Kalau hal semacam itu saja sulit dilakukan, bagaimana dengan ceramah-ceramah agama? bagaimana seperti dikatakan pak menteri mereka bisa diberitahu bahwa kecenderungan dan juga perbuatan mereka menyimpang? memaksa seorang pecinta sesama jenis untuk bisa mencintai orang yang berbeda jenis itu sama sulitnya dengan memaksa kita yang 'normal' untuk bisa mencintai orang yang sejenis.
Secara teologis, kalau agama mau terbuka terhadap kenyataan, harus bisa merubah paradigma terhadap kaum yang semacam ini. Artinya begini, kalau kecenderungan semacam itu merupakan bawaan dari lahir (yang berarti juga sudah kodrat) orang akhirnya bertanya, hal semacam ini dikehendaki oleh Allah atau tidak. Kalau misalnya mau dicari siapa yang salah, siapakah yang salah? toh punya kecenderungan homoseksual bukanlah kehendaknya sendiri, juga bukan pilihannya.
Menyadari hal semacam itu, akhirnya saya bisa memahami problematika mereka. Saya menghargai bagaimana perjuangan mereka. Namun demikian untuk ikut mendukung dan memperjuangkan hak-hak mereka agar perkawinan mereka bisa dilegalkan tentu saja merupakan hal yang berbeda. Sejauh pemahaman saya tentang agama saya melihat bahwa agama punya peran sebagai gerbang moral. Penjaga moralitas meskipun tidak bisa memaksakan orang untuk mematuhi moralitasnya. Agama menempatkan tatanan moral yang ideal sebagai pegangan. Dengan demikian, agama sebagai sebuah institusi punya hak yang sama untuk bertahan dengan tradisinya dan juga ajaran moralnya. Jemaat dan masyarakat punya hak agar agama melegalkan perkawinan sejenis. Tapi agama juga punya hak untuk menolak atau menerimanya. Jadi keduanya tidak bisa saling memaksa, meskipun kemudian tidak bisa juga saling memusuhi. Berjalan bersama tanpa saling memusuhi saya pikir masih bisa menjadi jalan keluar.
Hal ini memang berbeda dengan negara. Meskipun negara berdasar pada ketuhanan, bukan berarti negara harus berpihak pada agama tertentu. Di beberapa negara yang melihat permasalahan semacam ini tetap mengutamakan hak-hak individu. Sehingga, diharapkan tidak ada individu yang ilegal. Juga tatanan kehidupan, meskipun dalam arti tertentu mereka menyimpang, negara memberi kesempatan untuk meregistrasikan status hubungan mereka. Suasana semacam ini tentu masih jauh kalau mau diterapkan di Indonesia. Jangankan yang menyimpang, perkawinan beda agama saja tidak akan dicatat dalam catatan kependudukan sipil. Apalagi mereka yang menikah dengan agama adat di daerah masing-masing seperti Sunda Wiwitan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H