[caption id="attachment_291635" align="aligncenter" width="580" caption="Salah satu sudut koleksi buku saya"][/caption]
Entah mengapa, saya mendapatkan kesan bahwa banyak murid dan guru yang dewasa ini semakin jauh dari kebiasaan untuk membaca. Jangankan membaca buku, membaca tulisan berkwalitas dari internetpun sepertinya jarang dilakukan. Saya selalu menanyakan kepada para murid saya yang sudah 'gedhe-gedhe', "kalau kalian buka internet, apa yang kalian baca?"
Jawabannya tentu bisa ditebak: berita-berita terkini, materi makalah dan tugas untuk di copy paste, dan tentu saja, membaca status di FB atau kicauan di tweeter. Akibatnya jelas, bahkan untuk istilah-istilah 'akademis' yang sederhanapun, seakan hanya numpang lewat. Pemahaman mereka tidak lagi ilmiah dan mendalam. Pemahaman mereka adalah pemahaman yang common sense. Jauh dari kesan seorang pelajar, maupun beberapa teman pengajar, tidak ada juga kesan budaya ilmiah!
Saya ambil contoh pemahaman tentang seksualitas. Pada awalnya saya tanyakan pemahaman mereka akan seksualitas. Jawaban mereka adalah hubungan antara pria dan wanita. Ada lagi yang mengatakan, hasrat untuk berhubungan. Kemudian saya menjelaskan bahwa seks itu adalah identitas seseorang berdasarkan jenis kelamin, atau dia wanita atau dia laki-laki. Identitas ini bersifat kodrati atau natural. Berbeda dengan gender. Gender merupakan kebudayaan yang didasarkan pada seksualitas. Sehingga, kalau seks itu tidak bisa berubah-ubah, gender bisa berubah. contoh seksualitas itu lelaki punya penis, wanita punya rahim, dll. sementara kalau gender misalnya kebiasaan suatu masyarakat memberi nama berdasarkan jenis kelamin. kalau laki-laki yang kelihatan kuat, misalnya nama Teguh, Prakosa, dll, kalau wanita diberi nama yang indah-indah, misalnya Ayu atau Melati, dll. kemudian saya beri beberapa referensi, silahkan membaca buku exploring the Dimension of Human Sexuality, yang secara komprehensif  membahas tentang hal ini.
Dalam kesempatan ujian, lisan saya tanyakan lagi pertanyaan yang sama pertama kali. Apa itu seksualitas? jawabannya, "hubungan pria dan wanita, hasrat untuk berhubungan, dll".
Tema lain. Kita sering mendengar kata etika. pertama kali saya tanyakan kepada murid saya apa itu etika, jawabannya adalah sopan santun, tingkah laku, dan sejenisnya. Sering saya gemas dengan jawaban itu. lalu saya lanjutkan dulu pertanyaan, apa bedanya etika dengan moral? apa bedanya lagi dengan etiket? jawabannya tentu bisa ditebak. bingung! hahahaha..... Â Setelah itu saya jelaskan, etika itu ilmu moral. moral itu ajaran baik dan buruk. Etiket itu kesopanan. masing-masing punya perbedaan. Biasanya saya memberikan referensi berbahasa Indonesia karangan Kees Bertens dan Magnis Soeseno. Nah, ketika ujian berlangsung ada pertanyaan tentang etika, jawabannya persis sama ketika belum diterangkan. Padahal, ketika selesai diterangkan, saya tanya apakah mereka sudah jelas, mereka menjawab jelas sekali!
Akhirnya saya sadari, betapa sulit mengubah pemahaman itu sendirian! artinya, harus ada yang bisa membantu mengubah pemahaman ini. Salah satunya alat bantu adalah buku. Setali tiga uang! meminta para pelajar (bahkan ada mahasiswa saya yang juga sudah menjadi pengajar) untuk membaca buku ilmiah, seperti meminta Jakarta agar tidak banjir.
"Kalian itu, kalau sudah punya bukunya, seolah-olah sudah membacanya! kalau sudah punya file-nya, seolah-olah sudah menguasainya!" kata saya kepada para murid, "Kalian bisa membayangkan, dulu pada tahun 1945, Yang melek huruf di Indonesia itu tidak lebih dari 10%! Tapi dari yang 10% itu menghasilkan Soekarno, Hatta, Syahrir, Tan Malaka, dll. Pidato-pidato mereka berbobot, banyak kutipan penulis-penulis besar dalam pidato mereka! Ideologi mereka dipakai berdebat dengan serius.... yang islamis bawa Alquran, yang Marxis bawa Das Kapital..... kenapa sekarang tidak ada budaya itu? nama-nama penulis besar menjadi asing untuk kalian!"
Toko-toko buku menjadi sepi. Perpustakaan juga sepi. Kalaupun ada mereka sedang ada tugas untuk membuat skripsi. Bahkan, sekarang skripsi (selain beli) juga banyak yang hanya adaptasi. Saya juga punya pengalaman dengan para guru di sebuah asrama sekolah. Tidak ada budaya membaca buku. apakah bisa dimaklumi bahwa mereka memang sudah kelelahan dengan tugas mengajarnya?
Saya ingat dengan sebuah tulisan dari Tere Liye di Harian Kompas, generasi digital ini mengakibatkan masyarakat pemalas. Malas menulis dan malas membaca. Kalaupun menulis, mereka hanya menulis celotehan. Kalaupun mereka membaca mereka hanya membaca celotehan. Pada masa sekarang, ini tampak sangat nyata. Tiba tiba kemarahan Ani Yudhoyono di Instagram menjadi sangat penting. Padahal, jelas, celotehan ini tidak terlalu penting, juga ketika beliau bertanya, "Bu Jokowi dan Bu Ahok ke mana?"
Kemarin saya telepon ke Gramedia, saya cari buku Pendidikan Karakter karangan Dhoni Koesoema, guru saya dulu. Sudah habis. Padahal dalam hemat saya, buku itu sangat bagus sebagai pengajar etika dan filsafat. Kemudian, mumpung masih ada waktu, sebelum saya sampai ke kampus, saya mampir di toko buku Gunung Agung. Alhamdullilah, ada buku Pendidikan Karakter versi lain dari penulis yang sama. Di depan ada buku berjudul Selalu Ada Pilihan karangan SBY dan buku Janji Kebangsaan karangan Anas. Maaf untuk yang itu saya lewati, kemudian saya cari buku lain, Dunia yang dilipat karangan Yasraf Amir Piliang. Nah, sekarang saatnya menikmati bacaan bermutu ini.
Salah satu cara untuk meningkatkan minat baca yang saya tempuh adalah memberikan buku kepada mereka yang nilainya di atas 80 saat ujian! semoga saja.....
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H