Kabar gembira dalam dunia medis terutama yang bagi lelaki alat kelaminnya bermasalah. Pagi-pagi membaca koran KOMPAS dan ada artikel kecil tentang keberhasilan transplantasi penis di Afrika Selatan. Bagi saya pribadi, keberhasilan itu tak terlalu mencengangkan. Pasalnya sudah ada keberhasilan transplantasi organ yang lain dan jauh lebih rawan dibandingkan alat kelamin pria ini. Tapi, karena ini berkaitan dengan penis maka hal ini memang menjadi lebih menarik.
Menurut berbagai sumber berita yang ada, ternyata pasien yang mendapatkan transplantasi penis ini dulunya sunat tapi kelebihan hingga jadi terlalu kecil. Tentu hal ini menjadi kabar gembira bagi banyak pria yang bermasalah dengan penisnya. Mungkin yang ukurannya kelewat mini atau yang sudah terlalu renta dimakan istrinya eh usia maksudnya. Meskipun, hasilnya belum sempurna namun dalam berbagai fungsi sudah bisa normal termasuk bisa ereksi dan orgasme.
Tapi bagi saya ternyata ini bukanlah hal yang menggembirakan. Lho kok? Apa karena sudah kelewat maksimal fungsinya? Ga juga. Hahaha.... Tapi saya sebagai seorang pemerhati moral hidup seperti ditantang untuk kembali bersuara tidak pada kemajuan biotekhnologi ini. Atau setidaknya bisa memberikan semacam refleksi kritis berkaitan dengan kemajuan tekhnologi itu.
Bahwa manfaatnya baik, tentu saja harus kita syukuri. Tapi kebaikan ini kan baru pada pihak pasien. Kita belum melihat pada pihak pendonor. Apakah mungkin ini baik juga bagi dia? Dalam pembahasan tentang seksualitas manusia (human sexcuality) alat kelamin adalah organ vital yang menentukan identitas seseorang baik sebagai laki-laki ataupun sebagai perempuan. Untuk bisa melihat seseorang sebagai laki-laki atau perempuan, tentu bisa banyak cara yang dilakukan. Namun yang menjadi kunci adalah alat kelaminnya. Nah kalau alat kelaminnya disumbangkan atau didonorkan untuk transplantasi, praktis ada masalah di sini.
Penis itu tidak seperti kuku atau rambut. Kalau dipotong lalu tumbuh lagi. Tidak bisa. Tapi dengan begitu lalu seseorang kehilangan salah satu identitasnya. Lah kan tujuannya untuk kebaikan, apanya yang salah? Umumnya ada dua hal yang menjadi keberatan transplantasi alat-alat vital semacam ini, pertama kalau dengan transplantasi atau donor justru menyebabkan pendonor kehilangan nyawa seperti donor jantung atau kehilangan identitas dan martabatnya sebagai manusia seperti donor otak dan salah satunya juga donor alat kelamin.
Jadi, meskipun donor itu baik, tapi tetap ada batas-batasnya dalam rangka menjaga martabat hidup manusia. Misalnya donor darah, adalah baik sejauh untuk pendonornya juga masih baik. Donor mata, juga mungkin sejauh pendonornya masih mungkin untuk melihat. Tapi mendonorkan penis adalah bermasalah di sini. Sekalipun, penis itu barangkali tidak terlalu banyak digunakan seperti para biarawan dan bhiksu, tapi mendonorkan penis tetap immoral. Dalam hal ini, amputasi yang dilakukan justru membuatnya cacat dan kehilangan identitas. Amputasi organ baru bisa dilakukan demi kebaikan si pemilik organ, meskipun untuk alasan yang manusiawi, dengan nilai pengorbanan masih mungkin untuk mendonorkannya bagi orang lain.
Yang praktis perlu dihindarkan tentu saja komodifikasi tubuh. Tubuh dijadikan komoditas. Meskipun untuk tujuan yang mulia, tapi menjadikan organtubuh sebagai komoditas untuk dijual adalah sesuatu yang jahat. Pada saat ini, kebutuhan akan transplantasi semakin meningkat, cara-cara untuk memperoleh organ manusia yang sangat kompleks dan indah ini tampaknya semakin melanggar batas-batas moral. Bahkan ada beberapa orang yang menyarankan untuk melarang adanya organ market. Transplantasi ini memiliki resiko bagi sang donor, bahwa sang donor disini bukan menjadi manusia tetapi seperti instrument untuk keperluan medis.
Transplantasi menawarkan sebuah jendela yang memperlihatkan janji dan paradox daripada pengobatan kontemporer.Pada awal mulanya yang terlihat seperti percobaan hingga sekarang transplantasi sudah biasa dilakukan, dalam berbagai hal, transplantasi mirip dengan pengobatan yang lainnya. Tetapi sayangnya, transplantasi ini tampaknya berada pada posisi yang selalu menuai banyak kontroversi, dan banyak sekali kebingungan.
Seiring dengan pertambahan bank jaringan, resiko seorang individu hanya akan menjadi sebuah nilai instrumental semakin meningkat, baik saat individu tersebut atau setelah ia meninggal. Halyang lebih parah lagi ketika organ ini dijual, organ ini akan menjadi seperti sebuah komoditas dan kehilangan makna dan arti sesungguhnya.
Yang kedua, yang perlu dihindari juga adalah kecenderungan untuk menolak seksualitas pada diri seseorang. Bayangkan, kalau misalnya orang seperti saya, merasa bahwa jiwa saya perempuan dan terjebak dalam tubuh lelaki. Penis ini menyiksaku tentu saja. Lalu, dengan penerapan transplantasi penis kan terjadi simbiosis mutualisme. Saya tidak suka dengan penis saya dan bisa bermanfaat untuk orang lain? Kasus transgender untuk sementara ini memang bermasalah. Ada pegiat HAM yang terus memperjuangkan untuk dilegalkan. tapi, atas nama HAM juga sebagian orang menolak kegiatan yang sangat beresiko tersebut.
Lalu bagaimana, apakah dengan demikian orang yang penisnya bermasalah tidak boleh berharap? Ya... tentu saja boleh. Hanya dengan cara-cara yang ketat dan justru tidak secara serius mengancam martabat kemanusiaan itu sendiri. Misalnya, transplantasi hanya dilakukan dari organ tubuh orang yang sudah meninggal, itupun dengan persetujuan sadar sewaktu masih hidup. Tapi bagaimanapun, lebih baik mencegah daripada mengobati. Seperti kasus di atas yang terpaksa transplantasi karena sunatnya kelebihan memotong, maka pencegahannya tentu sudah bisa ditebak sendiri tentunya.
Salam Transplantasi eh, salam kompasiana maksudnya!!!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H