Mohon tunggu...
Herulono Murtopo
Herulono Murtopo Mohon Tunggu... Administrasi - Profesional

Sapere Aude

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Salam Akal Sehat

20 Februari 2019   17:43 Diperbarui: 20 Februari 2019   19:01 957
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
gambar dari www.tokoh.co.id

Sejak tampilnya Rocky Gerung dengan ungkapan ungkapan khasnya: memperjuangkan akal sehat dan juga tuduhan pihak lain sebagai yang dungu, filsafat kini menjadi bersinar sebagai mbahnya akal sehat atau mencapai titik populernya. Jarang loh filsafat itu populer di Indonesia. Kecuali jaman dulu, ketika cendekiawan sungguhan banyak menjadi perintis perjuangan bangsa seperti Soekarno, Hatta, Tan Malaka, dll.

Sayangnya, populernya filsafat sekarang ini saya lihat kok bukan karena filsafatnya dipahami, bukan. Tapi, karena bahasanya tinggi terus dianggap pintar saja. Mereka yang mengagumi, para netizen yang terhormat itu, umumnya kagum karena ga paham. Sementara yang paham beneran, mau tidak mau harus jujur berkomentar sebaliknya.

Saya ambil contoh misalnya ungkapan dari penulis dan pemikir yang cukup saya kagumi, filosof juga, namanya Reza A.A. Watimena, dia berujar dalam salah satu tulisannya, menimbang irasionalitas, "Indonesia. 2019. Di dunia filsafat muncul sosok filsuf gadungan. Ia doyan tampil di acara-acara televisi. Ia juga doyan mengeluarkan argumen yang bombastik, namun berat sebelah, dan tak adil secara epistemologis. Ironisnya, rakyat luas menjadikan filsuf gadungan ini sebagai acuan."

Ada semacam kengiluan. Filsafat tergadaikan dan tepat seperti yang dikatakan Boni Hargens ketika berhadapan dengan sang filsuf yang dianggap oleh Reza ini sebagai gadungan, "anda seperti filsuf pra socrates, yang berjalan di pasar pasar mencari uang..."

Jaman itu, filsafat sebelum Socrates dkk, memang konon menjadi alat untuk mencari uang yang kemudian diprotes oleh Socrates. Mereka dikenal sebagai para Sofis. Orang orang yang dianggap dan menganggap diri mereka bijaksana. Sedangkan orang lain dianggap sebagai yang dungu.

 Sebagai kritiknya, ketika Socrates ditanya apakah dia adalah Sofis juga, yang bijaksana, juga, dia menjawab, tidak. "saya adalah pecinta (philo) kebijaksanaan (shopia)." Yang kemudian menjadi akar kata dan juga asal usul istilah filsafat. Jadi para Filosof sejati itu bukanlah orang orang yang bijaksana, tapi yang mencintai kebijaksanaan. Maka berhadapan dengan yang dungu, mereka akan menempatkan diri sebagai sesama.

Maka, sesungguhnya apa yang disampaikan sebagai perjuangan akal sehat gugur dengan sikapnya sendiri yang entah diakui atau tidak menjadi partisan. Saya akui pemikirannya tetap tajam lah bang Rocky Gerung ini. Mungkin sekelas dengan filsuf filsuf kenamaan yang berani jujur dan telanjang dengan pemikiran mereka.

Sayangnya, makin ke sini, paling tidak kesan saya pribadi, dan bisa saja saya salah, dia seperti disandera oleh kepentingan partisannya ini. Pemikirannya tajam dan kelihatan garang, tapi tidak bisa berimbang dan apalagi objektif. Dia terjebak dalam ketakutan untuk katakanlah konflik seandainya jujur dengan pemikirannya terdahulu dan mempertajam dan memperdalam apa yang pernah diungkapkannya.

Misalnya saja yang paling populer adalah kata kata Kitab Suci itu fiksi. Wah ini tentu akan segaris dengan pemikiran katakanlah Nietzsche dengan Tuhan sudah mati dan kitalah pembunuhnya, atau katakanlah agama adalah candunya Karl Marx. Segaris juga dengan tulisan tulisan Rocky Gerung terdahulu yang mengatakan tuhan bersemayam di kampus sebelum ia menciptakan hal yang paling ia sesali: agama.

Jauh sebelum dia terkenal seperti sekarang, saya cukup teringat ingat ketika dia muak dengan uji akademis yang mana, lawan maupun teman debatnya membawa bawa kitab suci. Sayangnya, sekarang pemikiran itu terjebak akan sebuah ketakutan dan mencoba dengan bahasa filsafat juga mengklarifikasinya. Sejauh saya melihat dan memperhatikan beliau tidak sekonsisten filsuf filsuf Cartesian yang lain. Akal sehatpun runtuh. Bukan kedunguan, bukan. Tapi ketidakkonsistenan semacam ini memunculkan kedunguan di masyarakat luas, eh maaf... ambillah bahasanya A.A. Wattimena, Irasionalitas.

Hanya di dalam politik, kebohongan mendapatkan tempatnya dan bahkan didukung. Bahkan yang lebih sadis didukung dengan cara cara yang religius. Konon seorang politisi tidak percaya dengan kata katanya sendiri, maka dia sangat heran ketika rakyat atau orang lain mempercayainya. Kemarin baru saja saya mengikuti seminarnya J. Kristiadi, peneliti CSIS, mengatakan bahwa bohong itu boleh untuk politikus. Kebohongan yang mulia. Saya mau mencoba mengkritik dengan logika kebohongan yang dikecualikan kok ga enak. Sayangnya sekarang ini kebohongan itu menjadi akar dari ketidakrasionalan. Keduanya saling berkaitan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun