Mohon tunggu...
Herulono Murtopo
Herulono Murtopo Mohon Tunggu... Administrasi - Profesional

Sapere Aude

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Hukuman Mati Tak Sesuai dengan Pancasila

14 Februari 2015   17:23 Diperbarui: 17 Juni 2015   11:11 2948
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Sebentar lagi akan ada eksekusi mati gelombang kedua. Daftarnya masih panjang dan akan bergelombang-gelombang. Kita mengapresiasi ketegasan hukum yang bagus semacam ini. Meskipun kini kita masih bertanya-tanya, benarkah hukum sudah ditegakkan dengan tegas dan adil di negara ini? Sayangnya, kesimpulan ini belum bisa diklaim dengan tegas bahwa negara ini sudah menegakkan hukum seadil-adilnya. Nyatanya, kita seakan masih bernegosiasi dengan koruptor. Nanti kita akan bicara tentang keadilan. Saya sendiri ingin menegaskan di awal bahwa hukuman mati belum sejalan dengan amanat Pancasila.

Magniz Soeseno, seorang pakar etika, di harian opini KOMPAS beberapa waktu yang lalu menuliskan empat alasan mengapa hukuman mati dalam hukum pidana kita mestinya dihapus.

Pertama, sistem yudisial kita belum bersih dari praktik korup. Masa kita bersedia membunuh orang atas keputusan lembaga- lembaga yang tidak dapat dipastikan kejujurannya!

Kedua adalah prinsipiil: hukuman mati satu-satunya hukuman yang tidak dapat dicabut sesudah dilaksanakan. Padahal, kemungkinan kekeliruan selalu ada. Sistem terbaik pun tidak dapat 100 persen menjamin bahwa suatu putusan pengadilan tidak keliru.

Ketiga, menyangkut harkat kemanusiaan. Membunuh orang, kecuali untuk membela diri atau dalam pertempuran militer resmi adalah tindakan yang tidak termasuk wewenang manusia.

Alasan keempat, menurut kebanyakan ahli, hukuman mati tak punya efek jera. Ancaman hukuman mati tidak mengurangi kelakuan kriminal.

Saya sendiri sudah menuliskan argumentasi-argumentasi yang sekiranya bisa dijadikan dasar bagi penghapusan hukuman mati. Terutama berkaitan dengan sisi historisnya yang menyakitkan dan yang kedua saya menuliskan bahwa menolak hukuman mati bukan berarti pro terhadap narkoba dan terorisme. Prinsipnya sejauh ada alternatif lain untuk menghukum terpidana semacam ini, mengapa bukan itu yang dipilih?

Kali ini saya ingin mengulas permasasalahan hukuman mati ini dalam kaitannya dengan Pancasila. Menurut Soekarno, pancasila merupakan "dasar statis“ dan “Leitstar dinamis ". Dasar statis berarti bahwa Pancasila itu tidak boleh di'uthek-uthek' ga bisa diapa-apain lagi. Katakanlah semacam  surat perjanjian yang kalau dirubah bisa membatalkan perjanjian itu sendiri. Ini mengacu pada konsep negara sebagai kontrak sosial. Di dalam kontrak sosial ini, di dalam Pancasila ini, termuat sebuah harapan besar dan juga cita-cita negara ini. Termasuk di dalamnya, dalam sebuah pengantar, Soekarno mengatakan tidak akan ada lagi orang miskin di Indonesia berkaitan dengan sila keempat. Perhatikan bahwa sila keempat yang biasa dimaknai sebagai demokrasi, sesungguhnya dihubungkan dengan sila kelima bahwa demokrasi Indonesia adalah dalam rangka kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia.

Dalam banyak nasehat, ada satu hal yang saya tekankan ketika mereka dalam keadaan krisis; kembalilah ke semangat awal. Orang kuliah merasa capek dan lelah, coba ingat-ingat dulu semangat awalnya untuk kuliah. Orang pacaran capek dan lelah, coba ingat dulu ketika tembak-tembakan. Demikian juga misalnya dalam pernikahan, ingatlah sebuah semangat awal demi mempertahankannya.

Pancasila memiliki sebuah semangat awal dari sebuah negara besar, Indonesia. Indonesia akan otonom, mandiri menentukan nasib bangsanya, mengentaskan kemiskinan membangun negara kesejahteraan, dll. Tetapi dalam mengikuti arus jaman, Pancasila sekaligus menjadi bintang pemandu yang dinamis. Artinya bisa ditafsirkan sesuai dengan kemajuan jaman.

Hukuman mati, apakah memang sejalan dengan semangat dasar Pancasila ini? Sebagai sebuah motivasi untuk memerangi kejahatan sepertinya tidak terlalu bermasalah. Tapi, ketika harus mempertaruhkan kemanusiaan dan bahkan 'menumbalkan' manusia lain meskipun demi tujuan yang lebih besar, jelas ini bertentangan dengan Pancasila. Fungsi utama hukuman mati adalah untuk memberikan efek jera dan juga mengatakan kepada pihak lain, jangan melakukan hal ini kalau tidak mau mengalami nasib serupa. Jelas, tereksekusi mati tidak akan jera karena dianya sendiri sudah tidak ada. sedangkan sebagai sebuah pengumuman dan peringatan jelas sekali hal ini tidak bisa dibenarkan karena menggunakan konsep tumbal.

Prinsip pertama dari Pancasila versi kita sekarang adalah periketuhanan. Ketuhanan di sini harus melampaui prinsip keagamaan. Maka aneh kalau dalam prinsip ketuhanan kemudian diterapkan paradoks-paradoks yang sifatnya baik sekaligus tidak baik. Memang dalam teologi kemudian dihadapkan pada prinsip kemanusiaan, kebaikan, pengampunan, dll. Saya sendiri tidak akan menggunakan argumentasi bahwa hidup dan mati di tangan Tuhan. Tapi entah bagaimana, kita yang memproklamirkan diri sebagai negara pancasila yang berketuhanan harus berani untuk menunjukkan bagaimana persisnya berketuhanan itu. Apakah cukup dengan ritual formal keagamaan? Saya kira tidak cukup.

Berikutnya adalah perikemanusiaan. Drijarkara misalnya menyebut bahwa kemanusiaan adalah titik puncak jiwa pancasila. Maka bisa ditanyakan kemudian apakah cara-cara yang menghilangkan kemanusiaan itu bisa dianggap berperikemanusiaan? Loh kan para terpidana ini juga tidak manusiawi menjual narkoba? Sebentar. Apakah membalas perbuatan yang tidak manusiawi bisa dilakukan dengan cara-cara yang juga tidak  manusiawi.

Memang sudah ada kemajuan perlakuan kepada para terpidana ini. Paling tidak diberi kesempatan untuk permintaan terakhir, diusahakan agar sekecil mungkin mengalami rasa sakit, tidak dilakukan di alun-alun, dll. Ya, tapi mengapa tidak secara total saja menghapus hukuman mati? Sekali lagi, kemanusiaan yang adil dan beradab harus memenuhi unsur-unsur keadilan dan keberadaban. Keadilan tentu saja bukan sarana balas dendam. Insting manusiawi kita adalah membalas orang yang menyakiti kita dengan lebih kejam. Seolah-olah dengan hukuman mati, hasrat semacam ini terpuaskan.

Prinsip keadilan inilah yang kemudian harus diperdalam. Keadilan macam apa yang harus digunakan. Hampir tidak ada teori yang memadai untuk keadilan. Akhirnya yang digunakan adalah kommon sense. Kalau dulu dikenal konsep mata ganti mata itu adil. Ini sebenarnya sebentuk kemajuan hukum. Sebelum ada hukum semacam ini, orang disakiti sedikit lalu ingin membunuh orang yang menyakitinya. Orang dihina lalu merasa berkewajiban untuk membunuh si penghina. Maka, dalam hal ini menuntut sebatas ukuran kerugian kita adalah hal yang lebih maju dalam hukum.

Kemudian kemajuannya adalah pada konteks keberadaban. Menghapus hukuman mati adalah memenuhi amanat pancasila agar Indonesia menjadi lebih beradab. Ada pilihan lain untuk menghukum terpidana berat. Mengapa alternatif yang lebih beradab tidak diambil?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun