Jokowi bukan SBY. Tapi, tak boleh kemudian Jokowi bersikap asal beda. Keduanya adalah presiden Indonesia yang sama-sama manusia, punya kelebihan dan kekurangan. Pada pak SBY ada kelebihan tersendiri, juga pak Jokowi. Tidak semua program lama adalah buruk. Dan tidak semua yang baru adalah baik. Bahwa harapannya lebih baik, ya! pasti! Tapi yang lama juga bisa menjadi dasar untuk kebaharuan. Istilah biasanya continuitas dan  discontinuitas. SBY dulu dianggap peragu. Ibu Megawati mengkritiknya seperti menari poco-poco. Maju-mundur. Keduanya tidak pakai cantik. Yang pakai maju mundur cantik kan miss lebay, syahrini. Hahahaa... Nah, apakah Jokowi demikian halnya? peragu dan penari poco-poco juga?
Ketika membaca sesuatu, kita tidak mungkin membacanya secara objektif. 1 peristiwa, bisa dibaca dalam berbagai sudut pandang yang berbeda. Ada pra pemahaman tertentu dalam otak kita. Ada sudut pandang, ada pengetahuan yang mendasari, ada juga tujuan kita menafsirkan. Jokowi yang menunda pelantikan BG, dengan berbagai peristiwa yang mengikutinya, bisa memiliki banyak makna dan arti kepemimpinannya.
Sudut pandang jelas menentukan. Sudut pandang kita sebagai masyarakat awam yang punya harapan besar, tentu berbeda dengan mereka para elite. Pakar hukum akan melihatnya secara berbeda dengan pakar ekonomi. Pakar politik yang dikenal netral akan berbeda dengan politikus yang cenderung oportunis. Nah, biasanya kita yang masyarakat awam ini dimanfaatkan oleh para politikus.
Saya yakin, presiden tahu apa yang diharapkan masyarakat. Masyarakat pengennya presiden tegas setidaknya seperti sikap yang dulu diambil pak SBY. Dalam dua kasus yang mendera pemerintahan presiden terlihat sekali presiden berpihak pada KPK. Dan itulah yang diharapkan masyarakat. Berani ambil sikap untuk kasus cicak V.S. buaya. Nyatanya, presiden tidak ambil sikap seperti dulu pak SBY ambil sikap. Kelihatannya Jokowi menjadi lebih peragu dibandingkan presiden terdahulu.
Apa artinya keraguan semacam ini? Dia ragu atau hati-hati sebenarnya? Bagi kita dalam sudut pandang yang sudah terbiasa dengan segala yang instan, jelas ini sebentuk keraguan. Apalagi, kombinasi Jokowi dan JK yang diharapkan bisa bekerja cepat dan kerja-kerja-kerja, semakin memupuk kekecewaan masyarakat. Gunung harapan yang tinggi menjulang, biasanya memiliki jurang-jurang kekecewaan yang dalam di samping kanan dan kirinya. Semakin kita berharap, semakin kita beresiko untuk kecewa. Harusnya, sebagai sebuah kedewasaan hal itu harus dipersiapkan sejak awal. Berani berharap, bersiap juga kecewa. Juga mengharapkan Jokowi seideal ketika kampanye, ya jelas tidak begitu mudah. Sikap Jokowi seperti menunda-nunda sesuatu yang semestinya bisa dibuat tidak tertunda. Meskipun dalam hal ini, ada dua pendapat yang persis bertentangan. Margarito misalnya, menyarankan sikap yang tepat untuk Jokowi adalah segera lantik BG. Adalah hak seorang BG yang sudah direkomendasikan oleh presiden dan DPR untuk menduduki jabatan tertinggi di kepolisian itu. Kalau tidak, maka ada konsekwensi hukum ketatanegaraan yang akan terlanggar. Sangkaan terhadap BG adalah wilayah moral dan tidak ada relevansinya dalam hukum tata negara.
Sedangkan Rafly Harun persis berfikir sebaliknya. Ia menggunakan prinsip ordinary dan ekstraordinary case. Argumentasi Margarito benar dalam situasi yang 'biasa' ordinary. Tapi, sekarang suasanya ekstra ordinary. Luar biasa. Oleh karena itu, sikap yang semestinya diambil juga harus ekstra ordinary. Cabut pencalonan BG.
Keduanya adalah pakar hukum. Dalam hal ini, argumentasi Refly Harun lebih dekat pada harapan masyarakat awam dan dengan demikian meneguhkan harapan mereka.
Kalau sudut pandangnya politikus, ya jelas mereka akan menjadi oportunis dan layak dicurigai. Belum tentu yang mendorong untuk dilantik atau ditunda itu memang punya itikad baik. Aroma 'penyerangan balik' imbas dari polarisasi selama pilpres, sepertinya akan terus ada.
Sudut pandang yang paling tepat tentu saja sudut pandangnya sang presiden sendiri. Dia yang tahu persis keadaannya. Atau ada kemungkinan juga dia tidak mengetahui pergolakan persisnya di antara kedua institusi. Tidak sesederhana yang dia bayangkan. Atau memang sebenarnya, semua sudah dia bayangkan? masyarakat, siapapun dia tentu hanya bisa menebak-nebak.
Pengandaian saya: dia bisa saja tidak tahu apa yang terjadi sehingga kekuatan-kekuatan jauh melampaui kekuasaannya. Terlebih lagi, Jokowi memang orang partai yang terbiasa mencium tangan sang ketua umum. Ini merupakan sebentuk simbol kepatuhan yang menyebabkan beliau dicap sebagai 'boneka'. Lihatlah, di dalam partainya sendiri juga ada suara-suara pertentangan yang mengemuka ke publik layaknya pertengkaran ABG yang sedang pacaran. Siapa yang paling bereaksi dengan penetapan BG sebagai tersangka? orang-orang partai. Kepolisian menyusul kemudian. Jadi, dalam hal ini presiden seperti bocah lugu yang sedang disuguhi drama pertarungan gajah-gajah partai dan institusi.
[caption id="attachment_348382" align="aligncenter" width="544" caption="gambar dari pontianak.tribunnews.com"][/caption]
Pengandaian kedua, Jokowi tahu persis keadaan yang akan ditimbulkan dengan penetapan calon tunggal kapolri yang pernah diberi catatan merah oleh KPK. Konflik ini ada dalam kendalinya dan digunakan untuk menutupi isu lain yang lebih besar. Kalau ini yang terjadi, jelas akan lebih menyakitkan. Setidaknya, ada perpanjangan kontrak freeport yang oleh banyak pihak dianggap merugikan Indonesia. Ini adalah sebuah kesengajaan, bukan lagi masalah keraguan.
Maka, menjadi menarik isu di belakangnya, apakah Megawati memang turut campur atau sesungguhnya mendominasi kebijakan pemerintahan? Coba kita bayangkan, sebagai seorang ibu yang begitu dihormati oleh presiden apakah beliau tega membiarkan 'anak didiknya' ada dalam polemik dan kontroversi yang akan menjatuhkan sang presiden? Saya kira kok tidak akan tega, kecuali dia sendiri punya kepentingan besar yang sedang diperjuangkan.
Kalau melihat atau membaca apa yang disampaikan Kompolnas, sepertinya ini memang murni kebijakan Jokowi. "Kita lihat justru Presiden Jokowi, cerdas dan taking control, dan beda dengann SBY. Ini yang kami amati," kata AdrianusMeliala .
"Padahal kami baru menyerahkan draft, kami baru akan lakukan wawancara semua kandidat, eh tapi Jokowi sudah kirim surat ke DPR. Cerdas Jokowi itu," lanjutnya.
Hal ini, tidak akan memicu permasalahan yang terlalu hebat bila saja presiden kembali taat asas dengan janji dan langkah-langkahnya seperti ketika dulu memilih menteri-menterinya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H