Dalam debat semalam ada satu hal yang cukup menarik, budaya asal bapak senang. ABS. Penjilat. Sebagai budaya, bikin meringis hati ini. Setara dengan budaya korupsi.
Takutnya nanti koruptor dan juga penjilat birokrasi nanti merasa diri sebagai budayawan. Karena tindakan mereka disebut sebagai salah satu budaya masyarakat. Tapi sebenarnya, baik di lingkaran kubu 02 dan 01 ada juga penjilat penjilat birokrasi.
Buktinya, kalau pilihan mereka melakukan kesalahan, segera yang membuat klarifikasi dan pembelaan adalah para loyalisnya. Mereka seperti ingin menyenangkan jagonya. Pilihannya. Prabowo menyampaikan pengalamannya dulu di militer, bayangkan militer saja ada kebiasaan, saya sebut kebiasaan sajalah ya, daripada disebut kebudayaan, untuk ABS. Apakah jaman sekarang juga masih ada?
Ada beberapa peristiwa yang mau saya acu untuk membaca hal tersebut. Pemangkasan birokrasi dalam arti tertentu sudah sangat berhasil di jaman sekarang. Seorang guru, pensiunan pegawai negeri, bercerita dalam kesempatan bersharing komunitas.
Sebagai pegawai negeri, dahulu bahkan kalau ambil gaji saja, selalu ada amplop amplop yang harus diberikan kepada petugas. Lebih dari dua meja untuk dilalui dalam pengambilan gaji dan masing masing harus diberi amplop. Isinya uang tentu saja. Ada amplop didahulukan dan dipermudah pengambilan gajinya. Baru pada akhir akhir beliau menjelang pensiun belum lama ini, cara cara semacam itu sudah tidak ada lagi. Cerita dari seorang mantan guru SD.
Beda lagi ceritanya dengan seorang ibu juga, yang punya banyak sekali tanah di Jakarta, dia dulu menjabat direktur BUMN sekarang masih dipekerjakan sebagai konsultan perusahaan multinasional. Dia bercerita, dahulu, lagi lagi dahulu, ketika menjabat sebagai direktur BUMN, "saya itu mau uang berapa saja mas... gampang... orang setiap tanda tangan selalu ada uangnya. yang namanya bungkusan uang itu numpuk numpuk. Tapi semenjak menjelang pensiun (hampir sama ya dengan yang tadi) cara kerja semacam itu sudah tidak ada lagi, saya ikut senang sebenarnya meskipun tentu saja pemasukan berkurang"
Waktu itu saya menyahut, "Ah... ibu baru setelah mau pensiun bertobatnya..."
"Hahaha... itulah sekarang saya sekarang membuat silih, tobat, saya memberikan banyak amal." Dan memang amal yang diberikan baik kepada ormas maupun individu sangat besar dari beliau ini.
dahulu, segitu-girunya berusaha menyenangkan atasan tapi sekarang situasinya berubah. terutama sejak ada pemangkasan birokrasi yang dahulu berbelit belit. Terutama dengan adanya sistem ebudgetting. Dalam birokrasi pemerintahan juga sudah dipangkas sedemikian rupa sehingga ada harapan ke depannya jauh lebih baik. Misalnya kita mendengar juga dulu akrab dengan istilah 'damai' kalau ditilang polisi. Nyatanya sekarang hal tersebut sudah bisa dipastikan tidak ada lagi. Setidaknya sekarang suara suara 'perdamaian' semacam itu sudah tidak terdengar lagi.
Tetap Ada
Nyatanya masih ada juga kasus pejabat tertangkap suap. Lepas dari investigasi lebih jauh, dan saya tidak kompeten untuk melakukan investigasi semacam itu, pengandaian saya masih ada tindak suap, korupsi, dan kebiasaan asal bapak senang itu. Tapi ada perbedaannya, apa yang terjadi sekarang dengan apa yang terjadi jaman dahulu.
Kalau dahulu hal itu dianggap wajar dan bukan sebuah kejahatan, sekarang sudah dipastikan sebagai tindak kriminal. Kejahatan luar biasa malah. Lepas dari kenyataan dan juga opini yang terbangun di dalamnya apakah masih semacam itu atau tidak. Sekarang kenyataannya entah kawan entah lawan dari pihak eksekutif sekarang, yang pasti semua ditangkap tanpa pandang bulu. Ini jelas sebuah kemajuan.
Dahulu, orang yang mau melawan korupsi seperti Jenderal Hoegeng, malah justru disingkirkan secara struktural. Artinya secara birokratis dia dibuang karena sikapnya yang anti korupsi. Sekarang kasus serupa juga ada, dengan bermacam dalih, tokoh tokoh yang anti korupsi malah justru disingkirkan dengan dalih demokrasi.Â
Masalahnya memang kejahatan kalau dilakukan bersama sama itu seakan akan menjadi benar. Sebaliknya, orang benar kalau sendirian malah banyak musuhnya. Mungkin itu juga yang sekarang terjadi, maaf saja, dengar curhatan banyak orang termasuk para abdi negara. Banyak yang mengatakan karena kerja mereka sekarang kelewat berat, terlalu spaneng, padahal kita ini negeri yang kaya masak kerjanya harus ditekan tekan. Mbok ya yang nyantai saja (mungkin seperti jaman dahulu). Kerja datang dan pergi sesukanya. Eh, seperlunya. Itupun uangnya sudah besar.
Secara politis tetap saja ada orang orang yang penjilat semacam itu, tergantung siapa yang didukungnya dan siapa yang lebih menguntungkan. Misalnya sekarang ketika sedang ramai ramainya pilpres misalnya, kalau ada tokoh yang menyampaikan pernyataan kontroversial kok ya yang membela orang lain, membuat klarifikasi orang lain. Baik dari kubu Jokowi maupun Prabowo.
Kenapa tidak orangnya langsung? Mungkin pertimbangannya adalah nanti terlalu habis waktunya untuk klarifikasi. Padahal semua yang dibicarakan hampir pasti mengundang kontroversi karena memang apa yang keluar dari mereka menjadi pusat perhatian.
Tapi ya, itulah hakikat pejabat publik yang mestinya harus mau untuk dokritisi. Masalahnya sekarang itu, dalam banyak hal bukan sikap kritis yang muncul dikedua belah pihak, tapi kedangkalan kritis. Pernyataan dan sikap dipotong potong lalu dimaknai sendiri dibangunkan opini yang entah bagaimana harus sesuai dengan kepentingan pembuatnya.
Tapi juga kalau kita lihat, mereka yang kampanye juga ABS saja, asal bapak senang. Asal pemilih senang saja, masalah bisa ditepati atau tidak nomor sekian. Tapi kebiasaan mereka ya begitu, kan? Lihatlah betapa banyak kampanye yang tidak masuk akal sekedar membuat penyataan pernyataan yang menyenangkan meskipun jelas jelas tidak bisa mewujudkannya.
Imbas Pendidikan yang Salah Arah
Sebenarnya mau saya tulis dalam bagian tulisan tersendiri tentang hal ini. Tapi gini ya, pendidikan kita itu kan lebih menekankan keseragaman mulai dari pakaian sampai cara berfikir, menekankan kepatuhan (semu) dan ketertiban berfikir. Pertanyaan, kritis, ditiadakan. Kedalaman nihil. Padahal dalam teori pendidikan apapun cara semacam itu tidak bisa dipertanggungjawabkan. Ini lebih bisa dilihat sebagai cuci otak dibandingkan dengan pendidikan.
Hubungannya dengan kebiasaan ABS apa? ya, sistem kepatuhan, sistem keseragaman semacam inilah yang menjadikan kita itu munafik. Berpura pura patuh demi mendapatkan pujian atau nilai yang baik. Padahal di dalam dirinya ada sesuatu yang mengganjal. Atau kemudian terpaksa untuk patuh daripada menerima konsekwensi yang tidak baik. Atau, sejauh saya merasakan baik sebagai seorang pimpinan perusahaan, maupun sebagai seorang pengajar, merasakan betapa karyawan maupun mahasiswa itu 'malas berfikir'.
Malas bernalar. disuruh mencari referensi ya kopi paste. disuruh bernalar dari dua sumber yang berbeda saja sudah susah. Kalau karyawan ya sendiko dhawuh saja, asal jalan. Soalnya pernah, karyawan saya ambil inisiatif malah salah dan saya rugi banyak, meskipun saya tidak memotong gajinya tapi dia bukan hati hati membuat kesalahan, malah takut melakukan kesalahan malah tidak berinisiatif apapun.
Pada tahun 2018 lalu, presiden Jokowidodo sudah punya sikap berkaitan dengan hal ini. "Jangan takut untuk melaporkan karena itu penting buat saya. Jangan laporan ke saya hanya ABS, ABS, asal bapak senang, tetapi laporan di lapangannya berbeda. Saya tidak suka hal seperti itu," katanya ketika meminta jajarannya mempermudah perizinan investasi dan ekspor.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H