Pada masanya, orang Eropa menganggap diri mereka beradab dan wajib menyebarkan peradaban dengan cara menjajah negara-negara Timur Jauh, termasuk Indonesia. Pada masanya, Persia merasa diri sebagai bangsa yang berperadaban tinggi dan melakukan penaklukan di Timur Tengah. Pada masanya, khalifah-khalifah Islam yang bermoral menyerukan perluasan moralitas mereka dengan jalan perang dan menaklukkan wilayah-wilayah Barat. Pada masanya, Pasukan beradab Islam dan Pasukan beradab Kristen berperang atas nama Tuhan.
Kini, Amerika yang merasa diri sebagai negara paling beradab mengirimkan pasukan-pasukannya ke negara-negara yang kurang beradab sebagai misi perdamaian dan menjadi otak di banyak pembantaian tragedi berdarah. Hitler yang merasa bermoral baik sebagai ras Aria, melakukan genosida terhadap orang-orang Yahudi yang dianggap sebagai parasit.
Bagaimana di Indonesia? tragedi tahun 1965, orang-orang beradab memburu dan membasmi orang-orang PKI sampai ke akar-akarnya, sampai ke anak cucunya. Karena mereka tidak beradab, maka orang-orang kampung bisa dieksekusi tanpa pengadilan. Sekarang, orang-orang yang merasa diri mereka beradab dan bermoralitas tinggi, merasa harus berjihad dengan melakukan bom bunuh diri.
Di halaman opini KOMPAS beberapa minggu yang lalu, ada tulisan yang coba memperbandingkan sikap presiden Jokowi terhadap korban kasus Charlie Hebdo di Perancis dengan kasus korban penembakan di Paniai Papua. Di dunia internasional, sang presiden bisa menyampaikan bela sungkawa, sementara diam dalam kasus penembakan terhadap anak negeri di Papua. Papua, terlihat sebagai komoditas kekayaan semata. Orang-orangnya belum beradab. Orang-orang beradab dari Jakarta, berkewajiban untuk mendidik orang-orang Papua yang kurang beradab. Penulis artikel itu lalu memperbandingkan cara fikir semacam ini dengan politik balas budinya Belanda waktu menjajah Indonesia. Dalam arti ini, terlihat adanya sikap yang mungkin lebih baik sebagai orang yang bermoral dan beradab terhadap orang orang yang belum beradab.
Tapi, sekali lagi, ini adalah cara pandang masa kolonialisme yang masih berlaku. Mereka akan dididik sejauh mereka mau tunduk dan taat kepada pemerintah pusat. Kalau tidak mau? kita bisa melihat, pasca Indonesia membuat pernyataan merdeka, Belanda yang memiliki politik etis, politik balas budi itu kemudian melakukan agresi. Bagaimana dengan sikap Indonesia terhadap Papua?
Moh. Hatta adalah tokoh yang dulu tidak terlalu setuju dan bahkan menentang ketika Papua mau dimasukkan dalam wilayah Indonesia. Kata dimasukkan di sini penting digarisbawahi. Pada sidang BPUPKI, terjadi perdebatan yang tidak terlalu alot tentang batas-batas wilayah Indonesia. Tapi, Bung Hatta berprinsip, janganlah kita melepaskan diri dari imperialisme Belanda dengan semangat negara yang imperialis juga.
Bisa dibayangkan bahwa waktu itu, tidak ada perwakilan dari Papua dalam pembentukan bangsa Indonesia. Dan sampai sekarang, setidaknya sampai saat ini Papua seperti anak tiri yang kekayaan alamnya dimanfaatkan tapi orang-orangnya masih belum berperadadan dan dengan demikian, kita yang sudah beradab memiliki kewajiban mendidik mereka. Bukankah ini yang ditakutkan Bung Hatta? Superioritas orang-orang bermoral, orang-orang berpendidikan terhadap mereka yang dianggap belum bermoral. Superioritas adalah perasaan lebih unggul, lebih super dibandingkan yang lain.
Perasaan lebih unggul inilah yang kemudian memunculkan adanya bahaya. Mereka membandingkan diri dengan orang-orang yang kurang unggul. Misalnya saja, orang beragama membandingkan dan membedakan diri dengan yang beragama lain maupun yang tidak beragama. Kepada yang beragama sama, mereka mengatakan saudara. Kepada yang berbeda, mereka melihatnya sebagai liyan, others, yang lain. Hubungannya bukan lagi aku kamu menjadi kita, tetapi aku dia menjadi mereka, menjadi kami dan kalian. Kami adalah orang-orang yang baik, liyan adalah ancaman.
Moral adalah ajaran baik dan buruk. Moral adalah panduan untuk mempertimbangkan keputusan saya sebagai orang yang baik atau yang buruk. Kalau kami adalah orang-orang bermoral, orang-orang yang baik, maka yang berbeda dengan kami, mereka adalah orang-orang yang buruk. Dan kepada mereka yang buruk, kita biasanya menghindarinya. Atau opsi yang baik adalah menjadikan mereka sama dengan kita. Yang berbahaya adalah ketika jalan penyamaan itu dengan cara pemaksaan. Toh sesungguhnya, hidup tak sekedar hitam putih dengan warna biner semacam itu. Kita tidak serta merta baik, dan mereka tidak serta merta buruk. Selalu ada tegangan dalam diri manusia antara yang baik dan yang buruk. Orang yang berharap dirinya baik, tidak bisa atau jarang yang bisa bertahan dengan kebaikannya terus menerus. Atau kalaupun tetap bertahan dalam kebaikan, tanpa refleksi yang lebih jujur dan objektif maka kebaikan itu akan menjadi mekanis, monoton, dan tak ubahnya robot. Seperti malaikat yang tak punya pilihan. Mereka tak ubahnya robot buatan yang terprogram hanya untuk tugas-tugas yang baik. Dan justru karena itulah, konon kodrat malaikat ada di bawah manusia dan harus menghormati manusia. Yang menolaknya... nah kan berarti ada malaikat yang bisa menolak... akan menjadi Lucifer. Manusia yang mekanis, juga mekanis dalam hal kebaikan, cenderung menjadi munafik. Bukankah ini merupakan lingkaran setan kebaikan (dalam perspektif yang lain?).
Penghormatan pada ketegangan itulah yang harusnya dipegang. Kan ada pepatah tiada gading yang tak retak yang artinya tak ada manusia yang sempurna. Dalam tahap inilah kemudian, seseorang dan masyarakat tidak berhak untuk mengklaim diri sebagai orang dan masyarakat paling bermoral. Apalagi menggurui mereka yang sudah punya tatanan moral sendiri. Paling tidak, untuk membangun empati dengan mereka yang mungkin memang liyan ini, the others ini, mereka yang lain ini adalah menempatkan diri (tentunya secara imajiner) dalam pihak mereka. Seandainya saya adalah dia. Seandainya saya adalah pengedar narkoba itu. Seandainya saya adalah orang Papua itu. Seandainya saya adalah pembaca itu. Seandainya saya adalah orang Kristen itu. Seandainya saya adalah orang Islam itu. Maka, di sini kita akan melampaui moralitas kita sendiri dan mencoba memahami diri saya sebagai manusia seutuhnya. Manusia yang senantiasa ada dalam ketegangan antara beradab dan tidak beradab.
Ya... tulisan ini tentu saja hanya catatan kaki. Tidak terlalu substansial dalam hal moral. Ada banyak sudut pandang. Tidak selalu moralitas itu jelek. Moralitas tetap baik dan harus diperjuangkan. Tapi, inilah faktanya. Bahkan dalam hal kebaikan, senantiasa ada tegangan di dalamnya.
Penutupnya kita bisa bertanya: manakah yang lebih maju pikirannya; orang Jakarta yang modern dan membangun gedung-gedung bertingkat atau orang Badui yang berusaha memelihara alam dan tidak mau terjamah modernisasi?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H