Mohon tunggu...
Herulono Murtopo
Herulono Murtopo Mohon Tunggu... Administrasi - Profesional

Sapere Aude

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Terima Kasih, Dokter Menolak Terlibat Praktek Aborsi

16 Agustus 2014   17:46 Diperbarui: 18 Juni 2015   03:23 224
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

"Kalau ingin melakukan aborsi, jangan ajak-ajak kami (dokter). Jangan dokter yang lakukan karena melanggar sumpah juga. Kami tidak mau dipenjara karena sampai sekarang KUHP masih berlaku," ujar Kepala PB IDI Zaenal Abidin (jpnn.com).

Setiap dokter yang mau mendengarkan hati nuraninya, akan mengatakan hal serupa. Bahwa sebelum legalisasi aborsi dengan PP dari pemerintah saja ada dokter sudah melakukan kejahatan dengan praktek aborsi, motifnya jelas bukan kemanusiaan. Mereka melakukan kejahatan demi mendapatkan uang. Legalisasi ini menjadi pintu masuk untuk melakukan kejahatan atas kehidupan secara sah. Satu-satunya yang bisa diterima sebagai alasan oleh para dokter untuk secara terpaksa melakukan aborsi adalah darurat medis. Sudah saya uraikan sebelumnya bahwa intensinya bukanlah aborsi langsung, tapi membela kehidupan si ibu. Ini secara moral masih bisa diterima.

Menteri kesehatan, ibu Nafsiah Mboi mengatakan bahwa paramedis yang akan melakukan praktek aborsi akan dilakukan pelatihan. Menurut Yanti Herman, perancang peraturan Biro Hukum dan Organisasi Kementerian Kesehatan, paramedis ini adalah tim medis yang melakukan "pendampingan sampai selesainya aborsi" (tempo.com). Saya membayangkan akan ada tim medis spesialis aborsi. Saya yakin, kalau kebanyakan dokter menolak terlibat praktek aborsi maka tim akan dibentuk dan diisi oleh orang-orang yang dulunya terbiasa melakukan aborsi secara ilegal. Maka, sekali lagi ini merupakan pintu masuk untuk mereka. Padahal, tugas dan panggilan seorang dokter adalah meningkatkan kwalitas kehidupan, menyembuhkan yang sakit, dan aborsi berarti menghentikan kehidupan.

Saya kutip lagi kata-kata kepala ikatan dokter indonesia di atas, "Kondisi ini pun berpotensi menimbulkan pertentangan hati para dokter. Sebab jika mengacu pada teori Phytagoras, awal kehidupan manusia itu terjadi sejak dari pembuahan, dan teori ini diakui dalam etika kedokteran."

Acuan sumpah kedokteran adalah sumpah hipokrates. Di dalamnya juga memuat sumpah bahwa mereka akan melindungi kehidupan manusia sejak pembuahan. Meskipun, sumpah kedokteran ini kemudian di Indonesia dimodifikasi dengan kata-kata "sejak awal kehidupan dimulai." Maka, kalau kemudian awal kehidupan dimulai mau diperdebatkan, janganlah menteri buru-buru membuat peraturan yang tegas tentang aborsi.

Terlalu banyak aturan turunan yang harus dibuat untuk memperketat legalisasi aborsi ini. Inipun masih akan ada dalam perdebatan karena banyak argumentasi yang menentangnya. Bagaimanapun, bunyi aturan yang bermakna ganda akan sangat multi tafsir dan orang akan sewenang-wenang menerapkannya. Misalnya saja, definisi perkosaan. Belum tentu sepasang kekasih yang melakukan persetubuhan, lantas mereka suka sama suka. Atau kalaupun suka sama suka, mereka menggunakan istilah kehamilan tak diinginkan sebagai kasus perkosaan. Multitafsir.

Belum lagi sekarang saja sudah banyak muncul alasan-alasan lain yang bisa menjadi alasan untuk melakukan aborsi di luar kasus perkosaan, misalnya kesehatan janin dan kesiapan si ibu. Benar-benar akan terjadi efek turunan yang dalam bahasa moral dikatakan sebagai slippery slope, efek jurang yang curam. Dalam prinsip ini dikatakan bahwa apabila ada kelonggaran dalam hal moral, maka kelonggaran itu akan segera melebar dengan sendirinya meninggalkan prinsip dasar yang semestinya.

Adalah kongres Warnock di Inggris bisa menjadi contoh serupa. Pelonggaran terhadap prinsip awal kehidupan ini kemudian selain aborsi menjadi legal, banyak embrio-embrio 'terbuang' ini yang dijadikan bahan riset. Setiap dokter yang mau menyelami akibat semacam ini, tidak akan begitu saja rela sebenarnya embrio-embrio yang telah hidup menjadi objek penelitian yang kalau belum digunakan akan dibekukan. Di Indonesia, pembekuan embrio sudah banyak terjadi.

Maka, terima kasih kepada para dokter yang tidak mau terlibat dalam kasus aborsi. Sejak tahun 1998, ada sekelompok orang yang menamakan diri mereka sebagai FKPK (Forum Komunikasi Penyayang Kehidupan). Yang tergabung dalam FKPK adalah orang, organisasi, lembaga, dan kelompok yang peduli dan berkecimpung dalam gerakan pro life yaitu rumah sakit, rumah bersalin, shelter, Panti Asuhan, dokter, bidan, psikolog, ahli hukum, dll. Relawan-relawan ini tersebar dari berbagai daerah. Untuk webnya, silahkan kunjungi www.aborsi.org

Saya kira, gerakan FKPK jauh lebih bermartabat daripada dukungan untuk legalisasi aborsi yang sekarang sedang dipromosikan pemerintah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun