Era apa lagi ini? Sungguh, biarpun semua literatur di bolak-balik,
tidak akan ditemukan era seperti ini. Para pakar sejarahpun belum
mengenalnya sampai saat ini. Lalu? Post Meta Litikum*) mengalir dengan
sendirinya. Di suatu belahan dunia yang tersusun oleh batu-batu zamrud,
membentang di sepanjang ekuator.
    Sekonyong-konyong saja kita terlibat di dalamnya, bergumul,
bergelut ngos-ngosan. Di setiap jalan, wajah peradaban Post Meta Litikum
akan tergambar dengan gamblang. Dan itu adalah wajah post meta litikum
yang kita bicarakan ini.
   Sistim politik yang dianut di era itu, adalah demokrasi yang telah
menjelma ke suatu bentuk yang aneh (seperti spesies yang terpapar
radioaktif lalu menjelma menjadi alien). Ketika suara mayoritas telah
menyepakati suatu aturan, namun tetap saja ada kelompok yang merasa
lebih superior sehingga merasa layak untuk mengacak-acak kesepakatan
itu.
  Mahasiswa-mahasiswa sedang belajar begitu banyak macam disiplin
ilmu. Tidak terkira, hampir semua ilmu yang ada di dunia ini telah
dipelajari. Bahkan ilmu yang ada di langitpun, tidak sedikit yang
mendalami dan menguasainya. Ilmu bahasa, budaya, teknik, sains, ekonomi,
filsafat, hukum, ilmu santet dan segala macam ilmu lainnya telah
tersedia untuk digeluti. Tetapi ketika tiba dalam urusan komunikasi,
maka mereka hanya memahami dengan sangat matang, satu bahasa, yaitu
bahasa batu. Iya, bahasa batu. Batu akan mudah melayang mengantarkan
ekspresi emosi, ekspresi protes, ataupun ekspresi sekadar iseng
menjahili.
    Begitu kental dan militan bahasa batu itu, hingga wakil-wakil
rakyat maupun para penguasa di negeri itu, menjadi tidak mengerti bahasa
tulis maupun bahasa-bahasa yang telah mewakili peradaban manusia yang
mulia. Aspirasi atau apapun, bila disampaikan secara terhormat, dalam
baris-baris kalimat di atas kertas, hanya akan menjadi pelengkap suatu
seremoni. Maka, bahasa batu menjadi bahasa yang efektif.    Sambil menyusuri jalan-jalan raya, garis dan rambu lalulintas sudah
menjadi masa lalu. Lajur kiri dan kanan tidak cukup hanya diberi tanda
garis solid dengan cat putih di atas aspal. Di era ini, garis-garis
tidak berguna sama sekali. Maka terjadilah, lajur kiri kanan perlu
dibatasi menggunakan batu yang diberi nama trotoar. Nasib lampu merah
setali tiga uang. Traffic light itu lebih merupakan pajangan di setiap
persimpangan, ketimbang menjadi pengatur silih bergantinya arus lalu
lintas. Sepertinya sedang dikembangkan sistim tembok yang akan naik
turun di setiap persimpangan itu, untuk sebentar lagi menggantikan lampu
merah kuning hijau itu.
    Lalu di ujung jalan, kita sampai, berhenti. Kita akan masuk ke
bangunan-bangunan batu, menenteng segala sesuatu yang otaknya digerakkan
oleh produk dari silicon valley. Iya, rekayasa yang begitu maju bukan
hanya merubah bentuk-bentuk asli silikon, litium, germanium ke dalam
ukuran-ukuran nano, namun juga mengembangkannya ke dalam fungsi yang
begitu spektakular. Batu tulis segenggaman tangan, dua tiga keping akan
terselip di tentengan setiap orang.
    Batu-batu tulis itu menjadi semacam magic. Orang yang
menggenggamnya bisa tiba-tiba tepekur begitu asyik mempermainkan
ular-ularan yang merayap di permukaan batu tulisnya. Lalu tiba-tiba saja
ditempelkannya batu itu ke telinganya sambil cekikikan dalam obrolan
ngalor ngidul, entah dengan siapa. Ekspresi setiap orang menjadi hampir
seragam. Berkonsentrasi pada keping-keping batu di genggamannya, hampir
di sepanjang waktu. Syndrom autisme menjadi lumrah.
    Yang sangat mencengangkan di era Post Meta Litikum itu adalah
semangat spiritualitas yang membara pada setiap orang. Memang, ada
banyak jenis kepercayaan yang berkembang. Dan semua kepercayaan itu akan
mengantarkan masing-masing penganutnya, menuju surga dan nirwana.
Setidaknya, begitulah janji dari setiap kepercayaan itu. Hanya saja,
semangat yang menggebu itu kemudian kadang menciptakan horor. Ada yang
menganggap keyakinan spiritualnya adalah yang paling benar, lalu merasa
mendapatkan wahyu dari langit untuk memaksa kelompok lain mengganti
keyakinan yang telah dianutnya sejak tujuh turunan yang lalu.
    Begitu riuh rendah kebisingan oleh semangat yang berkobar itu. Di
suatu tempat lain, ada kelompok keyakinan yang begitu memaksa bisa
memiliki rumah ibadah di tengah-tengah kelompok keyakinan lain. Lalu di
bagian lain, ada yang mempunyai Tuhan sedemikian 'tuli' hingga perlu
diteriaki dengan raungan loudspeaker bernada sumbang.    Namun di dalam praktek keseharian, sebenarnya mereka hanya menganut
satu paham saja, paham yang seragam membungkus aneka kepercayaan
spiritual tadi, yaitu paham pragmatisme yang oportunis. Mencapai hasil
dari setiap aktifitas, tanpa perlu dipusingkan bagaimana hasil tersebut
dicapai. Semua pancaindera menjadi sedemikian pekanya, untuk
memanfaatkan setiap peluang yang menghasilkan keuntungan, sesegera
mungkin dan tentu saja semaksimal mungkin. Sepertinya, semua pengakuan
spiritual yang ada hanyalah untuk membungkus keseragaman paham ini.
    Kemunafikan**) sudah menjadi naluri, yang melandasi paham pragmatis
yang oportunis itu. Namun untuk secara terang-terangan mengakui bahwa
kemunafikan telah menjadi way of life, tentu saja merupakan aib.
Karenanya berkembanglah begitu pesat beribu macam taktik dan cara
sehingga praktek kemunafikan menjadi samar dan buram. Beragam istilah,
phrasa, kiasan dan peribahasa dilahirkan, semata untuk memoles perilaku
munafik itu. Di dalam setiap hati orang-orang itu sebenarnya telah
tumbuh batu-batu egoisme yang ganas, yang akan menghangatkan setiap
detak jantungnya. Dan begitulah, era Post Meta Litikum itu bermula,
bertumbuh kembang.
this article also posted on my blog
*) Post Meta Litikum, bukan istilah resmi di dalam rangkaian perjalanan sejarah umat manusia. Karenanya, Post Meta Litikum bukan merupakan istilah ilmiah, sehingga tidak untuk dijadikan rujukan untuk keperluan penelitian ataupun paper ilmiah. Istilah ini lahir begitu saja sebagai ekspresi sinisme tentang situasi yang digambarkan di dalam artikel di atas.
**) Kemunafikan adalah perwujudan dari sifat munafik. Sifat munafik dicirikan oleh tiga indikator utama, (1) bila berjanji akan ingkar, (2) bila dipercaya akan berkhianat dan (3) bila dititipi amanah, tidak terselenggara
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H