Mohon tunggu...
Herulono Murtopo
Herulono Murtopo Mohon Tunggu... Administrasi - Profesional

Sapere Aude

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Reshuffle Kabinet atau Kocok Ulang Jatah Kursi?

10 Januari 2016   16:50 Diperbarui: 10 Januari 2016   17:45 834
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption caption="gambar dari www.trendezia.com"][/caption]

Koalisi tanpa syarat yang dahulu didengung-dengungkan Presiden Jokowi waktu kampanye, rasanya seperti terjilat begitu saja. Hal itu tampak misalnya ketika beliau membangun kabinet begitu dilantik menjadi Presiden. Dengan bahasa diplomasi, kemudian muncul istilah profesional untuk yang bukan dari Partai dan profesional partai untuk kalangan yang dari partai. Presiden, bagaimanapun, tetap punya utang politik hingga membebani kinerjanya di awal-awal. Akhirnya desakan untuk mereshuffle kabinet begitu kuat, hingga kemudian reshufflepun dilakukan. Bila pada awalnya reshuffle kabinet begitu kuat dituntut masyarakat, hal ini tidak terjadi di masa sekarang. Meskipun isu reshuffle ini demikian kuat.

Isu itu muncul karena wacana PAN untuk merapat ke kubu eksekutif. Pada saat itu, kemudian ada yang mengatakan dari PAN bahwa sudah tersedia jatah menteri untuk mereka. Dari dalam PAN sendiri mencoba mengklarifikasi dan membantahnya. Jika kita melihat bagaimana dulunya Kabinet Kerja ini dibangun, bukan tidak mungkin bahwa apa yang dikatakan PAN dengan jatah menterinya sebenarnya benar. Bagaimanapun juga, koalisi tanpa syarat dengan sistem perpolitikan di Indonesia saat ini masih menjadi misi yang imposibel. Wajah-wajah rakus dipetontonkan oleh para politisi. Dan ini tidak bisa kita sangkal. Perang dan perebutan kekuasaan (sebagai sarana mencari uang) dengan telanjang kita lihat setiap ada moment politik di negeri ini. Dan demikianlah, meskipun tidak banyak, namun dalam Kabinet Kerja juga diisi oleh orang-orang politik yang bertentangan dengan semangat awal, koalisi tanpa syarat.

Dengan demikian, ketika kemudian pemerintah mengatakan bahwa anggota KMP yang ingin bergabung dengan KIH dalam pemerintahan tidak tapi jangan minta jatah kursi menteri, rasanya memang (sekali lagi) imposible. kalaupun tidak dalam kementrian, publik boleh dan berhak menerka-nerka ada jabatan lain yang bisa diisi oleh kalangan politik ini. Hal ini mengingatkan saya dengan politik balas budi pada jaman hindia Belanda dahulu. kalau politik balas budi dulu terjadi karena muncul aktivis dan penggerak HAM bahwa mereka telah mengeruk keuntungan dari menjajah Indonesia dan dengan demikian mereka harus membalas budi kepada bangsa Indonesia dengan pendidikan dan pembangunan untuk rakyat, politik balas budi sekarang lebih kepada politisi dan relawan pendukung.

Tidak salah, namun jangan pertama-tama balas budi yang dikedepankan melainkan karena kebutuhan dan kompetensi seseorang untuk duduk di jabatan yang tepat. Politik balas budi ini, seperti kita tahu akhirnya menyadera kinerja presiden sendiri. Keputusan presiden menjadi gamang, meskipun kita akui dari pihak presiden banyak hal baik sudah dibuat. Namun, beliau sendiri harus melawan desakan-desakan partai koalisi pendukungnya. Pada hemat saya, hal ini akan menyita energi sang presiden. Lihatlah, betapa presiden harus rela dimarah-marahi pembesar partai, rela tidak dipatuhi, rela berkonflik dalam kabinet karena beda kebijakan, dll. Bagaimanapun juga, masyarakat bisa melihat dengan terang bahwa negara sekarang dalam kondisi multipilot dari yang sebelumnya autopilot.

Hal berikutnya yang diharapkan membuat gaduh dalam issu reshuffle adalah publikasi menteri pemberdayaan aparatur negara dan reformasi birokrasi tentang kinerja menteri. Dengan memperlihatkan kinerja menteri tersebut (meskipun tidak diakui) sepertinya publik digiring untuk memaklumi adanya reshuffle. Kita tahu, siapa yang paling marah dengan publikasi tersebut? PKB! Ya... lagi-lagi orang partai bukan? coba kalau dia (menteri itu dari kalangan profesional) tentu saja tidak merasa berhak untuk marah-marah atau mencari dukungan dan pembelaan sana sini. Orang profesional akan melihat bahwa publikasi tersebut merupakan bagian dari evaluasi dan sebentuk transparansi kepada publik. Sedangkan orang partai akan melihat hal tersebut sebagai bagian dari politik. Penjatuhan secara politis. Dan di balik itu, ungkapan bahwa publikasi tersebut tidak ada hubungannya dengan issu reshufle jelas tidak sejalan dengan penafsiran masyarakat. Juga ketika presiden harus berbicara bahwa reshuffle adalah hak prerogatifnya, tidak ada yang bisa mendesak dan mendiktenya, merupakan hal yang benar namun ada banyak pengandaian di dalamnya. Desakan tetap ada, pendiktean tetap juga terjadi di balik layar.

 

Partai Sebagai Beban

Kalau melihat betapa beratnya kerja presiden SBY pada era terdahulu, konflik kepentingan antar elite partai pendukung tidak bisa dielakkan. Itu saja, mereka sudah mendapatkan jatah kursi secara proporsional. Bagaimana dengan sebuah koalisi yang tanpa syarat? nalar masyarakat bisa jalan dan bisa menebak-nebak bagaimananya. Sekarang ini, diakui atau tidak, partai-partai koalisi sudah menjadi beban dalam pemerintahan Kabinet Kerja. Itu saja jumlahnya masih sedikit. Bagaimana kemudian kalau semakin banyak parta yang merapat ke pemerintahan.

Meskipun presiden punya hak prerogatif, namun partai-partai ini tetap merasa punya hak dan kepentingan memberikan masukan kepada presiden. Kali ini sebenarnya kita juga melihat bahwa partai-partai yang ada, sebenarnya juga lebih bisa dikatakan menjadi beban. Bertambahnya partai banyak-banyak, tidak terlalu punya dampak pada pemerintahan sekaligus melemahkan fungsi kontrol dan juga sikap kritis terhadap pemerintah.

Takutnya, dan semoga ini tidak terbukti, reshuffle kabinet yang sekarang sedang santer ini merupakan kocok ulang jatah menteri. Janganlah itu terjadi, setidaknya sekarang masyarakat menginginkan pemerintah untuk fokus kerja dengan memanfaatkan SDM yang telah dipilih. Masyakat luas semakin percaya pada pemerintah yang ada, sudah saatnya melepaskan tekanan politis manakala kinerja sudah tampak sedemikian baik.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun