Mohon tunggu...
Herulono Murtopo
Herulono Murtopo Mohon Tunggu... Administrasi - Profesional

Sapere Aude

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Tahu Rumus Phytagoras, Tak Tahu Siapa Phytagoras: Sebuah Catatan Kaki Pendidikan Kita

20 Oktober 2014   00:10 Diperbarui: 17 Juni 2015   20:27 276
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14137133661812637941

Jujur, ketika saya sedikit merasa agak terlambat ketika baru di kemudian hari saya membaca tokoh-tokoh besar, lengkap dengan pemikiran mereka. Kenapa ga dari dulu. Hehehe... padahal sebenarnya, seandainya dari dulu, saya juga belum tentu mempelajarinya. Tapi begini, sebagai anak sekolah yang kemudian mengambil garis ilmu sosial, saya merasa pelajaran hanya sekedar menjadi hafalan. Misalnya saja, menurut Machiaveli, negara itu bla-bla-bla. Lalu menurut Thomas Hobbes, negara itu bla-bla-bla. Atau kadang-kadang malah hanya dituliskan penganut teori kontrak sosial adalah bla-bla-bla penganut teori ketuhanan adalah bla-bla-bla. Nanti pertanyaan di ujian juga sama, bagaimana pendapat si A tentang teori kekuasaan.

[caption id="attachment_329897" align="aligncenter" width="603" caption="gambar dari http://sistempemerintahan-indonesia.blogspot.com/2013/09/pengertian-negara-unsur-fungsi-tujuan.html"]

14137133661812637941
14137133661812637941
[/caption]

Nama-nama dari Indonesiapun sering menghiasi kutipan-kutipannya. Misalnya saja Soenarko, Notoamidjojo, pringgodigdo, dll. Tanpa catatan kaki dan bagaimana proses atau logika pemikirannya sungguh-sungguh akan menjadi hafalan yang sebentar lagi akan segera mereka lupakan. Itulah sebabnya, biasanya pelajaran dan mata kuliah akan selalu mengulang dari awal karena mereka hanya hafal tapi tak paham.

Lah, kan kita sedang tidak sedang belajar sejarah atau sedang belajar filsafat? Lha iya.... Matematika akan hidup bukan hanya dengan angka-angka. Tapi tahu persis di balik angka-angka itu ada cerita apa dan barang kali perdebatannya. Misalnya, mempelajari bahwa 1 + 1 adalah 2.  Bisa diberikan sedikit sejarah mengapa angka-angka yang kita kenal seperti sekarang ini. Kebudayaan dari mana yang kita ambil. Dll. Ibarat cerita ya ambillah ini bagian dari bercerita.

Di perpustakaan-perpustakaan sekolah biasanya ada banyak cerita-cerita para ilmuwan, baik yang bergambar maupun yang tidak. Tapi di sekolah menjadi tidak terlalu menarik karena beban rumus-rumus sudah terlalu banyak. Padahal dengan menceritakan bagaimana Newton membuat percobaan, kalau perlu dengan pakaian a la Newton yang merenung-renung kenapa bumi bisa punya gaya gravitasi, melihat apel dan bagaimana Newton membuat percobaan, suasana pembelajaran akan lebih hidup.

Untuk matematika misalnya bukan hanya menerapkan angka-angka dalam rumus-rumus tapi menceritakan bagaimana sebuah rumus ditemukan secara nalar, oleh siapa, ini juga akan sangat menarik.

Tak harus semua dijelaskan atau diuraikan secara rinci, tapi cukup menjadi catatan kaki saja akan menarik. Termasuk buku-buku ajar di perguruan Tinggi. Kalau tidak, pendidikan benar-benar akan menjadi hafalan mentah yang akan diingat dan dibuka saat perlu saja. Padahal, bagi masyarakat sekarang, banyak materi pendidikan dirasa ga terlalu perlu untuk diingat.

Misalnya saja... kita biasa menghafal teori kewarganegaraan tentang Ius Soli dan Ius Sanguinis. Yang satu berdasarkan asas tempat lahirnya yang satu berdasarkan garis keturunannya. Yang biasanya diceritakan adalah implikasi hukumnya. Kalau begitu, bisa terjadi orang tidak berkewarganegaraan atau bisa juga terjadi kewarganegaraan ganda. Dari anda SMA sampai kuliah, itu selalu dihafalkan. Okelah, tidak salah yang semacam ini. Tapi menceritakan juga latar belakang dan juga kelemahan masing-masing sistem hukumnya akan menarik. Untuk negara-negara Chauvinis, misalnya menelusuri kemurnian ras dengan sistem kewarganegaraan darah adalah perlu seperti dilakukan Jerman jaman dahulu. Hal ini juga berguna untuk memperbanyak warga negara ketika suatu negara semakin sedikit warganya. Misalnya ketika di Eropa orang sudah malas bereproduksi.

Sebaliknya, kita bisa membayangkan bila negara dengan penduduk sebesar China masih menganut sistem darah keturunan sebagai dasar kewarganegaraan. Betapa repotnya. Akan lebih memudahkan bila kemudian di mana dia dilahirkan biarlah dia menjadi warga negara setempat.

Jadi, ilmu akhirnya bukan hanya sekedar hafalan. Ilmu merangsang orang untuk bertanya dan berfikir kritis. Sekaligus membangun kekaguman kepada para pemikir-pemikir pada jamannya. Bayangkan, seorang phytagoras pada abad VI sebelum masehi sudah membuat rumus matematis yang begitu ilmiah! sementara di masyarakat kita sekarang kadang masih percaya bahwa gerhana bulan terjadi karena bulan ditelan raksasa sehingga mereka memukul-mukul apapun yang bisa dijadikan bunyi-bunyian.

Ya... dengan catatan kaki ini diharapkan dunia keilmuan kita tidak sekedar secara mekanis membentuk orang-orang yang hafal dengan rumus dan teori, tapi memahami bagaimana sebuah teori terbentuk dan bagaimana seorang ilmuwan belajar menjadi ilmuwan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun