Kalau dalam kotbah kotbah saya sering mengatakan begini: jangan kita merasa menderita sendirian, bukan hanya orang orang lain memiliki masalah dan pergumulan yang sama, bahkan lebih berat dari penderitaan kita, bahkan Allahpun pernah merasakan penderitaan kita. Penderitaan fisik, penderitaan psikologis, maupun penderitaan religius. Juga solidaritas Allah atas pergumulan manusia untuk bekerja, untuk berfikir, untuk berusaha hidup suci.
Apa yang mau dikatakan: bahwa penderitaan kita saat ini, pergumulan kita saat ini, termasuk situasi pandemi, adalah juga apa yang dirasakan dan pernah dirasakan Allah. Allah tidak semata mata menjatuhkan hukuman atas keserakahan manusia, tapi tentu juga sedih atas itu semua. sekaligus pada saat yang sama, kalau Allah yang diimani saja solider kepada pergumulan manusia, semestinya orang atau manusia yang mengimaninya juga punya solidaritas yang sama pada sesamanya.Â
Masalah global saat ini bukan hanya pandemi, tapi pandemi covid-19 menegaskan tuntutan kehidupan untuk bisa solider. Solidaritas yang dituntut, melampaui sekat sekat identitas individualisme kita. Covid melintasi batas batas agama, batas batas rasial, batas batas regional, batas batas ekonomi, dll. Semuanya dituntut untuk bisa solider dan saling bergandeng tangan menyelesaikan masalah. tetapi harus diingat bahwa masalahnya bukan hanya pandemi.Â
Ada masalah kemiskinan, pengangguran, pengungsian, kelaparan, ketidakadilan, keserakahan, dll. Banyak orang yang menyadari dan mengalami situasi ketidakpastian, situasi berhadapan dengan bahaya, situasi ketidakberdayaan, dan semoga yang semacam ini menyadarkan mereka, di manapun, bahwa banyak situasi masyarakat yang sudah lebih dahulu mengalami hal serupa. Para pengungsi akibat perang, pengungsi akibat diskriminasi, mereka yang tinggal di negara negara miskin, para pengangguran, dll. Satnya untuk membangun solidaritas.
Mengapa kita harus peduli? pertanyaan etisnya begitu. Martin Heidegger mengatakan manusia hidup dalam situasi yang tidak dia pilih. Kita tidak bisa memilih untuk lahir di mana dalam situasi bagaimana. Dia merumuskan bahwa hidup adalah keterlemparan. Maka, dalam situasi ketidakpastian dan keterlemparan semacam itu, kita harus membangun solidaritas.Â
Kita harus peduli, karena bahkan sewaktu waktu kita akan mengalami hal yang mungkin serupa dengan mereka. Suatu saat kita juga akan membutuhkan kepedulian orang lain. saat kita sakit, saat kita menjadi seorang tua yang manula, saat kita sendirian dan kesepian, dll. Kita menginginkan atau sewaktu waktu kita butuh kepedulian orang lain, maka kitapun dituntut untuk peduli. Moment ini, pandemi menjadi moment yang menyadarkan kita.
Cahaya Pengharapan
Kalau tadi kita bicara Allah yang solider, Allah yang juga merasakan penderitaan manusia, lalu kita bertanya, kalau Allahnya saja menderita, lalu bagaimana dengan kita, yang manusia fana ini? Peristiwa paskah adalah serangkaian utuh, penderitaan, kematian, dan kebangkitan. Ada kata kata menarik dari Yesus tentang hal ini, Sesungguhnya jikalau biji gandum tidak jatuh ke dalam tanah dan mati, ia tetap satu biji saja; tetapi jika ia mati, ia akan menghasilkan banyak buah (Yoh 12:24)
Saya tidak membayangkan bahwa Yesus sebagai manusia yang menjalani kisah sengsara itu sudah membayangkan kebangkitan. Meskipun banyak menubuatkan hal hal tersebut, seperti ketika mengobrak abrik bait Allah yang dijadikan tempat berdagang, Dia mengatakan, "robohkanlah bait Alllah ini, dan dalam tiga hari Aku akan membangunnya kembali."Â
Satu hal yang tampak dalam ketaatanNya pada penyelenggaraan dan perutusanNya adalah pengharapan. Bahwa penderitaan bukan akhir dari segala galanya. Sebaliknya, seperti biji gandum yang mati untuk sebuah kehidupan baru, demikian penderitaan dijalani untuk mewujudkan sebuah harapan kehidupan baru. Paskah, yang dari kata pasca, setelah, terlewati adalah sebuah cahaya pengharapan.
Dalam peristiwa paskah, pembebasan mesianik dipahami secara baru dan lebih universal daripada sekedar pembebasan politik bangsa Israel dari penjajahan Romawi. Dalam perkembangan modern, ada banyak sekali konsep konsep kristologi, permenungan tentang mesianisme secara lebih kontekstual. Maka, mengaitkan peristiwa pandemik ini dengan peristiwa pembebasan mesianik, juga bisa dilihat bahwa pandemi sekarang ini banyak sekali membuka kesadaran baru. Secara ekologis, alam menjadi lebih bersih, polusi berkurang, langit jakarta menjadi lebih biru, lubang ozon mengecil. Secara sosial, memunculkan kesadaran pentingnya menjaga diri, menjaga kesehatan, menjaga persaudaraan dan solidaritas, berlaku adil kepada sesama, dan peduli pada mereka yang membutuhkan. Secara religius, membuka kesadaran baru bahwa beragama tidak semata mata formalitas, kadang harus melampaui itu, ketika kita dituntut untuk beribadah dari rumah.Â