Kehamilan tidak diinginkan menguat. Begitu salah satu judul di kolom kilas iptek KOMPAS jumat 9 Januari 2015. Kata menguat di bagian belakang itu loh yang nggemesin. Layaknya nilai mata uang rupiah aja menguat. Kuat itu kan lawan katanya lemah. Mungkin maksudnya makin banyak kali yak. Kalau makin banyak barangkali bisa dengan kata meningkat. Tapi tak apalah, positif thinking saja, mungkin kata menguat memang lebih tepat karena KOMPAS kan sudah punya penyaring bahasa yang pas di bidangnya. Â Toh saya sendiri paham maksudnya bahwa kehamilan tidak diinginkan sekarang ini semakin banyak. Dan saya tidak ingin mempermasalahkan peristilahan yang digunakannya.
Isinya adalah liputan apa yang disampaikan oleh menteri sosial, Kofifah Indar Parawansa yang mengatakan bahwa jumlah kasus kehamilan tidak diinginkan pada anak dengan rentang usia sekitar 10 tahun mencapai 240.000 kasus atau 4,8% dari 5 juta kelahiran per tahun. Berdasarkan data kemensos, kehamilan tidak diinginkan terbanyak terjadi di usia 17 tahun yang mencapai 41,8% dari keseluruhan 5 juta kelahiran itu. Dari kehamilan tidak diinginkan itu, lanjutnya, akaan melahirkan anak-anak yang tidak diinginkan. Anak-anak itu kemudian akan ditemukan di tempat-tempat tak seharusnya seperti tempat sampah, saluran air, dan sebagian di panti asuhan.
Membaca beritanya yang kecil, dan hanya sepintas lalu, hanya sekitar 140 kata, saya melihatnya ada ketidakakuratan data. Data yang diberikan adalah kelahiran dari kehamilan yang tidak diinginkan, bukanlah kehamilan yang tidak diinginkan itu sendiri. Antara kehamilan tak diinginkan dengan kelahiran dari kehamilan yang tidak diinginkan tentu saja berbeda. Kehamilan, baik diinginkan atau tidak, tidak selamanya dilanjutkan dengan proses kelahiran. Anda tentu tahulah, mengapa. Ada sebagian anak yang dalam kandungan dan berakhir dengan kasus aborsi, baik berhasil atau tidak berhasil, dan ada juga yang keguguran. Dengan demikian, kemungkinan (kalau pemikiran saya ini benar) kasus kehamilan yang tidak diinginkan jauh lebih besar daripada yang disebutkan di atas. Tentu saja, termasuk di dalamnya adalah kehamilan tak diinginkan yang akhirnya dilahirkan ditambah dengan yang tidak dilahirkan.
Melihat jumlahnya, yang kisaran 10 tahun mencapai 4,8 % dan yang 17an tahun mencapai 41,8%, jumlahnya baru sekitar 46%. Jumlah yang lain-lain, tentu lebih besar, mencapai 54an % dari keseluruhan kelahiran yang kehamilannya tidak diinginkan. Lalu, kenapa yang jumlahnya di atas 50% ini kemudian tidak terlalu dipermasalahkan? jawabannya adalah (kemungkinan lagi) karena usianya sudah lebih dewasa atau dianggap matang sehingga tidak terlalu bermasalah. Sementara yang 46 %, usianya masih belasan tahun dan ini dianggap memprihatinkan. Mungkin selebihnya juga memprihatinkan, tapi tidak separah yang masih di bawah umur. Begitulah bahasa umumnya.
Entah parah, entah tidak, sebenarnya adanya kehamilan tidak diinginkan ini adalah sesuatu yang memprihatinkan. Paling tidak, saya melihat ada beberapa jenis kehamilan tak diinginkan. Yang paling umum tentu saja adalah karena pacaran yang kebablasan. Berikutnya karena kasus perkosaan. Ada lagi beberapa kasus seperti perselingkuhan, hubungan seks tanpa ikatan (termasuk pelacuran), dan karena tidak menghendaki adanya anak meskipun dalam sebuah ikatan perkawinan. Mungkinkah ini bisa terjadi? bisa saja. Sangat bisa malah. Misalnya, yang anaknya sudah merasa kebanyakan atau jaraknya terlalu rapat antar anak yang satu dengan anak berikutnya. Dan ini banyak terjadi. Beberapa saya dengar, adanya anak yang cacat dikarenakan dia dulunya tidak diinginkan oleh orang tuanya, gagal diaborsi.
