Misalnya bagi para pendukung Prabowo, merasa Jokowi menyerang personal ketika mengatakan Prabowo punya tanah sekian ribu hektar.
Bagi pendukung Prabowo, mengikuti bahasanya beliau justru dianggap pahlawan daripada dikuasai asing.
Bagi pendukung Jokowi itu sebentuk keserakahan dan mengapa atau mana buktinya ini sebentuk nasionalisme dan patriotisme?
 Di mana logika tidak sehatnya? Coba bayangkan kalau terjadi sebaliknya Jokowi punya tanah ribuan hektar atau koleganya. Mungkin yang terjadi akan persis sebaliknya. Pendukung Prabowo akan mengatakan Jokowi serakah dan pendukung Jokowi akan mengatakan itu lebih baik daripada dirampok sekelompok elit yang korup. Padahal yang namanya akal sehat jelas: tidak ada kepentingan lain kecuali kebenaran itu sendiri secara objektif. Kalau salah katakan salah kalau benar katakan benar, tidak peduli engkau mendukung siapa.
Seandainya  saja akal sehat benar diperjuangkan Bung Rocky Gerung dan pengikutnya tentu akan membongkar relativisme kebenaran semacam ini. Inilah sebenarnya yang dikritik oleh banyak pemikir sebagai era post truth. Cartesian berpendapat bahwa saya berfikir maka saya ada. Di era sekarang dan persis juga yang dilakukan oleh RG dkk, yang dipegang adalah saya percaya maka saya benar.
Saya sendiri lebih tertarik dengan pemikir filsafat sangat kawakan di Indonesia, sekaligus pakar Etika, Prof. Magniz Suseno, ketika mengatakan bahwa
"Pemilu bukan untuk memilih yg terbaik, tapi untuk mencegah yang terburuk berkuasa. " artinya apa, dia secara objektif masih menalar bahwa siapapun pemimpinnya punya kelemahan dan kekurangan. Tidak hitam putih atau antagonis protagonis. Dalam bahasanya J. Kristiadi kemarin demokrasi kita tidak menentukan yang terbaik dan tidak baik, tetapi memastikan yang buruk dan lebih buruk. Bagaimanapun juga, menurut Kristiadi, politik dan demokrasi kita belum sehat. Tapi kita bisa mengatasi ketidaksehatan itu.
Akal sehat adalah akal yang tidak disandera oleh kepentingan dan juga tidak berpihak. Dia akal sehat adalah akal rasional yang terbuka terhadap kritik, relatif bebas nilai apalagi menghujat, dan juga tentu saja korektif. Saya jadi ingat ketika menjelaskan lumpuhnya akal sehat berhadapan dengan cinta dan benci.... "nak, kamu itu punya pacar kok tongg*s gitu sih... jelek tahu!" kata seorang mama.
lalu anaknya menjawab, "ga tongg*s mama, dia itu eksotik"
Sungguh, akal sehat sebenarnya kita rindukan dan sangat dibutuhkan sebagai postulat atas kemajuan sebuah negara dan martabat suatu bangsa. Sayangnya, di era postmodern ini akal sehat sesungguhnya menjadi barang kelewat mahal... bahkan di kalangan kaum terdidik. Ironis dan salam akal sehat!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H