Mohon tunggu...
Herulono Murtopo
Herulono Murtopo Mohon Tunggu... Administrasi - Profesional

Sapere Aude

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Ketika Politik Menentukan Hidup Seseorang (Marry Jane)

13 September 2016   16:56 Diperbarui: 13 September 2016   17:20 320
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Duterte dan Jokowi, gambar dari www.cnnindonesia.com

Rupanya, banyak orang Indonesia yang merindukan sosok otoriter dan militeristik. Hal ini  nampak pada apresiasi netizen terhadap apa yang dilakukan oleh Duterte dalam memerangi narkoba. Kepala kepolisian Filipina mengatakan, lebih dari 1.900 orang atau sekitar 36 orang per hari telah tewas dalam upaya "memerangi" narkotika dan obat-obatan terlarang (narkoba) di negara itu.

Jumlah kematian terkait perang narkoba ini terus meningkat sejak Rodrigo Duterte yang mencanangkan perang narkoba menjabat sebagai presiden baru Filipina tujuh pekan lalu. Direktur Jenderal Kepolisian Nasional Filipina, Ronald dela Rosa, mengatakan, dalam dengar pendapat Senat, tak ada kebijakan untuk membunuh pengguna narkoba. Menurutnya, sekitar 1.100 kematian masih diselidiki.

Perhatikanlah di situ, bahwa dari 1900 orang yang terbunuh, hanya 800 yang legal. Yang 1.100 masih dalam penyelidikan. Saya tidak mempermasalahkan perang terhadap narkobanya, tapi yang 1.100 ini? bahkan yang 800 orangpun harus dipermasalahkan. Saya bukan pegiat HAM, tapi pengajar Pancasila.

Jadi, kalau saya menuliskan semacam pembelaan untuk menentang adanya eksekusi mati, itu bukan dalam rangka aktivitas saya masuk LSM manapun, atau apalagi punya kepentingan ekonomi dan politik. Hal ini semata karena kepekaan dan tanggung jawab moral apa yang saya ajarkan. Kembali ke data yang ada, lebih dari separuh kematian yang ada di Filipina masih dalam penyelidikan polisi. Di antara mereka yang mati dan ditengarai terlibat dalamnya, ada anak usia  tahun yang terbunuh ada kakak beradik dari desa yang menurut orang tuanya tidak tahu menahu tentang narkoba dan banyak paradoks yang lain.

Dalam situasi semacam itu, Pemerintah Filipina mengklaim rakyat sudah berhasil diajak untuk memerangi narkoba a la Duterte. Meskipun banyak aura ketakutan dan teror yang terjadi di negara itu, rupanya langkah tersebut menarik banyak masyarakat yang frustasi dengan adanya narkoba di sana. Hal semacam inilah yang sepertinya juga dirindukan masyarakat Indonesia. Meskipun ada tumbal tumbal orang orang yang tidak berdosa, hal itu mendapatkan apresiasi untuk ditempuh.

apresiasi netizen untuk Duterte, gambar saya capture dari kompas.com
apresiasi netizen untuk Duterte, gambar saya capture dari kompas.com
Hal yang saya tangkap dari situasi di Filipina tersebut adalah bahwa pemerintah memberikan 'restu' kepada masyarakat sipil untuk mengeksekusi siapa saja yang terlibat dalam narkoba. Entah terbukti, entah tidak, mereka bisa dieksekusi. Hal ini mengingatkan saya pada sejarah kelam Indonesia yang juga pernah menerapkan cara serupa.

Dulu, siapapun yang dianggap atau dituduh PKI, siapapun dipersilahkan untuk menghukumnya bahkan mengeksekusinya. Sampai sekarang, kasus tersebut tak kujung mendapatkan titik temu. Dan diakui atau tidak, peristiwa militeristik tersebut masih dianggap sebagai langkah yang tepat oleh sebagian kalangan. Lalu, lama sesudah itu, pembasmian preman preman bertato juga terjadi tanpa pengadilan. Petrus alias pembunuhan misterius menjadi teror yang menakutkan bagi masyarakat. Meskipun banyak mendapatkan kecaman, namun rupanya juga dirindukan suasana semacam itu.

Baiklah kemudian kalau kita melihat nasib Marry Jane. Dalam situasi negara yang memperbolehkan adanya perang narkoba tanpa pengadilan, mungkinkah Filipina akan membela Marry Jane yang juga terlibat dalam kasus narkoba yang dulu pernah habis habisan dibela oleh negara tersebut? Bisa kita bayangkan bagaimana langkah pembelaan itu akan menjadi boomerang untuk Filipina. Kalau membela terpidana kasus narkoba di negara lain, hal ini akan menjadi preseden buruk untuk sang presiden.

Jika tidak membela, maka pemerintah akan dinilai gagal dalam membela dan melindungi warga negaranya. Dan itulah yang terjadi, sepertinya. Baru baru ini, presiden Jokowi menyatakan bahwa presiden Filipina mempersilahkan kalau Marry Jane dihukum mati. Sikap ini jelas merupakan sebuah kewajaran kalau melihat sikap Duterte yang serius dan brutal memerangi narkoba. Namun, rupanya pernyataan tersebut segera dibantahj oleh Menlu Filipina. Bahwa bukan demikian maksud Duterte.

Hal inipun sepertinya wajar karena ini bukan satu satunya pernyataan Duterte harus direvisi ulang oleh anak buahnya. Sebelumnya, Duterte juga mengeluarkan pernyataan kontroversial tentang Obama dan harus segera diralat. Karena pernyataannya membuat hubungan kedua negara merenggang.

Lepas dari hal tersebut, kedua negara baik Filipina maupun Indonesia yang mengedepankan hukum, sepertinya menempatkan hukum di bawah politik. Marry Jane, nasibnya benar benar diombang ambing oleh situasi politik, bukan oleh hukum itu yang sebenarnya. Kalau politik di Filipina menempatkan perang p narkoba melampaui hukum, bahkan memberikan ruang eksekusi tanpa pengadilan, hal tersebut juga akan berimbas pada nasib terpidana ini. Kita sedikit melihat, bagaimana Marry Jane dulu diputuskan ditunda eksekusinya karena masih ada proses hukum di Filipina yang belum usai. Dengan tidak berjalannya proses hukum di negara itu, terhenti pulalah harapan hidup bagi Marry Jane lebih lama.

Pertanyaannya, bermoralkah kalau hidup mati seseorang hanya dikaitkan sikap politik? Jawabannya, jelas tidak. Sejauh saya pelajari dalam sejarah, politik biasa menumbalkan atau mengorbankan seseorang sebagai kambing hitam. Dan sayangnya, politik 'tumbal' tersebut biasanya mendapatkan dukungan dari masyarakat dengan orasi orasi yang terkesan idealis.

Kalau tidak percaya, bisa anda bertanya pada mendiang Pramoedya Ananta Toer, bagaimana pengalamannya dulu dibuang ke Pulau Buru. Politik yang senantiasa menciptakan kawan dan lawan, harus memberikan ruang pada pemenang untuk mempertontonkan dirinya sebagai pemenang dan pihak lawan jelas harus menjadi pecundang. Indonesia sebagai negara yang berdasarkan Pancasila rupanya harus menata ulang bagaimana menerjemahkan filosofi dasar negara itu dalam hukum maupun dalam politik.

Pancasila sebagai dasar hukum negara ini dan yang juga menjadi tujuan dari negara ini, sudahkah benar benar menjadi bintang panduan, dalam bahasa Soekarno, bagi jalannya roda pemerintahan? Pancasila adalah ajaran moral yang digali oleh para pendiri bangsa ini sebagai jiwa bangsa Indonesia. Nah, sebagai panduan moral ada prinsip prinsip etis di dalamnya.

Di antaranya adalah nilai kemanusiaan dan juga nilai keadilan. Dalam perspektif etis, prinsip moral yang membenarkan adanya 'tumbal' untuk kepentingan yang lebih besar ini dikenal sebagai prinsip etis utilitarianisme. Asas yang dikedepankan dalam praktek ini adalah asas manfaat. Berkorban sedikit untuk memperoleh manfaat yang sebesar besarnya dan bagi sebanyak mungkin orang. Asas ini juga yang membenarkan misalnya, bom atom yang menghancurkan Hiroshima dan Nagasaki. Tindakan tersebut bisa dibenarkan, karena dengan mengorbankan rakyat Hiroshima dan Nagasaki yang meskipun tidak bersalah, tapi bisa menghentikan perang dunia II. Lalu, bisakah prinsip ini diterapkan dalam pemikiran dasar Pancasila?

Pertanyaannya adalah apakah prinsip kemanusiaan itu membenarkan adanya tumbal untuk manfaat yang lebih besar? Apakah prinsip keadilan bisa membenarkan, untuk kepentingan yang lebih besar kemudian mengorbankan sebagian orang? Jujur saya membayangkan dan agak takut sebenarnya dengan sikap Duterte yang sedang membasmi kelompok Abu Sayyaf.

Sementara di sana ada sandera sandera yang sewaktu waktu dikorbankan oleh kelompok tersebut. Termasuk di antaranya adalah WNI. Bermoralkah kalau kemudian, membasmi kelompok Abu Sayyaf dengan mengorbankan sandera sandera yang akan ikut jadi korban? Inilah sebenarnya politik.

 Penerapan hukuman mati di Indonesia, sesungguhnya juga mengancam banyak terdakwa hukuman mati di luar negeri. Sama saja. Apa yang akan kita katakan sebagai pembelaan agar warga negara kita terhindar dari hukuman mati, kalau negara kita saja menerapkan dan mengeksekusi para terpidana.

Meskipun ada banyak macam pembelaan yang bisa disampaikan, berkaitan dengan kedaulatan hukum dan juga perang terhadap hal hal yang luar biasa seperti terorisme dan juga narkoba, tetap saja kita ada dalam posisi yang sebenarnya lemah. Lepas dari asas kemanusiaan yang mungkin masih bisa menjadi bahan diskusi panjang lebar dan ini memang harus dikaji lebih dalam, kita bisa bertanya secara jujur, sudahkah hukum kita menjamin adanya sebuah keadilan yang terus menerus diperjuangkan di negeri ini?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun