Saya tertarik menuliskan hal ini saat tadi pagi, dan banyak kesempatan sebenarnya, saya menonton tayangan di televisi yang menyiarkan kebenaran ayat ayat kitab suci dengan data data ilmiah. Padahal, yang dimaksudkan dalam penelitian ilmiah berbeda dengan apa yang tercantum dalam Kitab Suci. Bahkan, penelitian itu sendiri tidak dimaksudkan untuk meneliti kebenaran ayat ayat Kitab Suci tersebut. Saya bukannya mau menyalahkan ayat ayatnya, tapi penjelasannya menjadi berbeda dan memang harus dijelaskan secara objektif. Kalau tidak, bisa bisa penafsirannya bisa menyesatkan. Mengapa bisa demikian? karena ada missing link di dalamnya. Misalnya saja, yang sudah sangat umum, seperti tadi juga dibahas dalam tayangan tersebut, manusia diciptakan atau berasal dari setetes mani. Dalam embriologi, air mani yang menetes bukanlah asal usul seseorang. Air mani itu hanyalah semacam kolam renangnya sel sperma.Â
Baru kemudian di dalamnya bertemu dengan sel telur. Nah, sel telur itu dulu belum dikenal, maka tidak disebutkan. Pada jaman dulu, dalam sejarah pengetahuan tentang embriologi dikatakan bahwa di dalam sperma itu ada manusia mini yang dikenal dengan homunculus. Homunculus ini berasal dari lelaki. Wanita dianggap sebagai tempatnya saja. Dalam arti hanya numpang besar saja di dalam rahim perempuan. Meskipun banyak unsur mitosnya, namun kepercayaan ini banyak dipegang oleh komunitas ilmuwan baik di Barat maupun di Timur. Pengetahuan berkembang dan konsep asal usul kehidupanpun berubah total. Di ketahui ternyata, keberadaan seseorang bukan hanya ditentukan oleh pihak laki laki, namun juga pihak wanita. Bahkan, dalam laboratorium laboratorium embriologi, rekayasa pembuahan bisa dilakukan tanpa harus menggunakan tetesan air mani.
Inilah kemudian salah satu kritik Iohannes Rakhmat terhadap ilmu cocokologi dalam agama ini. Menurutnya (yang saya lihat ada beberapa  postingan beliau di Kompasiana ini) kelemahan menggunakan metode cocokologi adalah kesulitan nanti agama mempertanggungjawabkan adanya perubahan penemuan yang cukup dinamis yang kadang kala bertolak belakang dalam dunia ilmu pengetahuan. Maksudnya begini: kalau klaim suatu agama bahwa penemuan ilmiah tertentu sudah dianggap sesuai, bagaimana kemudian kalau sampai ada koreksi terhadap penemuan ilmiah itu. Apakah pemahaman agama juga akan diganti?Â
Sementara metode dalam dunia agama adalah tetap dan dogmatis, dunia ilmu sangat dinamis. Sementara dunia agama sangat anti untuk dikoreksi dan dikritik, dunia ilmu sangat terbuka untuk kritik. Nah, dalam arti inilah kemudian ilmu dengan kemajuannya yang sangat pesat akan diikuti dengan klaim klaim kebenaran dalam agama. Padahal, harus diakui penjelasan dalam ayat ayat Kitab Suci tidak demikian adanya. Atau tidak ingin menerangkan demikian.
Saya tertarik sebuah kutipan yang ditulis oleh AA Wattimena:
 "Kita tidak boleh mencomot secuil data dan fakta dari penelitian ilmiah untuk membenarkan keyakinan religius kita. Kita juga tidak boleh mencomot seenaknya data dan fakta dari penelitian ilmiah untuk kepentingan politik ataupun ekonomi kita. (degrasse Tyson, 2015) Jika kita melakukan itu, kita sedang merusak nalar kita sebagai manusia, dan menghancurkan ilmu pengetahuan. Sayangnya, itu yang kerap kali kita lakukan di Indonesia."
Seperti kita tahu, selain dalam dunia ilmu sangat terbuka pada kemungkinan adanya koreksi, juga memiliki sifat yang kurang lebih universal. Â Inti dari metode penelitian ilmiah adalah upaya sistematik dan berkelanjutan untuk menemukan obyektivitas, yakni kebenaran yang bisa diakui lepas dari keyakinan pribadi ataupun pandangan pribadi dari orang yang menyatakannya. Sebuah pengetahuan ilmiah akan selalu diuji dan dikaji kebenarannya. Dan ini bisa saja kesimpulan akhirnya berbeda dengan asumsi awal. Sedangkan agama, tidak demikian.
Saya ambil contoh misalnya tentang penciptaan Adam sebagai manusia pertama. Ini sangat menarik dan sepertinya selalu menjadi perdebatan. Terutama kalau sudah dikaitkan dengan teori evolusi Darwin. Kaum agamawan segera mengolok olok atau membuat olok olokan kalau Darwin mencetuskan teori manusia berasal dari kera. Padahal bukan demikian yang dimaksudkan Darwin. Dia meneliti bahwa adaptasi akan membentuk genetik baru pada generasi berikutnya.Â
Dan yang semacam inipun akan senantiasa dikaji ulang dan dikoreksi kemungkinan benar dan tidaknya. Para penganut teori evolusi dewasa ini, sudah sampai pada adanya pertautan genetik antar spesies dan dalam dunia kedokteran sudah dimanfaatkan. Misalnya memungkinkan tidak untuk transplantasi organ dari binatang ke manusia. Sedangkan teori Adam dan mungkin juga Hawa, akan sangat kesulitan untuk ikut masuk dalam laboratortiium laboratorium ilmiah. Apalagi, sampai ada penjelasan di mana dia pertama kali turun dan kemudian bertemu, kapan pertama kali beranak pinak dan menyeberang atau menyebar ke seluruh dunia.
Di Indonesia posisinya menjadi menarik, di satu sisi menolak teori evolusi dan memegang kebenaran teori agama, namun tidak bisa memungkiri dalam pelajaran wajib di sekolah untuk tetap bicara tentang teori evolusi. Atau dengan kata lain sebenarnya mendua, ditertawakan tapi dipelajari. Sementara yang diyakini, disimpan sebagai sudut pandang lain namun tidak dikembangkan dalam penelitian. Keduanya dipelajari secara bersamaan yang satunya dalam ilmu pengetahuan alam dan sosial, yang satunya lagi dalam pelajaran agama.Â
Sebenarnya kalau mau sedikit berfikir, orang kan harus sampai pada disposisi yang pasti di mana dia ambil keyakinan dan itulah yang dikembangkan. Di Amerika bahkan ada undang undang yang melarang teori penciptaan dalam Kitab Suci diajarkan di sekolah karena dianggap mitos. Sebenarnya bisa saja untuk dikatakan sebaliknya, sejauh memang memungkinkan teori dalam Kitab Suci itu bisa menjelaskan dan bisa dimanfaatkan di segala bidang.
Namun, benarkah kemudian agama sama sekali tidak memungkinkan untuk memanfaatkan dunia sains atau mengutipnya sebagai pembenaran pembenaran atas keyakinan? Nah dalam arti ini memang saya agak berbeda dengan apa yang dikatakan atau dianut oleh pak Reza Wattimena ini. Agama bagaimanapun harus menyadari keterbatasannya.Â
Dalam Kitab Suci apapun tidak dibahas misalnya adanya bayi tabung, adanya rekayasa genetika, pengguntingan gen manusia, tidak bicara tentang lubang ozon, tidak bicara tentang pemanasan global, dll. Meskipun sebenarnya bisa saja diotak atik gatuk, dalam istilah jawa, disambungsambungkan akan nyambung, namun memang di dalamnya tidak bicara. Lihatlah, ada dua hal yang sangat berbeda jalur di sini, agama bicara tentang nyawa, tentang malaikat, tentang jin, tentang segala sesuatu yang ghaib, dunia ilmu bicara tentang data data yang harus diuji dan diuji kebenarannya. Pengujian ini harus berulang ulang dan siapapun boleh menguji dan mempertanyakannya.Â
Tidak bisa klaim dari satu pihak kemudian dijadikan rujukan ilmiah yang bisa dipercaya. Teori lubang hitamnya Einstein misalnya, ratusan tahun yang lalu sudah dia prediksi namun baru sekarang, kemungkinan jawaban itu ada dan banyak diakui. Itupun masih akan diuji terus. Keterbatasan agama yang semacam itulah yang harus diakui. Kalau tidak, sebenarnya akan sangat menjenuhkan bicara tentang agama yang akan selalu mengulang hal hal yang kurang lebih sama di masa lalu.
Karena keterbatasan itulah kemudian agama bisa bekerja sama dengan dunia ilmiah, dengan riset riset di dalamnya. Bukan untuk mengubah dogma tentunya, tapi untuk menjelaskan secara lebih up to date terhadap kemajuan ilmu dan pengetahuan. Bagaimanapun, agama setidaknya harus bisa menjadi wasit mana yang bisa diterapkan dan mana yang tidak bisa. Kalau tidak, dunia riset bisa brutal dalam arti apapun bisa diriset ulang. Dalam dunia pengetahuan, apapun bisa dijadikan objek untuk riset. Yang paling rawan misalnya sejauh objek riset itu berkaitan langsung dengan manusia dan kemanusiaan. Misalnya saja, bolehkah manusia membuat cloning dirinya untuk tujuan pengobatan.Â
Misalnya, seperti kita tahu orang yang jantungnya rusak, akan kesulitan dan memang sangat sulit untuk mendapatkan organ yang bisa menggantikan jantungnya. Kalaupun ada, kemungkinan besar juga tidak sepenuhnya cocok. Nah, yang bisa dipastikan cocok itu adalah kalau dia membuat kloning dirinya, lalu dari kloning dirinya itu nanti yang akan diambil jantungnya saja.Â
Atau yang cukup menarik sekarang bolehkah manusia difreezer, dibekukan untuk kemudian dihidupkan lagi pada masa masa mendatang? meskipun sudah ada risetnya, tapi agama berkepentingan untuk bisa menilainya bermoral atau tidak. Sesuai dengan prinsip prinsip moral agama atau tidak. Film film seperti Robocop dan juga Ironman ataupun Turtles Ninja, kura kura ninja yang mencoba menjadikan manusia sebagai objek riset tekhnologi memberikan gambaran yang cukup mencolok bagaimana peran tekhnologi untuk peradaban manusia tapi sekaligus mengundang diskusi boleh dan tidaknya. Misalnya saja, mengembangkan otak reptil manusia untuk sekedar menjadi algojo dan membuang lapisan lapisan otak yang lainnya.
Jadi memang di sini, agama bukan hanya sekedar mengklaim kebenarannya dengan mengutip ngutip seenaknya riset riset ilmiah, tapi untuk memberikan penilaian moral yang dibutuhkan. Bukan sekedar untuk otak atik gathuk atau mencocokcocokkan, tapi untuk pendasaran etika yang diperlukan dalam dunia ilmu dan juga penerapannya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H