Mohon tunggu...
Herulono Murtopo
Herulono Murtopo Mohon Tunggu... Administrasi - Profesional

Sapere Aude

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Menggugat Hukuman Mati

17 Januari 2015   18:26 Diperbarui: 17 Juni 2015   12:56 54
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Nah itu dia, motif-motif sejarah hukuman mati lebih menyakitkan lagi. Hukuman mati, pada masa dulu, umumnya diberikan dengan 2 alasan politik dan religius. secara politik, hukuman mati diberikan kepada mereka yang dianggap, disangka, dan berpotensi mengancam penguasa. Bahkan ada kan anak yang mau lahir saja sudah diancam hukuman mati gara-gara berpotensi menyebabkan runtuhnya kekuasaan. Seperti kisah Mahabarata, ketika sang paman menginginkan kekuasaan jatuh ke anak-anaknya (korawa) maka keberadaan para pandawa adalah ancaman besar. Pada jaman kekaisaran romawi sampai abad pertengahan di Eropa, ancaman-ancaman seseorang bahkan sebelum kelahirannya ini sudah terjadi. Untuk mengantisipasi itu, lalu biasanya ibunya yang dieksekusi. Pada tahun 1814, 3 anak laki-laki di Inggris yang berusia 8-11 tahun dijatuhi hukuman mati karena mencuri sepatu.

Untuk motif religius misalnya, masih terjadi di Inggris, pada tahun 1533 Henry VIII mengeksekusi 37 orang protestan karena tidak mau mengakui raja sebagai pemimpinnya. Jauh sebelum itu, orang-orang katolik mayoritas yang menganggap orang-orang katolik dengan paham yang tidak sama dengan mayoritas lalu dianggap bidaah dan dieksekusi mati. Konon, orang-orang (yang umumnya wanita) dianggap penyihir juga dieksekusi. Pada masa reformasi, eksekusi juga terjadi untuk mereka yang berlawanan dengan arus mainstream kristen. Dalam sejarah Islam, hal serupa juga terjadi. Apalagi untuk mereka yang dianggap kafir, bidaah, penghina nabi dan kesucian bersama akan dieksekusi mati juga. Itulah sebabnya, hukuman mati yang sifatnya subjektif semacam ini juga dilakukan oleh orang-orang yang berhak untuk melakukan eksekusi seperti kasusnya Hebdo baru-baru ini.

Beberapa urusan perdata, juga bisa berakhir dengan hukuman mati. Di beberapa budaya Indonesia juga terjadi. Di Bali, dulu, perkawinan sumbang juga dihukum mati. Di Wajo, ada orang yang dianggap mempermalukan pihak kerajaan dengan mencuri sarung seorang tamu, juga pernah dijatuhi hukuman mati. Pada jaman penjajahan Belanda, bahkan ada hukuman yang dijatuhkan kepada prajurit Belanda dalam kasus cinta terlarang dengan cara tangan dan kaki terhukum diikat dengan tali pada masing-masing seekor kuda. Lalu keempat kuda itu akan menariknya ke empat penjuru mata angin.

Kalau melihat motif-motif yang semacam ini, meskipun tak terdengar sadis karena tidak menceritakan prosesnya, tapi terlihat sekali bahwa dalam sejarahnya hukuman mati didasari pada motif-motif yang sangat subjektif. Hal ini tentunya juga merupakan beban sejarah yang menyakitkan. Hal yang sepele bagi seseorang, bisa menjadi sangat serius bagi orang lain dan dengan demikian hukum kehilangan prinsip universal dan rasionalnya.

_________________________

Baik juga kalau dalam hal moral kita mengupas tujuan dari hukuman mati ini. Ada tiga hal tujuan dari hukuman secara moral. Pertama,  tujuan pemulihan agar orang yang melakukan kejahatan menjadi lebih baik, kedua tujuan pencegahan agar tidak ada lagi calon-calon pelaku kejahatan, dan yang ketiga adalah sebagai ganti rugi. Masing-masing tujuan punya kekuatan dan kelemahannya. Pertama, tentang pemulihan, mungkin ada memang pelaku kejahatan yang kemudian kapok. Tapi, seberapa sanggup seseorang untuk pulih menjadi lebih baik? Yang kedua, batas-batasnya seberapa untuk memberikan efek therapi ini. Mungkin ada yang saat itu juga langsung bisa baik, begitu ketahuan. Tapi ada juga yang dihukum berat pun belum kapok. Lalu, seberapa berat hukuman diberikan untuk tujuan ini. Ini yang sering jadi diskusi. Orang mencuri cabe dikebun lalu dipotong tangan tentu akan memberikan efek jera. Semakin berat hukumannya, makin efektif. Untuk orang dengan hukuman mati, tentu sudah tak punya kesempatan memperbaiki diri.

Memberikan efek pencegahan juga masuk akal. Agar tak ada calon-calon pelaku kejahatan lagi. Tapi secara moral ini dipertanyakan banyak pihak. Terutama berkaitan dengan asas keadilan yang diharapkan menjadi jantungnya hukum itu sendiri. Adilkah bila hukuman diberikan sekedar untuk menakut-nakuti orang lain agar tidak melakukan hal seperti itu? Di sini kan prinsipnya terhukum dipublikasikan kepada sebanyak mungkin orang, "eh hati-hati loh... nanti bisa begini kejadiannya. Kalian ga mau mengalami nasib seperti dia, kan?" Jelas, memanfaatkan dan mengurbankan seseorang meskipun tujuannya baik, tidaklah bermoral. Logika itulah yang dulu dilakukan, eksekusi sesadis mungkin dan di tempat umum.

Tujuan ganti rugi umumnya dianggap netral dan tidak pandang bulu dalam menegakkan keadilan. Tapi benarkah keadilan dengan prinsip ganti rugi ini benar-benar bisa dikatakan adil. Keadilan tentu saja tidak sama dengan pembenaran terhadap keinginan untuk balas dendam. Orang yang mencuri untuk bertahan hidup tidaklah bisa disamakan untuk orang yang mencuri demi sensasi. Orang yang menjual narkoba di bawah paksaan, tidak sama dengan menjual narkoba demi gaya hidup. Lalu, dalam kasus ini adilkah bila hukum juga memasukkan unsur rasa kasihan di dalamnya?

Maka, di antara gugatan terhadap hukum itu sendiri yang tentu saja puncaknya ada pada hukuman mati (yang secara definitif mengakhiri keberadaan seseorang), sebaiknya hukuman mati tidak dilaksanakan kalau memang ada hukuman lain sebagai alternatif. Faktanya, ada banyak warga negara kita di luar negeri yang terancam hukuman mati. Dan setiap kali akan ada eksekusi, banyak warga masyarakat kita yang mendesak pemerintah untuk membatalkan hukuman mati. Lalu apakah ini adil? Mungkin, peristiwa semacam ini akan menjadi preseden bagus sebagai penegakan hukum, tapi bukan hukum yang bermartabat.

Menurut data Kementerian Luar Negeri, ada 41 kasus TKI terancam hukuman mati yang masih diproses di Arab Saudi, 181 kasus di Malaysia, 16 kasus di RRT dan tiga kasus di Singapura.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun