Mohon tunggu...
Herulono Murtopo
Herulono Murtopo Mohon Tunggu... Administrasi - Profesional

Sapere Aude

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Ketika Covid-19 Menelanjangi Penyakit Kita

22 Maret 2020   11:23 Diperbarui: 22 Maret 2020   11:47 87
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam hal ini, semestinya pihak pemerintah baik di tingkat pusat maupun di tingkat lokal bekerja sama dengan pihak pihak terkait yang memang di bidang kesehatan, baik secara riset sains, maupun di para medis yang menangani. Sementara, kepada masyarakat yang sering menjadi objek dan sekaligus sering jadi mediator hoaks, biasakan untuk menguji dulu kebenaran informasinya. Gunakanlah prinsip prinsip sains.

Egoisme

Wajar sih kalau manusia itu egois, egosentris, ketika memusatkan segala sesuatunya pada keakuan. Hakikatnya semua orang adalah makhuk yang egois. Karena sikap egois merupakan unsur penting dari insting pelestarian diri. Tanpa insting ini orang ataupun spesies akan lenyap ditelan hukum perubahan semesta. Tapi kalau hanya mementingkan diri sendiri dan tidak peduli atas pihak lainnya itu bermasalah. Mengingat orang lain juga memiliki kebutuhan dan kepentingan yang sama dengan kita. 

Termasuk, membutuhkan sesuatu yang sama. Ada pepatah bahwa krisis, situasi krisis apapun, sering kali menunjukkan kepada kita siapa seseorang yang sesungguhnya. Dan kita memang dalam arti tertentu berwajah ganda dalam kemunafikan. Kita dikenal sebagai masyarakat yang saleh, tapi terjebak pada kesalehan formal yang justru kehilangan nilai kesalehan sosialnya. 

Kita melihat situasi masyakat yang dalam arti tertentu susah diatur. Ketika ada situasi darurat untuk di rumah, banyak orang yang justru berjalan jalan untuk sesuatu yang tidak darurat. Ada seruan untuk sementara menghindari keramaian malah menggelar keramaian. Yang semestinya kita bisa berbagi, seperti peralatan yang dibutuhkan selama masa luar biasa wabah corona ini malah rebutan. sudah begitu, prinsip ekonomi berlaku. Banyak kebutuhan  maka harga meningkat. 

Bukan hanya meningkat tajam, ganti harga. Karena ketakutan akan kesulitan di kemudian harinya,  orang orang yang punya uang lalu menimbun kebutuhan. Panik. Kepanikan semacam ini, muncul  dari rasa takut yang terinternalisasi melalui informasi-informasi yang beredar di dunia maya. Ketakutan menjadikan orang-orang melakukan segala cara walaupun dengan merugikan orang lain. Memang menjadi basic instinct manusia untuk survive. Tapi kalau tidak diimbangi dengan nalar yang tepat bisa menjadi salah langkah.

Inilah penyakit kemanusiaan kita yang sesungguhnya. Egois dan munafik yang paradoks dengan nilai nilai keberagamaan kita yang sesungguhnya. Kita tidak mau lockdown, tapi kita juga tidak mau mematuhi anjuran. Kita tidak bisa rendah hati dan patuh pada sesuatu yang kita kepada mereka sudah kita percayakan untuk dibuatkan kebijakan kebijakan publik.

 Meskipun kadang mereka juga menjadi sangat naif, ketika musim kampanye mereka memproduksi kaos besar besaran untuk dibagikan sementara masyarakat sudah punya banyak kaos, dan persis saat masyarakat butuh masker kok tidak ada satu partaipun yang mencoba membuat masker secara massal untuk dibagikan. Bahkan ada juga anggota dewan yang jalan jalan liburan ke luar negeri.

Ketidakadilan Berfikir

Ketidakadilan berfikir merupakan ketidakobjektifan dalam berfikir dan menilai sesuatu. Dalam tingkat global ketidakadilan berfikir ini memunculkan isu rasial. Ada politikus kita bahkan ingin menyematkan kata Wuhan dalam penamaan virus Covid-19. Dengan alasan untuk kejujuran dan pelurusan sejarah. Menjadi sangat naif kalau hal itu dibuat hanya karena ada konotasi ras tertentu saja, dan tidak berlaku untuk jenis jenis virus yang lain. Dipertanyakan, apa urgensinya dengan penyebutan nama itu.

Ketidakadilan berfikir di masyarakat kita juga sangat dipengaruhi oleh perpecahan politik yang diakui atau tidak memainkan dan memanfaatkan isu isu agama. sehingga: sebaik apapun kebijakan yang diambil oleh presiden Jokowi oleh kelompok lawan politik akan dianggap buruk. sebaliknya, sekarang, sebaik apapun langkah yang diambil Anies Baswedan sebagai gurbernur, oleh lawan politiknya akan dianggap buruk. sebaliknya, langkah langkah yang salah oleh pendukungnya tetap dianggap sebagai sebentuk kecerdasan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun