Dulu ketika saya masuk kuliah, dan mulai masuk, ada isu yang sedang hangat-hangatnya di Jogja. 97 lebih persen mahasiswi di Jogja tidak perawan. begitu katanya dari seorang yang dikenal dengan nama IiP Wijayanto yang konon kemudian mendapat gelar ustadz. Meskipun penelitian ini kemudian banyak dipertanyakan akurasinya, tapi yang jelas issu itu menjadi populer. Paling tidak kan itu sudah menggambarkan bahwa pacaran yang tidak sehat itu sudah menjadi isu dan keprihatinan lama. Maka, pada hemat saya memang sebaiknya pendidikan seksual yang sehat semestinya diajarkan pada anak dan bukan hal yang tabu, asal materinya disusun sedemikian rupa. Mungkin juga di situ diajarkan bagaimana berhubungan atau berteman dengan teman sejenis maupun lawan jenis.Wacana ini sebenarnya wacana lama. Dan menurut saya, sepertinya budaya ketimuran membuat kita resisten terhadap hal-hal semacam ini.
Budaya Kehidupan V.S. Budaya Kematian
Bagi saya yang memprihatinkan dari adanya dan menguatnya kehamilan tidak diinginkan itu adalah sebuah budaya untuk tidak menghendaki dan tidak mensyukuri adanya kehidupan. Hidup baru yang mestinya menjadi anugerah besar yang layak disyukuri dalam situasi tertentu dibiarkan dan diamini menjadi suatu musibah dan kecelakaan. Maka, budaya kehidupan manusia digeser dalam sebuah budaya lain yang barangkali tidak disadari, budaya kematian.
Pemakluman kita pada adanya anak-anak yang tidak diinginkan, menjadi gerbang awal adanya budaya kematian. Awalnya hanya tidak diinginkan, kemudian dibenci, akhirnya dimusnahkan sebagai bagian dari ketidakterimaan terhadap kehidupan baru yang semestinya menjadi anugerah. Hal ini terjadi misalnya pada anak-anak hasil 'kecelakaan' baik di dalam sebuah perkawinan maupun di luar perkawinan.
Padahal, kalau kita mau adil terhadap hidup kita yang ingin disayangi, dikehendaki, diperhatikan, dan tentu saja dijamin kehidupan kita, semestinya kita juga menyayangi, menghendaki, memperhatikan, dan menjamin kehidupan di sekitar kita. Mungkin masih beruntung keadaan di Indonesia yang meskipun berusaha mengendalikan angka kelahiran, tapi tidak sampai pada pembatasan kelahiran yang sangat ketat seperti terjadi di China. Konon, di sana setiap pasangan diwajibkan hanya satu anak. Aborsi menjadi marak dan mungkin legal.
Akhirnya, kedewasaan dalam menyikapi hidup dan kehidupan sangat diperlukan di sini. Selain menanamkan pembiasaan yang baik, seperti tidak mudah mengajarkan kepada anak hal-hal yang berkaitan dengan romantika cinta-cinta yang tidak dewasa dan tidak mendidik, alangkah lebih baik untuk mengedepankan pendidikan dan prestasi. Paling tidak, dalam hal semacam ini bisa mengalihkan energi nafsu seksual untuk hal-hal yang lebih produktif sekaligus bermakna. Memang pendidikan tidak menjamin, tapi pendidikan yang baik dan tepat memberikan cara berfikir yang baik dan tepat juga untuk para generasi muda. Ya salah satunya menyikapi secara tepat agar seksualitas dilihat dengan lebih utuh dan dimaknai dengan lebih manusiawi secara benar, bukan mencari pembenaran atas sesuatu yang salah.
Pikiran yang benar akan terwujud dalam tindakan yang benar. Konsep yang salah seringkali membingungkan kita dalam menyikapi hidup.