Mohon tunggu...
Herulono Murtopo
Herulono Murtopo Mohon Tunggu... Administrasi - Profesional

Sapere Aude

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Mentalitas Pendidik Berotoritas Tapi Tidak Otoriter

9 Desember 2014   22:36 Diperbarui: 17 Juni 2015   15:40 110
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Metode sebagus apapun, materi sedalam apapun, tidak akan berguna, jika sang guru tidak memiliki mentalitas pendidik. Begitu kata A.A. Watimena membuka tulisannya tentang filsafat pedidikan pancasila. Seperti biasa kita dengar, mendidik kan bukan berarti hanya mengajar dan menyampaikan materi ajar, tetapi lebih dari itu selain mencerdaskan juga mendewasakan cara berpikir para peserta didiknya. Oleh karena itu, dibutuhkan mentalitas pendidik yang tepat agar pendidikannya ini sungguh-sungguh mendidik. Mencerdaskan akal, budi, dan hatinya.

Mentalitas pertama adalah guru yang menghargai setiap pendapat muridnya, seganjil apapun pendapat itu. Ini memang yang biasa terjadi. Guru mudah sekali menyalahkan apa yang salah. Lha iya, salah masa mau dibenarkan? salah ya harus dibetulkan. Gimana caranya menghargai? salah satunya tinggal ditanyakan, kamu dapat jawaban segitu bagaimana. Atau, jawabanmu mungkin benar... tinggal argumentasinya dan dasar-dasarnya apa? Misalnya saja dalam matematika, dengan menanyakan ulang proses penghitungannya kan akan kelihatan di mana letak kekeliruannya. Dengan demikian, bukan kita guru yang menentukan benar salahnya, tapi peserta didik yang menyadari mana yang benar. Dalam hal ini, saya pribadi mengajar justru banyak belajar dari argumentasi mahasiswa.

Mentalitas kedua adalah mentalitas demokratis tanpa pernah terjatuh ke dalam anarki, atau kekacauan kelas, dimana segala hal diperbolehkan, dan otoritas lenyap. Ini berkaitan dengan yang di atas. Suasana yang demokratis tanpa gaya yang sok tahu sok segalanya dan di atas semuanya, memungkinkan peserta didik untuk berfikir secara kreatif sehingga pendidikan lebih produktif, bukan mereproduksi. Ada kebebasan berfikir di situ. Dan inti dari pembelajaran kan berfikir dan berfikir.

Mentalitas ketiga adalah mentalitas otoritas tanpa menjadi guru yang otoriter. Otoritas beda dengan otoriter. Otoriter seolah guru adalah penentu segalanya. Otoriter seakan guru menentukan lulus tidaknya seorang siswa. Saya sendiri sering mengatakan kepada para peserta didik, nilai bukan saya yang menentukan dan bukan saya yang memberi. Tapi, kalian sendiri yang membuat nilai. Saya hanya mencatatnya dan kemudian mengembalikannya kepada kalian. Ada pengalaman kocak dari saya ketika mengajar anak kelas 2 SD. Dia mendapatkan nilai 85 di kertas tugasnya. Nah, lalu anak kecil yang imut itu mendekati saya sambil minta supaya nilainya dijadikan 10. Mintanya ga hanya sekedar minta, ada uang lima ribuan yang mau diberikan kepada saya. Saya tertawa. Anak itu bingung kok saya tertawa. Lantas dengan wajah tanpa dosa anak itu bertanya, "kok ketawa pak? kurang ya?"

Serius sampai di situ saya sebenarnya ingin tertawa ngakak... kak... kak... hanya tak tega saja. Mungkin anak itu sudah kuliah. Dan ketika saya tanyakan, "siapa yang ngajari kamu ngasih uang?" jawabnya polos dan spontan, "mama..."

"Kamu mau tugas untuk perbaikan nilai? gimana kalau tugasnya sama dengan teman-teman yang lain untuk perbaikan nilai?"

Otoritas memang berkaitan dengan kewibawaan. Guru yang tidak berwibawa praktis tidak akan banyak didengar dan dipercaya. Padahal guru itu kan digugu dan ditiru, bahasa jawanya. Diteladan. Lah, bagaimana bisa diteladan kalau dia sendiri tidak didengarkan. Apalagi kalau mengajarkan korupsi?

Mentalitas keempat adalah apa yang saya sebut sebagai mentalitas komunikatif. Di sini praktis berkaitan dengan bahasa-bahasa sederhana atau yang nyambung. Bahasa-bahasa yang tinggi memang mungkin mengesankan intelektual. Tapi bodoh. Bodoh kalau pengajar tidak membumi. Dalam hal ini komunikasi bagi yang belum jelas dan juga kepandaian memberikan contoh-contoh sangat diperlukan, Komunikasi bukan hanya dalam arti yang tidak jelas dipermudah, tapi juga kesediaan untuk mendengar pendapat-pendapat yang bahkan berseberangan dengan dosennya. Saya ingat seorang dosen saya yang terkenal cerdas dan merupakan tokoh nasional. Ketika ada materi diskusi yang dia sadar benar tidak memahaminya dia mengatakan, "maaf, saya belum mempelajari hal tersebut dan memang meskipun mungkin bidang saya, tapi saya tidak sepenuhnya memahami...."

Atau salah satu pengakuan jujur seorang dosen ketika belum siap mengajar dia mengatakan apa adanya, "saya belum siap mengajar materi ini... bagaimana?"

Mentalitas kelima adalah apa yang sebut sebagai keberanian untuk membuat terobosan. Apapun teorinya, seorang guru harus mengajak murid-muridnya untuk melampaui teori tersebut, dan berusaha membuat cara pandang baru. Sering kali seorang pengajar sakit hati kalau ada anak didiknya berbeda dengan pendapatnya atau teorinya. Bahkan ada yang sentimen sampai tidak pernah meluluskan anak tersebut. Sentimen atau sayang ya? hehehe... sentimen. Keberanian membuat terobosan baru dengan argumentasi yang memadai ini kan membuat pembelajaran jadi lebih hidup. Berani berbeda bukan berarti waton suloyo. Berani beda berarti berani keluar jalur pemikiran yang ada. Dalam hal ini, ungkapan yang kritis, termasuk di dalamnya pertanyaan-pertanyaan yang tak terduga menjadi pintu masuk bagi terbukanya cakrawala baru keilmuan. Termasuk, meskipun ada gonjang-ganjing kurikulum 2013 yang dipending sama pak menteri.

Sebut saja misalnya ketika kita bicara agama, bicara sila pertama.... apakah intinya adalah kewajiban beragama atau kewajiban bertuhan atau penghargaan atas hak beragama? banyak yang mengatakan harus menganut salah satu dari agama yang diakui... kenapa harus?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun