Mohon tunggu...
Herulono Murtopo
Herulono Murtopo Mohon Tunggu... Administrasi - Profesional

Sapere Aude

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Jokowi dalam Sandera Politik

17 September 2014   17:53 Diperbarui: 18 Juni 2015   00:26 60
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebagai pendukung pasangan Jokowi JK, sejak awal saya sudah bisa memperkirakan bahwa dalam kenyataannya hampir mustahil sebuah koalisi tanpa imbalan di dalamnya. Hanya bentuknya yang waktu itu belum saya perkirakan. Akhirnya, waktu menjawab juga, meskipun masih juga menjadi teka-teki setidaknya sampai sekarang.

Yang paling kelihatan sekarang ini tentu saja adalah istilah profesional partai yang terkesan hanya menjadi penghalusan istilah saja dari orang partai. Kalau diperhatikan, sebenarnya alasannya sama dengan apa yang disampaikan oleh kubu Prabowo-Hatta dulu yaitu bahwa tidak berarti orang partai itu tidak profesional. Apakah ini berarti Jokowi memang tersandera oleh kepentingan partai? Jujur saja saya harus menjawab iya. Mau tidak mau ini adalah kepentingan politis, termasuk berkaitan dengan jumlah yang masih 34. Apalagi, pemberian 'jatah' partai yang 16 ini dimungkinkan sebagai sebentuk rayuan bagi koalisi lawan untuk bisa bergabung dalam pemerintahan. Jelas sekali, ini sebuah sanderaan politik yang akhirnya harus diterima kesan seolah Jokowi ingkar janji. Padha bae! Kepentingan utamanya adalah agar roda pemerintahan tidak terganjal parlemen. Mengingat, meskipun sistem yang dianut Indonesia saat ini adalah presidensial namun kebijakannya tetap bersifat parlementer.

Sanderaan politik ini lebih terlihat lagi misalnya dalam kasus BBM. Memang tidak bisa dipisahkan antara Jokowi dengan PDIP. Dulu, PDIP dan Gerindra adalah penolak utama kenaikan BBM di era SBY. Sekarang ketika suasananya berbeda, Jokowi mendapatkan getahnya.

Dalam prinsip moral, dikenal dengan istilah minus mallum. Di antara semua pilihan yang buruk, ada yang keburukannya paling kecil. Nah, seperti dilema, akhirnya keputusan ini harus diambil. Dan menurut saya, saya pribadi, untuk sementara inilah salah satu pilihan terbaik dengan beberapa catatan. Memang hampir mustahil untuk membuat sebuah koalisi tanpa syarat yang tidak mendapatkan apa-apa. Meskipun ada imbalannya, tapi toh masalah imbalan politik bukan alasan utama. Akhirnya, orang-orang dari partai pun diambil dengan catatan orang profesional. Saya membandingkan dengan era SBY yang menempatkan menteri seperti memindahkan bidak-bidak catur. Semoga Jokowi tidak semacam ini. Ya ini harapan sih. Bisa terwujud bisa ga. Artinya, partai-partai koalisi benar-benar memperhitungkan kompetensi dan kapabilitas calon menterinya. Selain itu, catatan utamanya jangan sampai menteri menjadi ATMnya partai dan juga pejabat menteri harus melepaskan jabatan partai. Jelas ini semua diharapkan dan dipersyaratkan Jokowi. Namun dalam sandera politik, akhirnya seperti dikatakan oleh TV ONE, kabinet ini adalah akhir dari sebuah tarik ulur. Untuk yang lebih positif melihatnya sebagai sebentuk kompromi.

Berkaitan dengan hilangnya jabatan para wakil menteri, ini sekali lagi mengandalkan menteri terpilih adalah orang yang sungguh kompeten dan profesional di bidangnya. Selama ini, wakil menteri dikenal lebih pinter daripada menterinya. Ya maklum saja, pemindahan bidak-bidak menteri lebih besar pertimbangan politisnya daripada profesionalitasnya. Maka ini menguatkan catatan pertama tentang pentingnya profesionalitas.

Mungkin hanya sebatas itu berkaitan dengan konsep perampingan. Karena seperti dialami oleh mantan MENPORA, pak Adyaksa D. pengurangan maupun penambahan departemen butuh waktu bertahun-tahun untuk menatanya. Maka, kalau kabinet baru nanti mau bekerja cepat dan tancap gas, memang semestinya yang dipangkas adalah keribetan birokrasinya. Bukan masalah jumlahnya, soalnya masalah jumlah bisa selalu didiskusikan urgensinya. Bahkan, dalam arti tertentu bisa saja dibutuhkan kementrian lain yang baru dan mendesak.

Memang, dalam banyak hal tidak mungkin membuat perubahan secara radikal dengan sandera politik yang ada. Apalagi, di berbagai kesempatan koalisi penyeimbang sepertinya menjadi antagonis untuk pemerintahan yang akan berjalan. Meskipun sama, semoga langkah-langkah yang beda tetap menjadi 'semangat pembaharuan' untuk Indonesia yang lebih baik.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun