Dua putaran debat pilkada DKI, memang belum begitu tajam, tapi sudah menunjukkan kwalitas masing masing pasangan. Setelah pada putaran pertama, pak Anies menilai to the point bagaimana jawaban yang disampaikan oleh Sylviana Murni bahwa apa yang disampaikannya menarik, tapi ga nyambung, di putaran kedua ini juga menampakkan bahwa pasangan calon ini ga nyambungan.
"Jawaban Ibu Sylvi menarik, tapi kok nggak nyambung," kata pak Anies waktu itu ketika mempertanyakan tentang PORA. Dan anehnya, meskipun debat debat ga nyambungan begini paslon tetap merasa unggul dalam debat. Hebatnya lagi, hayah padahal biasa saja, ada juga Kompasianer yang menguraikan mengapa Agus Sylvi unggul dalam debat.
"Jelas dalam debat ini AHY-Sylvi menjadi juaranya, Ahok-Djarot yang petahana bisa di kalahkan, Anies-Sandi juga di kalahkan, di samping karena AHY-Sylvi tanpa beban mengikuti acara debat tersebut, terlihat sylvi menguasai pengalaman untuk menjawab pertanyaan dari paslon nomor 1 dan 2." kata Kompasianer tersebut. Sumpah... ngakak sebenarnya. Hahahaaa.... Dengan menampilkan tulisan ini, ragu juga sebenarnya saya.... ragu karena harus menampilkan dan mengutip tulisan yang ga jelas. Tapi juga merasa perlu untuk memperlihatkan datanya. Ya sudahlah... Masa iya sih, jawaban ga nyambung ga nyambung begini bisa dikatakan unggul.
Semalam juga debat mempertontonkan ketidaknyambungan itu. Yang kali ini parah malah. Kalau yang Sylvi ketika ditanya Anies itu dengan istilah yang agak aneh aneh, kali ini dengan bahasa yang sederhana pun, pertanyaan dari Djarot jawabannya juga ke mana mana. Ibaratnya, pertanyaan apa jawabnya juga apa. Kalau saya ngoreksi jawaban mahasiswa yang semacam itu, saya bilang, jangan mengarang indah yak.... lihat pertanyaannya dan buat garis besarnya apa... kalau mau diuraikan silahkan. Tapi jawaban harus nyambung dengan pertanyaan.
“Kami melakukan kebijakan untuk melakukan relokasi rumah-rumah di bantaran sungai dalam bentuk rumah susun. Pasangan no 1, Mas Agus ada program rumah untuk rakyat, dengan cara dibangun di tempatnya tanpa menggusur. Kemudian disampaikan ada 390 hektar lahan di pemukiman kumuh dan bantaran sungai yang akan dibangun. Pertanyaan saya adalah, bagaimana dibangun tanpa memindahkan dan menertibkan bangunan itu sehingga bisa warga di bantaran sungai dan daerah-daerah yang melanggar itu mendapatkan rumah yang layak huni. Terimakasih,” tanya pak Djarot. Ahok bahkan menyampaikan kalau intinya mereka (Ahok Djarot) tidak mampu melakukan.
Kalau dilihat kan jelas neh pertanyaannya. Apalagi ini menguntungkan tertanya sebenarnya. Inilah kesempatan yang pada hemat kami untuk menyerang dan mengkritisi kebijakan Ahok Djarot yang dianggapnya semena mena pada masyarakat dan sekaligus untuk menterjemahkan programnya dalam kenyataan. Bagaimana mewujudkan konsepnya yang menarik itu loh yang kemudian dipertanyakan. Ini kan sangat membantu yak. Pertanyaanya juga sangat jelas, bagaimana membangun tanpa memindahkan. Mudah kan? bagaimana membangun. Ini sangat konkret. Sangat jelas.
Ibarat anak TK neh, ditanya bu guru, "emh pinter sekali makan buburnya bisa habis... bagaimana kamu tadi menghabiskannya?" Si anak bisa menjawab, "aku makan pakai sendok bu guru... lalu yang sisa aku buang ke selokan tadi...." pertanyaan yang sangat sederhana.
Sayang sekali, pertanyaan sesederhana itu jawabannya, " “Benar pak Jarot bahwa kami meyakini semua bisa ditata. Kita semua bisa menata Jakarta, membangun Jakarta, tanpa harus menggusur warganya begitu saja, semena-mena. Itu adalah komitmen, dan itu yang akan kami perjuangkan untuk warga Jakarta. On side upgrading adalah paradigma yang akan kami gunakan. Membangun, meremajakan kampung di tempat yang sama. … Akhirnya tidak mencabut mereka dari habitat aslinya. Karena yang terjadi adalah semakin meningkatnya kemiskinan di perkotaan. …. Caranya tentu kita lakukan dengan mengalokasikan lahan yang ada karena dengan membangun dari atau mengkonversi dari horizontal housing atau perumahan yang horizontal menjadi perumahan yang vertikal.
Tentu ada lahan-lahan yang bisa digunakan untuk tetap mereka mendapatkan hunian yang layak dan juga tidak mengganggu aliran sungai. dan ini juga kita lakukan secara pararel karena kita meyakini bahwa lingkungan hidup juga harus dipelihara sehingga tidak menghadirkan dampak yang tidak kita harapkan terutama banjir. Dan itu dilakukan bersama sama dengan masyarakat. Kami berbicara dengan banyak aktivis, berbicara dengan berbagai komunitas mereka mau untuk bergeser sedikit, bukan gusur, bergeser sedikit untuk didirikan rumah hunian yang layak. Mereka yakin bahwa dengan cara cara seperti itu mereka tidak akan kehilangan miliknya.
Mereka akan tetap memiliki rumah bukan rusunawa tapi rusunami. dan yang lebih penting lagi adalah mereka tidak akan kehilangan mata pencahariannya karena kita integrasikan dalam program rumah rakyat yang itu adalah tempat tempat usaha yang layak dan terakhir mereka akan memiliki status dan martabat yang terjaga dan ini penting untuk kesejahteraan rakyat Jakarta.” Jawaban itu diakhiri Agus dengan senyuman... seakan akan jawabannya sudah bagus. Top markotop. Jos gandos.
Padahal saya yang menontonnya bingung, "Mas Agus ngomong apaan sih? bagus, cuman ga nyambung...." Padahal saya membayangkan, bahkan Ahok Djarotpun rela memberikan dukungan kepada AHY Sylvi seandainya mereka menjawab dengan konkret dan jelas.
Itu seperti anak TK tadi yang ditanya, "emh pinter sekali makan buburnya bisa habis... bagaimana kamu tadi menghabiskannya?" Lalu si anak menjawab, "bubur itu adalah makanan sehat dan bergizi bu... mengandung banyak vitamin dan kita harus menghabiskannya... caranya setiap pagi dibuatkan bubur mama saya lalu saya makan sampai habis biar saya sehat dan kuat meskipun tidak minum susu untuk membahagiakan ibu yang sudah membuat bubur ini..."
Bu gurunya bilang, "koe kui ngomong apa to nak?"
Untung neh, penanyanya masih baik hati... masih melanjutkan dengan pertanyaan bantuan yang lebih konkret, kret....Kata Ahok, “Terimakasih, yang kami maksudkan begini sebetulnya. Kami selama ini mau melakukan normalisasi sungai. Maka kami berusaha membangun banyak rumah susun, memindahkan. Lalu kami juga mengerti, biaya hidup dari rumah susun dari tempat jauh juga mahal. Maka kami juga menggratiskan transportasi. Termasuk memberikan KJP, tunjangan, sembako, macam-macam. Kenapa, karena ada PP, Peraturan Pemerintah no. 38 Tahun 2011 itu jelas dikatakan, bangunan yang ada, berdiri di atas sempadan sungai itu harus ditertibkan. Supaya fungsi sempadan sungai kembali seperti sediakala.
Lalu bagaimana Pasangan no. 1 bisa mendapatkan lahan 390 hektar kalau ada di lokasi yang sama? Karena Jakarta ini, sempadan sungai yang dimaksud bukan hanya daerah aliran sungainya, termasuk juga jalan inspeksinya, yang kira-kira 8-10 meter. Jadi tidak mungkin kita mendirikan bangunan di atas jalan inspeksi. Bagaimana mau mengontrol, memelihara sungai yang kita normalisasi, yang sudah kita betonisasi kalau tidak ada jalannya. Jadi inilah yang kami tanyakan. Bagaimana dapat 390 hektar, lalu bagaimana caranya Anda tidak melanggar atau berlawanan dengan PP no. 38 Tahun 2011, yang menugaskan kita menertibkan bangunan di atas sempadan sungai. Terimakasih.”
Neh... pertanyaannya jelas banget bukan. Bagaimana dapat 390 hektar.... ini jelas banget pertanyaannya... bagaimana caranya mendapatkan 390 hektar. Kurang jelas yak pertanyaannya, bagaimana caranya mendapatkan 390 hektar itu seperti ditanya bagaimana caranya kamu menyendok buburnya nak.... pertanyaan konkret sekali yang kemudian dihadapkan pada amanat undang undang dalam Peraturan Pemerintah. Konkret banget.
Tapi mau tahu jawabannya dengan pertanyaan bantuan yang sangat konkret itu? ini nih jawabannya...
Begini, “Ya ini diferensiasinya. Jika kami terpilih menjadi gubernur, dan wakil gubernur, kami akan benar-benar firm, untuk meyakinkan, kami bisa menata, membangun, mengelola, mempercantik kota ini tanpa harus menggusur. Kita bisa, yang penting kita kreatif. Dan terbuka dengan berbagai masukan. Terbuka dengan berbagai inovasi. Dan kita lihat, kita lakukan bench mark. Negara lain sudah melakukannya. Bisa dan berhasil. Kota lain di Indonesia juga melakukannya. Bisa dan berhasil. Intinya di goodwill.
Kalau dengan alasan mempercantik, menormalisasi sungai dan lain sebagainya, tetapi sebenarnya ada alasan-alasan motif lain di luar itu, kemudian secara semena-mena, menghancurkan rumah rakyat di depan mata mereka. Ini yang sebetulnya menjadi permasalahan sosial. Ketimpangan semakin menjadi-jadi. Saya berbicara ke berbagai lokasi. Mereka mengatakan. Pak, kami sebetulnya rela saja kalau dilakukan relokasi. Bukan digusur dengan paksa dan tanpa kompensasi. Ini. Ini masalahnya. Dan kami tidak punya hati untuk melakukan hal seperti itu. Dan kita semua tentu ingin masyarakat kita hidup dengan baik, sejahtera dapat tersenyum, tidak memiliki trauma yang membebani hidup mereka sampai kapan pun. Dan ini adalah urusan kemanusiaan. Urusan hukum. Dan DKI Jakarta dengan APBD 70 triliun rupiah, rasa-rasanya sangat disayangkan kalau tidak ada sedikit pun perhatian untuk mereka.”
Lah.... 390 hektarnya gimana? amanat peraturan pemerintah gimana?
Bener bener ga nyambung... untung tuh debatnya debat formal sehingga ga ada kejar kejaran. Seperti di Mata Najwa pasti habis neh jawaban semacam ini. Benar benar ga nyambung. Tanyanya bagaimana caranya mendapatkan 390 hektar jawabnya goodwill.
Mungkin sih mereka atau para pendukungnya akan mengatakan, ini jawaban substansial. Bukan ke hal hal yang teknis. Kalau ini yang dikatakan jujur saja saya mau mengumpat ketika nalar saya dilecehkan. Serius.... Ini melecehkan akal sehat.... dan lagi ketika para pendukungnya masih mengatakan paslon ini unggul neh... bahkan dengan logika dasar saja saya merasa belum nyambung.... ga perlu IPK 4 lulusan Harvard untuk membahas ketidaknyambungan tersebut.
Sepertinya yang mau diandalkan oleh pasangan ini adalah retorikanya... "membangun tanpa menggusur..." itu saja dan saya khawatir tanpa jawaban jawaban konkret retorika ini hanya akan seindah ungkapan, "katakan tidak pada korupsi...."
Dan jangan jangan retorika yang bagus dibuat hanya untuk jadi gurbernur... Ya wajar beretorika.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H