Mohon tunggu...
Herulono Murtopo
Herulono Murtopo Mohon Tunggu... Administrasi - Profesional

Sapere Aude

Selanjutnya

Tutup

Healthy Artikel Utama

Legalisasi Aborsi Karena Perkosaan: Salah Alamat! Yang Salah Bapaknya

14 Agustus 2014   17:30 Diperbarui: 18 Juni 2015   03:34 1043
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="" align="aligncenter" width="546" caption="Bayi Menangis | Kompasiana (Kompas.com)"][/caption]

Legalisasi Aborsi Karena Perkosaan: Salah Alamat! Yang Salah Bapaknya, Kok Anaknya yang dibunuh?

Sudah sejak lama sebenarnya undang-undang legalisasi aborsi ini diperjuangkan . Terutama oleh kaum feminis yang disebut sebagai pro-choice. Rancangan Undang-undangnya sudah diperbarui sejak tahun 2002. Saya masih ingat ketika kemudian, pada tahun 2005, kami menyelenggarakan diskusi kontroversi aborsi. Kaum feminisnya diwakili oleh dua perempuan hebat, Nurul Arifin dan Gadis Arivia. Bahkan, argumentasi mereka jauh lebih longgar daripada yang sekarang diloloskan sebagai PP No. 61 th. 2014 tentang kesehatan reproduksi. Waktu itu, argumentasi dasar mereka adalah hak seorang wanita atas tubuhnya. Tubuh seorang wanita punya hak, untuk mau mengandung atau tidak.

Setidaknya, sejak awal diperjuangkannya Undang-Undang yang kemudian disahkan dalam Peraturan Pemerintah ini membela agar aborsi dilegalkan untuk kasus di mana jiwa sang ibu terancam dan kasus perkosaan. Sebenarnya, dua kasus itu memiliki pertimbangan moral yang berbeda. Yang pertama adalah mengorbankan kehidupan untuk membela hidup sang ibu, sedangkan yang kedua adalah mengorbankan kehidupan untuk membela kehormatan sang ibu. Saya boleh menyebutkan bahwa untuk kasus di mana karena sesuatu hal, maka nyawa seorang ibu menjadi pertaruhan, intensinya pertama-tama adalah membela hak hidup si ibu. Hak hidup, seperti pernah saya bahas di forum ini merupakan hak fundamental yang tidak bisa diganggu gugat. Untuk memperjuangkan hak hidupnya itulah kemudian, janin yang ada dalam kandungannya terpaksa dikorbankan. Meskipun bisa ditolerir, alasan ini sebenarnya mengandung kelemahan karena janin dalam keadaan tanpa pembelaan sama sekali. Kita ibaratkan saja, ketika seorang militer yang punya senjata kemudian melawan anak kecil sipil, jelas tidak bisa dibenarkan secara moral kalau sampai membunuh. Tapi, karena hal ini mengindikasikan dengan nyawa sang ibu terancam, tindakan itu masih bisa dipertanggungjawabkan secara moral.

Sedangkan kasus perkosaan, intensinya biasanya ada dua, menghindarkan korban dari rasa malu dan menghindarkan korban dari rasa trauma. Jangan sampai kemudian, karena melihat anaknya dia langsung ingat pada kasus perkosaannya. Kalau tujuan langsungnya hanya sekedar menghindari rasa malu, jelas alasan ini sangat lemah untuk diterima secara moral. Hidup seorang anak tidak bisa ditukar dengan harga diri. Sementara kalau alasannya bersifat psikologis, jangan sampai si korban trauma secara mendalam. Masih bisa diterima, meskipun masih cukup lemah. Beberapa kelemahan itu misalnya, salah alamat bila yang melakukan kejahatan bapaknya, yang dikorbankan (semacam tumbal) adalah anaknya, dan yang kedua, trauma itu bisa lebih mendalam manakala dia ingat bahwa dia telah melakukan aborsi dan menggugurkan anaknya.

Memang sering kita dengar, orang tuanya yang salah, lalu anaknya yang tak berdaya menjadi pelampiasan balas dendam. Ini jelas tidak bisa dibenarkan karena alasan dasarnya adalah untuk memenuhi hasrat membalas sakit hati. Sedangkan, mengorbankan anak dalam rangka menghindari rasa trauma juga tidak bisa dibenarkan secara moral. Bagaimanapun, yang pantas mendapatkan hukuman di sini adalah pihak pemerkosanya. Bukan anaknya. Nah, yang perlu diatur tentu saja adalah bagaimana hukuman terhadap pelaku perkosaan.

Di beberapa tempat dalam masyarakat, tanggung jawab biasanya dalam bentuk menikahi. Jelas ini tidak bisa diterima secara moral. Korban malah dipaksa menikah dengan pelaku kejahatannya. Dipenjara saja, juga tidak menyelesaikan masalah. Saya kira, model denda untuk membayai hidup si anak masih jauh lebih manusiawi, ditambah dengan hukuman pidana semacam penjara. Sebab kalau hanya denda saja, orang akan rela menabung banyak-banyak demi bisa menjadi pemerkosa.

PP ini memang mendapatkan dukungan dari beberapa lembaga keagamaan. Beberapa argumentasi ini barangkali bisa dijadikan referensi terhadap dukungan itu. Dalam agama Islam, misalnya didasarkan pada argumentasi bahwa baru pada usia 4 bulan roh seseorang dihembuskan. Dalam agama Buddha, masih diijinkan adanya aborsi karena bagi mereka kesadaran menjadi kunci keutuhan manusia. Itu berarti sejak syaraf otak terbentuk baru hak hidupnya tidak bisa diganggu gugat. Dalam beberapa argumentasi lain, bahkan dengan prinsip otonomi, kehidupan individu bahkan diakui baru sesudah dilahirkan. Yang terakhir ini berlaku dalam undang-undang yang mengijinkan aborsi di Amerika Serikat.

Lepas dari alasan-alasan teologis dan juga filosofis tersebut, para embriolog modern biasanya mengakui bahwa hidup dimulai sejak selesainya proses pembuahan. Dengan energi yang berasal dari dalam dirinya sendiri, embrio terus berkembang, meskipun pasokan sumber energi berasal dari induknya. Hal ini kemudian mendorong tokoh-tokoh dari 6 lembaga agama di Indonesia menandatangani pernyataan bahwa hak hidup seseorang mesti dijamin sejak selesainya pembuahan. Berdasarkan pertimbangan tersebut, maka sudah semestinya bahwa siapapun yang mengakui adanya hak asasi manusia harus menolak dengan tegas legalisasi aborsi. Karena dengan demikian, seorang dokter ahli aborsi akan menjadi orang yang melawan profesinya. Dokter adalah pelayan kehidupan, bukan algojo untuk janin-janin tak berdosa.

140798690242578202
140798690242578202
Pernyataan Sikap Tentang Aborsi, Gambar dari sayangihidup.org

Salah satu alternatif yang bisa dilakukan untuk korban perkosaan adalah dengan pendampingan psikologis dan menghilangkan trauma yang telah dan masih mungkin terjadi. Yang paling penting adalah mendorong korban agar bersedia melahirkan anak dalam kandungannya meskipun kemudian bisa dititipkan di panti asuhan. Biasanya, panti asuhan akan menerima anak itu dan memperbolehkan si ibu mengambilnya bila dia siap menerima anak kandungnya. Pilihan ini jauh lebih bermartabat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun