Pelajaran agama sudah sangat intensif, Moral Pancasila sudah digalakkan, hampir semua instansi bicara tentang anti korupsi. Â Semua sudah paham mengapa tetap ada korupsi, semua sudah paham bagaimana memberantas korupsi. KPK yang super body juga sudah ada. lalu kenapa tetap saja korup?
kita sudah paham kenapanya. kita sudah paham bagaimananya. Â Kita disuruh mutar mutar pada bagian itu tanpa political will untuk memutus rantai korupsi. Memang tidak ada niat. Semuanya hanya menghabishabiskan beaya dan semakin nambah proyek anggaran. Tak satupun partai ataupun individu yang punya wacana konkret sebagai visi untuk menghapus sistem yang korup. Tak satupun!
Sementara sebagian elite melakukan bias aksi namun ga guna. Seakan akan ada pertengkaran antara menteri dengan anggota parlemen, akhirnya ya anteng anteng wae, damai damai saja. Ga ada kemajuan apapun berkaitan dengan pemberantasan korupsi. Semua tahu kenapanya. Karena banyak kepentingan di dalamnya.
Bias aksi adalah sebentuk kegiatan yang dilakukan hanya sekadar daripada ga ngapa ngapain. konon, seorang penjaga gawang akan melakukan aksi lompat ke kanan ke kiri demi lebih tampak atraktif daripada diam saja di tengah tengah. karena diam, menunggu itu ga atraktif. Tapi itu lebih berguna karena kemungkinan untuk berhasil mencegah gawang kebobolan lebih tinggi.
Tahun 2013,politisi Partai  Demokrat (PD) Ahmad Mubarok, mengibaratkan proses hukum terhadap politisi yang tersandung kasus-kasus korupsi seperti arisan nasib.  dikocok, siapa yang kena sial terlebih dahulu. Itu saja. Mereka adalah subjek, mereka adalah pelaku yang tidak sekedar berwacana atau membangun hipotesa. Mereka tahu persis dan mereka kenal satu satu medannya dalam berkorupsi itu. Bagi bagi kue untuk diri sendiri, untuk simpatisan, untuk partai. Ya sampai di situ saja.
Persis itulah teorinya, bahwa korupsi di Indonesia termasuk ketertangkapan pelakunya itu seperti arisan. bahkan seandainya KPK tutup mata dan dengan random akan menangani kasus yang mana, sudah pasti akan dapat masalahnya. Jadi kelewat absurd sebenarnya kalau dikatakan KPK ga efektif, mereka ga berhasil  mencegah dan memberantas korupsi, dll. Semua tahu, ada kepentingan di dalamnya dan KPK harus bergumul dengan berbagai kepentingan itu. Aduan maupun masalahnya yang menanti ditangani KPK sudah sangat banyak. Bahwa ada berbagai isu, berbagai gerakan, dll itu semua adalah bias aksi. Sebuah atraksi yang memang tidak berguna, kecuali untuk membangun citra dan narasi bahwa mereka eksis dan ada kerjaan. Padahal sebenarnya ya tidak terlalu berpengaruh.
Harus Korupsi
Semoga masih ingat apa yang dikatakan oleh mantan bupati yang tertangkap KPK ini, "kalau tadinya saya tahu gajinya segini jadi bupati, saya nggak nyalon, demi Allah saya nggak nyalon."
Lalu dilanjutkan, "Pasti harus, bukan potensi tapi harus korupsi, karena lama-lama kita jadi mikir, kita punya partai dan punya tim sukses!"
Pada bagian ini semua paham. Kita beralih ke ungkapan mantan menteri ekonomi,  Rizal Ramli dalam sebuah  kesempatan dialog tentang presidential threshold: "Kalau mau jadi Bupati mesti nyewa partai, sewa partai itu antara 30 sampai 50 miliar. Ada yang mau jadi Gubernur harus nyewa partai dari 100 miliar sampai 300 miliar. Presiden tarifnya lebih gila lagi."