Maka, saya bisa mengkategorikan lagi jenis-jenis kehamilan tak diinginkan tersebut: pertama, karena hubungan percintaan yang tidak sehat, kedua karena kasus perkosaan, ketiga karena keberatan dengan hadirnya anak lagi dalam sebuah ikatan keluarga. Masing-masing tentu saja memiliki pertimbangan dan penilaian moral yang berbeda-beda. Sehingga, kita tidak bisa menjudge alias menghakimi secara general bahwa kehamilan tidak diinginkan pasti terjadi karena hubungan cinta yang tidak benar. Belum tentu.
Liberalisasi Seksualitas
Pertanyaannya adalah apakah para pelaku itu kurang pendidikannya? Barangkali memang iya. Tapi saya sendiri kok tidak yakin begitu. Seks itu seperti korupsi. Pelaku-pelaku korupsi kan kebanyakan juga berpendidikan dan tahu bahwa korupsi itu jahat. Orang yang melakukan hubungan seks di luar ikatan perkawinan juga sebenarnya tahu bahwa tindakan itu tidak bisa dibenarkan secara moral. Orang secara sederhana lalu membahasakan antara iman dan nafsu itu beda. Seks adalah nafsu yang tidak bisa dikendalikan. Ya, memang begitulah. Kalau sudah nafsu kan tidak mengenal tingkat pendidikan dan profesi. Entah dia profesor, ulama, pendeta, atau pastor, semuanya menjadi tidak berbeda. Masing-masing lalu meminjam bahasa umumnya tergantung dari individunya dan kepribadiannya.
Era postmodernisme yang mengangkat relativisme dan pluralisme juga menyentuh sendi-sendi moralitas seksual. Salah satu ciri moral postmo dewasa ini adalah adanya pluralitas sumber-sumber moral dan privatisasi agama. Segalanya menjadi urusan saya pribadi, sumber moral yang saya acu adalah sumber moral saya pribadi sehingga orang lain tidak berhak mengurusi argumentasi moral saya. Kalau anda, termasuk saya, melihat orang pacaran di tempat umum secara berlebihan kan, kita sendiri malah yang malu. Itu urusan dia, bukan?
Agama tak lagi cukup ampuh untuk menjadi pegangan moral dewasa ini. Di luar agama ada sumber moral yang lain, rasionalisme. Jadi, ukuran moral menjadi ukuran pribadi. Relatif. Saya menyebutnya suka-suka saya. Ini bukan masalah saya setuju atau tidak dengan prinsip moral yang ada, tapi saya senang atau tidak. Sehingga, kaidah-kaidah moralnya tidak rasional, tapi bersifat emosional. Itupun sebenarnya semu. Kan selalu ada pembenaran, ketika kita melakukan kesalahan. Pembenaran itu, dilepaskan dari kebenaran.
Ya, salah satunya adalah berkaitan dengan moralitas seksual ini. Meminjam istilah dari Thomas Aquinas yang mengenal salah satu prinsip moral hukum kodrat, bahwa tujuan langsung dari hubungan seksual adalah mempertemukan sel sperma dengan sel telur. Hukum kodrat ini bisa sangat kelihatan pada binatang. Dengan demikian, dalam pemikiran sang teolog jaman skolastik ini, unsur senang-senang dalam hubungan seksual antara pria dan wanita sebenarnya adalah unsur skunder setelah yang kodrat dan primer itu tadi. Dan memang, sebenarnya kan hubungan seksual bertujuan untuk adanya pembuahan. Bahwa bisa berhasil atau tidak, itu nomor sekian. Di sinilah saya melihat binatang umumnya lebih taat asas dari manusia. Binatang tidak ada yang memanipulasi hubungan seksual, kecuali secara instingtif ingin melanjutkan keturunan.