Mohon tunggu...
Herulono Murtopo
Herulono Murtopo Mohon Tunggu... Administrasi - Profesional

Sapere Aude

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Mengapa IPTEK Tidak Begitu Maju dalam Masyarakat yang Religius

8 Oktober 2016   17:05 Diperbarui: 8 Oktober 2016   17:57 635
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kemarin saya membaca berita seperti ini:

Para peneliti sekarang mengatakan, disaat wanita terangsang, beberapa wanita mungkin mengalami ejakulasi squirt atau keluarnya cairan dari kemaluan. Kata para peneliti, ejakulasi wanita itu pada dasarnya hanya air seni yang tak tertahankan. Seperti dilansir dari Iflscience, Kamis (15/1/2015), tim studi di Perancis yang dipimpin oleh Samuel Salama dari Hopital Prive de Parly II ini, melakukan penelitian dengan mengumpulkan tujuh wanita sehat yang  secara berulang melaporkan mendapat banyak saat ekskresi selama menjalani tes rangsangan seksual.

Ejakulasi wanita secara teknis sedikit cairan berwarna putih susu yang keluar saat klimaks, New Scientist menjelaskan. Squirt di sisi lain menghasilkan cairan yang lebih banyak dan lebih bening yang berasal dari uretra, saluran urin dari kandung kemih. Tim kemudian melakukan scan USG panggul setelah peserta buang air kecil dan selama eksitasi seksual sebelum dan sesudah ejakulasi squirt terjadi. Semua peserta memiliki kandung kemih kosong sebelum eksitasi seksual. Namun ternyata urin mengisi kandung kemih sebelum ejakulasi ini dan dikeluarkan saat rangsangan mencapai klimaks. (wartabuana.com berita ini bukan satu satunya)

Hayooo... jangan pada ngeres otaknya yak.... hehehe...  gini saya cuman membayangkan atau setidaknya sudah bisa menebak kalau penelitian semacam ini, hampir mustahil dilakukan di dalam masyarakat yang religius. Jangan dilihat pertama tama pada kesimpulannya, kalau cuma dilihat pada kesimpulannya mah biasa saja. Ga ada yang istimewa atau katakanlah ga ada yang aneh. Tapi mari kita lihat prosesnya. Ini jauh lebih menarik untuk dibahas. Hehehe.... pertama yang bisa kita lihat adalah pertanyaan apa yang ingin dijawab oleh para peneliti itu. Ini menarik. Saya membayangkan pertanyaannya, kenapa wanita ketika terangsang bisa basah. Atau cairan apa yang ada pada wanita saat terangsang. Setelah itu yang menarik adalah bagaimana mereka melakukan penelitiannya? apakah cairan itu kemudian dikumpulkan untuk kemudian dilaporkan atau ilmuwannya menungguin ketika seorang wanita dibuat terangsang. Hayah... tambah ngeres lagi. Lalu saya bilang, coba bayangkan kalau saya yang jadi ilmuwannya.... hehehe.... cuman jangan dilihat ngeresnya. lihat saja secara profesional sebagai seorang ilmuwan. 

Dan sekali lagi saya katakan, proses semacam ini hampir mustahil dilakukan dalam masyarakat yang religius bukan? Bayangkan kalau penelitian ini dilakukan di Indonesia entah ini di Aceh yang masyarakatnya muslim religius atau di Flores yang masyarakatnya katolik religius. Bisa bisa bukan hasil penelitiannya yang akan menjadi diskusi hangat, tapi para ilmuwannya akan dibully habis habisan dan dianggap kurang kerjaan. Padahal dalam dunia ilmu, tidak ada hasil penelitian yang dianggap sebagai sesuatu yang tidak berguna. Sekecil apapun sebuah penelitian ilmiah, pasti akan berguna dan digunakan secara lebih universal. 

Katakanlah penelitian tadi, bisa digunakan misalnya dalam dunia kedokteran ataupun terutama dalam perkembangan embriologi atau seksiologi. Apakah cairan semacam itu berguna untuk membantu pasangan meningkatkan peluang mendapatkan keturunan terutama bagi mereka yang kesulitan mendapatkan keturunan. 

Nah, kan... menjadi sangat penting. Hanya saja, ini ciri khas dunia ilmu adalah bahwa dia harus diuji dan terutama harus diulangi kembali. Bahkan dalam hal inipun untuk sekedar menguji dan mengulangi kembali saya bisa memastikan neh, tidak akan dilakukan oleh masyarakat yang religius. Sumpah deh....

Lalu kalau demikian saya mau mengatakan apa? gini loh... saya itu paling gemes kalau kemudian ada orang orang yang religius lalu mengklaim klaim bahwa pengetahuan dan juga riset yang dikembangkan oleh para ilmuwan ini cocok dengan ayat ayat kitab suci. Pasalnya begini: dalam dunia riset, kunci untuk mengembangkan pengetahuan dan juga mengawali penelitian adalah dengan bertanya. 

Dan Sesungguhnya, pertanyaan apapun adalah sah dalam dunia pengetahuan. Pertanyaan apapun. Bahkan pertanyaan yang hukumnya harampun dalam dunia riset adalah hal yang diperbolehkan. Kalau ada ahli agama yang mengatakan, agama kan mendorong seseorang untuk menuntut ilmu bahkan sampai ke negeri cina, benarkah demikian adanya?

Coba kalau ada ilmuwan yang bertanya, bagaimana reaksinya kalau sperma manusia bertemu dengan ovum babi. Saya hampir bisa meyakini, penelitian semacam itu tidak diperbolehkan. Hehehe.... Padahal dalam dunia ilmu, itu sesuatu yang sah sah saja untuk dipertanyakan dan dilakukan riset. Jangan bayangkan bahwa ilmuwan itu ngurusi yang besar besar yang barangkali sejalan dengan ajaran agama. Katakanlah mengembangkan robot, membuat pesawat terbang, menciptakan teknologi kloning, dll. Ya, itu memang. Tapi para ilmuwan akan berang kalau ada yang membatasi bagaimana mereka mendapatkan ilmunya. 

Bukankah memang dunia ilmu muncul dari sebuah kegilaan? Ya... ilmu lahir dari kegilaan akal dan pikiran. Sementara agama, meskipun katanya mendorong untuk kemajuan dunia ilmu, sesungguhnya akan tetap berusaha membatasi kemajuan ilmu itu. Meskipun tujuannya untuk kebaikan. Namun perlu dicatat bahwa yang namanya kebaikan itu sering sering bersifat subjektif. 

Kebaikan didasarkan pada sudut pandang tertentu berdasarkan cara menafsirkan. Apa yang dianggap agamawan sebagai sesuatu yang baik, bagi para ilmuwan belum tentu demikian. Mereka akan bertanya, apa hak agama untuk mendikte dunia ilmu sehingga hanya mengijinkan bidang tertentu dan bidang lain tidak.

Sementara kunci kemajuan ilmu adalah dengan bertanya, agama umumnya melarang untuk mempertanyakan agama. Seorang filosof yang menulis buku Bertuhan tanpa Agama mengatakan bahwa kejahatan terbesar agama adalah menuntut lebih banyak kepercayaan daripada bukti. Bahasa religiusnya: bukankah otak manusia terbatas? tidak mungkin kita mengerti segalanya. Atau dalam bahasa lain: berbahagialah mereka yang tidak melihat namun percaya. 

Sekali lagi, haram hukumnya untuk bertanya. Katakanlah, baik dalam dunia Islam maupun dunia Kristen umumnya meyakini bahwa ada sesuatu yang disebut sebagai mukjijat. Misalnya saja, Nabi Muhammad melakukan Isra Miraj atau Yesus juga naik ke surga, saya bisa meyakinkan bahwa kita tidak boleh mempertanyakan, bagaimana mungkin? apa buktinya? dll. 

Terlebih lagi kalau kemudian dibuat semacam penelitian untuk mengujinya dan juga mengulangnya. Jelas tak akan bisa. Ini keajaiban, ini mukjijat dan dipersilahkan saja untuk percaya. Jangan bertanya bagaimana mungkinnya, tapi bertanyalah bagaimana menjelaskannya. Itu saja. Menguji sesuatu yang sudah didogmakan dan juga menjadikannya sebuah teori, jelas tidak diperbolehkan. lalu lebih baik umat atau jamaah atau jemaat yang baik adalah umat yang taat dan patuh daripada nanti kamu tersesat karena pemikiranmu dan masuk neraka.

Prinsip kepatuhan, prinsip kesalehan, prinsip kebaikan, prinsip kesopanan semacam inilah yang membuat ilmuwan ilmuwan pada masyarakat religius terbatasi untuk bisa secara bebas mengembangkan riset dan bertanya lebih lanjut terutama hal hal yang dianggap tabu. Maklum bila kemudian dunia ilmu dan juga dunia teknologi tidak terlalu maju pada masyarakat masyarakat yang religius. 

Bukankah prinsip kesopanan dan juga kepatuhan menjadi ukuran bagaimana seseorang dikatakan baik dalam masyarakat yang religius? Sementara dalam dunia ilmu, dalam masyarakat akademis, pertanyaan pertanyaan nakal kadang diperlukan untuk membangkitkan imajinasi dan juga inovasi. Itulah sebabnya, anak anak yang genius sering sering dianggap sebagai anak yang tidak waras, anak yang gila, dll.

Ya... mungkin saja ada yang akan bilang... Habibie itu juga religius, juga jenius..... kenapa ga dipertimbangkan bahwa tesis ini belum tentu benar. Ya mungkin habibie relijius dan juga jenius tapi bayangkan kalau beliaunya tidak pernah mengecap pendidikan di tempat yang mengedepankan akal budi (Baca: Jerman)... katakanlah dia selamanya belajar di Indonesia.... atau belajar di Hadramaut.... dan yang jelas lagi saya sulit membayangkan beliau membuat penelitian cairan apa yang ada pada wanita ketika terangsang... bisa dipastikan hilang kesan relijiusnya....

Bagaimanapun juga, harus diakui bahwa ilmu lahir dari kritik terhadap agama.... Bagaimana dengan di Indonesia? bahkan politikpun debatnya agama....

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun