar semakin halus/tipis, ringan dan indah. Lalu di dalamnya ditempatkan produk yang disebut aplikasi (software).
Ragam aplikasi telah merambah dunia bersamaan dengan adanya varian telepon pintar (smartphone). Setiap produk telepon pintar diikuti dengan gencarnya promosi keunggulan, baik keunggulan dalam tampilan (hardware) maupun isi (software).
Ketika dunia dilanda covid-19, terjadi loncatan besar dalam proses pembelajaran di sekolah. Hal ini menyebabkan para guru di pedesaan merasa canggung menggunakan telepon pintar dengan segala fitur dan aplikasi yang tersedia, apalagi diwajibkan untuk menginstal aplikasi yang dikreasikan.Â
Mengapa canggung? Karena sebelumnya telepon genggam yang ada panya berisi fitur yang cukup untuk mengirim pesan, menerima telepon dan bergirang (alias memainkan permainan di dalamnya).
Sesudah badai covid-19 berlalu, hal belajar dan mengajar dengan pendekatan "baru" diperkenalkan dengan tensi yang terkesan "menekan". Kurikulum Merdeka diikuti dengan aplikasi Platform Merdela Mengajar dengan segala fitur di dalamnya, dan sejumlah aplikasi yang wajib diwujudkan oleh guru. Kegalauan pun terjadi pada guru-guru di pedesaan. Benarkah? Mari kita berdiskusi.
Kegalauan Belajar untuk Mengajar Guru di Pedesaan dengan Pendekatan Digital
Menurut KBBI, arti galau adalah sibuk beramai-ramai; ramai sekali; kacau tidak keruan (maksudnya kacau dalam berpikir, pikiran). Dalam bahasa yang gaul, galau merujuk pada perasaan sedih, tidak karuan, kurang nyaman, kebingungan, gelisah, khawatir, menyesal, kacau, dan kesal. Kata galau sering digunakan ketika kebingungan dalam mengambil keputusan [Sumber].
Sub judul ini terbaca seperti menjauh dari judul (tema) tulisan/artikel. Tidak! Ia tidak pergi jauh karena subjek dan objek artikel ini yakni guru. Guru yang menunaikan tugasnya dengan belajar untuk mengajar. Bila guru sudah belajar, tentulah ia akan siap untuk mengajar.Â
Setiap harinya, guru mesti belajar, paling kurang membaca materi ajar dan mencari sumber lain yang memperkaya materi ajar yang disiapkannya. Lalu menyediakan media pembelajaran yang tepat agar "pesan" yang disampaikan kepada muridnya dapat segera dipahami.
Guru mesti belajar secara baik dalam rangka mengajar secara baik pula. Pada masa sesudah covid-19 guru mesti siap berenang (dan mungkin bersenang juga) di dalam arus aplikasi. Aplikasi membutuhkan perangkat (wadah) yang tepat. Maka, guru secara langsung maupun tidak langsung, dianjurkan atau dipaksa, mestilah memiliki perangkat "pintar" produk teknologi informasi dan komunikasi (TIK).
Dua produk TIK yang paling mudah dimiliki guru yakni laptop dan telepon pintar. Keduanya mudah dibawa kemana-mana. Masalahnya ada pada:
- Tersedianya jaringan listrik dan jaringan internet,
- Kemauan belajar dan berlatih agar memiliki pengetahuan dan ketrampilan menggunakan laptop dan telepon pintar yang isinya (software) berupa aplikasi baik bawaan maupun yang dipasang (install) sendiri.
- Kemauan untuk merugi karena pemanfaatan jasa jaringan komunikasi (internet) diperlukan ketersediaan anggaran untuk pembiayaannya (tidak gratis).
Kira-kira pada ketiga titik masalah itu ada kegalauan guru di pedesaan.
Ketika kegalauan masih mendera guru di pedesaan oleh karena berjibakunya tugas-tugas administrasi melalui dan di dalam jaringan[7], pemerintah pusat (Presiden dan Kabinetnya) berganti. Kurikulum Merdeka dan ikutannya melalui dan di dalam jaringan yang digagas oleh Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi, Nadiem Anwar Makarim pun dikaji kembali oleh Abdul Mu'ti Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (dalam Kabinet Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka).
Bila sebelum covid-19 (before covid-19Â ~ BC) guru mengikuti pendidikan dan pelatihan manual (tatap muka), kini pelatihan-pelatihan dilakukan baik mandiri maupun bersama-sama, dilakukan melalui dan di dalam jaringan (online).
Ketika muncul Kurikulum Merdeka dengan ikutannya berupa Platform Merdeka Mengajar yang dapat diakses oleh setiap guru, maka kegalauan melanda guru di pedesaan.
Jika dapat melakukan suatu riset sederhana pada guru di pedesaan dengan pertanyaan, apakah Anda/Saudara sudah dapat mengakses Platform Merdeka Mengajar? Tentu ada ragam jawaban dari para guru. Paling kurang ada jawaban seperti ini:
- Sudah pernah
- Sudah pernah tetapi ...
- Tidak/belum pernah
Lalu kita melakukan kalkulasi dengan memprosentasikan dengan angka, kiranya dapat diketahui perkembangan apa yang sudah terjadi pada para guru khususnya pada satu "pintu" masuk menuju tugas melalui dan di dalam jaringan (online).
Platform Merdeka Mengajar bukan satu-satunya aplikasi yang perlu diketahui dan dioperasionalkan oleh guru. Masih terdapat sejumlah hal seperti:
- MyASN
- Belajar.id
- Presensi, (dan masih ada lagi, dan lagi?)
Padahal, tugas pokok guru yang bersifat administrasi belum tentu dapat diwujudkan secara menyeluruh, namun sudah bertambah pula yang harus dikerjakan dengan pendekatan online. Tugas-tugas administrasi pembelajaran yang pokok seperti:
- Kalender pendidikan/akademik dan Jadwal Pelajaran
- Program Tahunan dan Program Semester (Analisis Standar Komptensi dan Kompetensi Dasar)
- Silabus dan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP)
- Program Remedial dan Pengayaan (jika perlu)
- Daftar Hadir Siswa, Daftar Nilai, Daftar Pembagian Tugas, Daftar Inventaris Kelas, dan lain-lain
Apakah semuanya ini dapat diselesaikan oleh Guru? Tentu harus dapat diselesaikan dengan pendekatan manual agar terlihat oleh dirinya sendiri dan Kepala Sekolah. Tugas-tugas yang normal ini kiranya menjadi santapan harian guru.
Seiring berkembangnya teknologi, maka hal ini berdampak pada dunia pendidikan pula. Mengenalkan teknologi pada dunia pendidikan dengan pendekatan bekerja melalui dan dalam jaringan, bukanlah sesuatu yang tabu. Hal itu sangat perlu ketika umat manusia berada dalam dunia yang makin sempit. Data dan informasi yang jauh, kini didekatkan hanya dengan sentuhan.
Maka, literasi digital patutlah menjadi milik para guru di pedesaan pula. Apakah Anda sebagai guru di pedesaan telah memiliki ketrampilan itu?
Penutup
Sebagai kesimpulan sederhana ketika guru di pedesaan menjadi bagian tak terpisahkan dari dunia yang berkembang yakni:
- Guru di pedesaan tidak dapat mengelak ketika dunia pendidikan yang memasuki teknologi pendidikan dengan kecanggihannya makin berkembang. Maka belajar baginya mestinya mutlak, bukan ngeles [Sumber].Â
- Pemerintah (Pusat dan daerah) dapat menerapkan kebijakan pembangunan yang mendukung dunia pendidikan di pedesaan (daerah 3T) dengan prioritas utama pada jaringan listrik dan jaringan internet tanpa mengabaikan infrastruktur lainnya yang sering menjadi tantangan pada guru.
Terima kasih
Nekmese, 22 November 2024
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H