Mohon tunggu...
Herulono Murtopo
Herulono Murtopo Mohon Tunggu... Administrasi - Profesional

Sapere Aude

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Pendidikan Kita Kebanyakan Mengajarkan Moral dan Menjenuhkan

28 Agustus 2016   23:25 Diperbarui: 29 Agustus 2016   07:48 530
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Masalahnya adalah bukannya masalah moral menjadi sesuatu yang sebenarnya tidak penting, penting sekali. Tapi di mana letak kepentingannya ini yang kurang begitu bisa mengena. Meskipun dalam pendidikan moral banyak kasus, katakanlah kita memberikan soal kasus tentang korupsi, maka uraian jawabannya sudah bisa ditebak berkaitan dengan ketidakjujuran, berkaitan dengan keserakahan, berkaitan dengan melanggar norma norma agama, dll. Atau katakanlah, bisa dipastikan semua bisa menjawab. 

Hal itu yang saya sering katakan kepada anak didik saya sebagai karangan yang indah. Kalau saya sendiri, misalnya mengangkat kasus tentang korupsi, saya angkat mengapa pengetahuan dan tingkat kesalehan seseorang tidak menjamin seseorang untuk tidak berbuat korup. Dan saya paling tidak bisa menerima kalau jawabannya tergantung individu masing masing. Harus ada teorinya yang bisa dikaji, seperti perkembangan moralnya kohlberg, teori hati nurani, tingkatan nilai baik oleh Max Scheler maupun Notonagoro.... baru kemudian bisa menarik kesimpulan.

Nilai nilai moral antara agama, budi pekerti, maupun mungkin Pancasila bisa saja pararel atau sejalan satu sama lain. Tapi dalam kasus kasus yang serius, justru kadang kadang tidak sejalan atau tidak begitu mudah untuk dikompromikan. Katakanlah tentang perkawinan, dalam satu agama saja penafsiran tentang moralitas perkawinan bisa berbeda beda satu dengan yang lain, apalagi dengan yang berbeda agama. 

Apalagi dalam kasus lintas bidang moral. Ada yang mengatakan poligami melanggar nilai nilai kesetiaan, ada yang mengatakan boleh, ada yang menentang, dll. Yang jelas beda beda satu sama lain. Kasus lain misalnya tentang bayi tabung. tentang kapan manusia harus dijamin dan dibela hak hidupnya. dll. Sayangnya yang semacam ini jarang sekali dipermasalahkan.

Jadi, kita ngomong pendidikan tapi dalam hal moral sepertinya kita jauh dari membuat seorang peserta didik itu berilmu. Untuk berilmu harus ada tahap tahap yang dilalui. Sebelum berilmu, orang harus berpengetahuan, baru kemudian bernalar, dan setelah itu berilmu. Berpengetahuan, dia memiliki sumber sumber pengetahuan yang menunjang pada stimulus untuk bisa bernalar. Bagaimana dia mengetahui? selain dengan mengalami sendiri, jelas harus banyak banyak membaca. 

Pertanyaannya, berapa persen peserta didik yang membaca, terutama berkaitan dengan ajaran ajaran moral ini, sehingga dia sampai pada senbuah pertanyaan untuk dinalar. Baru setelah dia bernalar, baik dengan jawaban yang dicarinya sendiri maupun dengan bimbingan dosen pengajarnya sampai pada keadaan seseorang berilmu. Umumnya, banyak yang tidak membaca. Maka sebenarnya kalau membaca saja tidak, bagaimana dia berpengetahuan? Lalu, kalau berpengetahuan saja tidak, bagaimana mereka akan bernalar, dan kalau mereka tidak bernalar, bagaimana mereka akan berilmu?

Katakanlah ada yang membaca. Tapi baru satu bacaan atau satu sumber. Ya, ini dalam dunia ilmu malah akan menyesatkan. Mengapa? bacaannya itu akan menjadi acuan kebenarannya dan tidak ada bandingan untuk bernalar. Sayangnya itulah yang terjadi dalam dunia pendidikan kita. Banyak orang yang seakan akan kalau sudah memiliki bukunya, seolah olah atau merasa dia sudah membaca. Atau kadang kalau sudah membaca dia sudah berilmu. Belum. Dalam dunia ilmu, apalagi dalam dunia moral diperlukan adanya pembanding. Kadang kadang, tanpa pernah membaca, seseorang sudah merasa bisa menganalisa secara moral. Harus diakui, ini masih sangat dangkal.

Misalnya saja, berkaitan dengan sila pertama ketuhanan yang maha esa. Kata katanya indah. Namun sesungguhnya problematis. Bukankah dalam masyarakat kita ada hegemoni agama yang diakui negara atas aliran kepercayaan yang tidak diakui oleh agama? Seakan akan yang beragama lebih maju daripada yang sekedar aliran kepercayaan? Tidak bisakah orang bertuhan tanpa agama? Atau bolehkah orang bertanya, Tuhan itu apa? Tuhan itu siapa? Bagaimana orang didasarkan pada keyakinan bisa dikatakan sesat dan tidak sesat? dll. 

Lalu pertanyaan yang lebih mendasar sebenarnya, bagaimana sebuah keyakinan bisa dikatakan sebagai agama dan apakah agama harus diakui? Atau apakah agama butuh pengakuan? ini nanti punya kaitan misalnya dengan sila kemanusiaan dan juga keadilan. Misalnya saja berkaitan dengan layanan publik seperti KTP, Perkawinan, Akta Kelahiran, Pendidikan, dll.

Tanpa menyentuh persoalan persoalan substansial alias mendasar semacam itu, pendidikan moral akan menjadi sangat normatif karena menutup nalar untuk berlogika. Dan kalau sudah begini bagaimana seseorang dengan pendidikan yang setengah hati semacam ini bisa dikatakan berilmu? Sebanyak apapun ajaran moral disampaikan, akan selalu ada nalar yang terputus. Seseorang hanya sampai pada dogma yang mesti dihafalkan dan lakukanlah. Sudah.      

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun