PDIP main kasar. Dalam sebuah lomba debat, ketika terjadi argumentum ad hominem, biasanya sang penyerang akan mendapatkan kartu merah. Argumentum ad hominem adalah sebuah serangan pada pribadi bukan kepada materi argumentasi lawan. Menanggapi kisruh politisisasi kepolisian dengan kasus Bp. Budi Gunawan, PDIP melalui salah seorang tokohnya, Hasto Kristiyanto, menyerang pribadi ketua KPK, bp. Abraham Samad.
Ketika KPK mengatakan, pak BG tidak layak jadi kapolri karena terindikasi kasus korupsi dan banyak pihak meminta agar pencalonan tunggal ini dibatalkan, tiba-tiba PDIP mengatakan, emang ketua KPK itu siapa? dia juga cacat!
Ini seperti kelompok debat tentang hukum, dari grup Ani dan Budi... tiba-tiba Budi ngomong, "emangnya Ani itu siapa? jarang mandi kan dia?" Ga nyambung.
Juri debatnya akan memberikan kartu merah sebagai bentuk peringatan keras.
Faktanya.... banyak pertanyaan publik yang tidak kunjung dijawab oleh sang Presiden. Presiden Joko Widodo kali ini menjadi alien, menjadi sosok asing yang sepertinya tidak mudah dipahami bahkan oleh para pendukungnya yang dulu menjadi relawan. Mana sosok Jokowi yang terbuka dan mengedepankan dialog? Mana sosok Jokowi yang ingin kerja...kerja... dan kerja! Ruang dialog tertutup. Keterbukaan menjadi retorika semu masa kampanye. Padahal, selama menjadi gurbernur dan walikota, beliau selalu terbuka dan bisa berdialog.
Beberapa pertanyaan yang berkaitan dengan kisruh politik kali ini: mengapa pengajuan Kapolri tidak melibatkan KPK? Kenapa yang diajukan nama tunggal? alasan apa yang mendasari pencopotan Kapolri sekarang? Yang dibahas hanya bukti bahwa tak ada rekening gendut yang mencurigakan. Lebih dari itu, pak Presiden. Dialog meja makanmu yang kami tunggu.
Katamu, demokrasi adalah mendengarkan suara rakyat. Katamu dulu. Rakyat yang manakah sekarang? Gonjang-ganjing politik justru menguras energi masyarakat. Seakan disuguhi tontonan srimulat di Senayan dan Istana.
Di tengah pertanyaan yang ada, tiba-tiba muncul pernyataan ad hominem. Menyerang pribadi orang. Ini aneh. Publik diharapkan membaca pesan begini: wajar saja pak Abraham Samad membuat kisruh politik, dia kan orang yang kecewa. Sekarang KPK diminta membuat komite etis. Nah ini dia, mari kita telusuri sesat pikirnya. Pertama-tama, yang perlu dan mendesak dipikirkan adalah bagaimana sosok Kapolri sebagai ujung tombak penjaga malam moralitas negeri ini semestinya. Apakah dia punya keteladanan dan integritas? Ketika ternyata banyak dipertanyakan, jangan kemudian masalah baru dilemparkan sebagai pengalihan isu!
Gonjang-ganjing kepolisian ini selesaikan dulu. Jangan dibawa ke dalam gonjang-ganjing politik. Hal ini justru menunjukkan secara telanjang, politisasi institusi kepolisian. Ini menyakitkan bagi rakyat. Bukankah lebih baik sang presiden kembali membuka kran-kran dialog dengan masyarakat yang mendukungnya?
Toh, sejak jaman dulu masyarakat sudah kehilangan kepercayaan kepada partai politik. Sebagian besar mengatakan Jokowi Yes, PDIP No! Ketidakmampuan sang presiden menjernihkan permasalahan semacam ini dalam dialog meja makannya, justru menunjukkan adanya tekanan politik yang sesungguhnya menghambat kinerja pemerintah.
Adalah hal yang wajar, ketika masa kampanye terjadi lobi-lobi politik. Abraham Samad adalah tokoh potensial waktu itu yang bisa menjadi magnet politik. Tak hanya PDIP yang meliriknya sebagai komoditas partai. Kenapa lobi-lobi semacam ini harus dipertontonkan secara telanjang sebagai bentuk pelanggaran etika? Jangan sampai, buka kedok-buka kedok semacam ini, karena bagaimanapun juga rakyat juga sudah muak dengan kedok-kedok politik, akan mempergulirkan terus roda kekisruhan politik di negeri ini. Pertanyaannya, kapan mereka kerja? katanya kerja-kerja-kerja!
Masyarakat sudah cerdas. Mereka sadar bahwa politik yang adalah seni itu sangat dinamis dan tidak jelas. Masyarakatlah yang akhirnya akan menjadi wasit untuk mengukuhkan Jokowi Yes, PDIP NO! Moment semacam ini justru akan menjadikan pembelajaran bahwa tak ada lagi yang bisa dipercaya dari Partai. Kartu merah diberikan sebagai peringatan, bahwa kami tidak akan memilih kalian lagi!
Berilah kesempatan kepada eksekutif untuk bekerja secara penuh! Jangan disandera dengan kepentingan-kepentingan kelompok kepartaian. Bahwa lingkarannya sebagian orang-orang partai, tidak terlalu bermasalah. Yang penting bisa bekerja sama. Biarkan politik meja makan itu kembali dibuat. Biarkan dialog untuk mendengarkan suara rakyat dan mewujudkan amanatnya ini dibuka kembali. Jangan memberikan masyarakat logika-logika yang menyesatkan dalam wacana politik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H