Mohon tunggu...
Herulono Murtopo
Herulono Murtopo Mohon Tunggu... Administrasi - Profesional

Sapere Aude

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Hukuman Mati Tak Sesuai dengan Pancasila

14 Februari 2015   17:23 Diperbarui: 17 Juni 2015   11:11 2948
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Prinsip pertama dari Pancasila versi kita sekarang adalah periketuhanan. Ketuhanan di sini harus melampaui prinsip keagamaan. Maka aneh kalau dalam prinsip ketuhanan kemudian diterapkan paradoks-paradoks yang sifatnya baik sekaligus tidak baik. Memang dalam teologi kemudian dihadapkan pada prinsip kemanusiaan, kebaikan, pengampunan, dll. Saya sendiri tidak akan menggunakan argumentasi bahwa hidup dan mati di tangan Tuhan. Tapi entah bagaimana, kita yang memproklamirkan diri sebagai negara pancasila yang berketuhanan harus berani untuk menunjukkan bagaimana persisnya berketuhanan itu. Apakah cukup dengan ritual formal keagamaan? Saya kira tidak cukup.

Berikutnya adalah perikemanusiaan. Drijarkara misalnya menyebut bahwa kemanusiaan adalah titik puncak jiwa pancasila. Maka bisa ditanyakan kemudian apakah cara-cara yang menghilangkan kemanusiaan itu bisa dianggap berperikemanusiaan? Loh kan para terpidana ini juga tidak manusiawi menjual narkoba? Sebentar. Apakah membalas perbuatan yang tidak manusiawi bisa dilakukan dengan cara-cara yang juga tidak  manusiawi.

Memang sudah ada kemajuan perlakuan kepada para terpidana ini. Paling tidak diberi kesempatan untuk permintaan terakhir, diusahakan agar sekecil mungkin mengalami rasa sakit, tidak dilakukan di alun-alun, dll. Ya, tapi mengapa tidak secara total saja menghapus hukuman mati? Sekali lagi, kemanusiaan yang adil dan beradab harus memenuhi unsur-unsur keadilan dan keberadaban. Keadilan tentu saja bukan sarana balas dendam. Insting manusiawi kita adalah membalas orang yang menyakiti kita dengan lebih kejam. Seolah-olah dengan hukuman mati, hasrat semacam ini terpuaskan.

Prinsip keadilan inilah yang kemudian harus diperdalam. Keadilan macam apa yang harus digunakan. Hampir tidak ada teori yang memadai untuk keadilan. Akhirnya yang digunakan adalah kommon sense. Kalau dulu dikenal konsep mata ganti mata itu adil. Ini sebenarnya sebentuk kemajuan hukum. Sebelum ada hukum semacam ini, orang disakiti sedikit lalu ingin membunuh orang yang menyakitinya. Orang dihina lalu merasa berkewajiban untuk membunuh si penghina. Maka, dalam hal ini menuntut sebatas ukuran kerugian kita adalah hal yang lebih maju dalam hukum.

Kemudian kemajuannya adalah pada konteks keberadaban. Menghapus hukuman mati adalah memenuhi amanat pancasila agar Indonesia menjadi lebih beradab. Ada pilihan lain untuk menghukum terpidana berat. Mengapa alternatif yang lebih beradab tidak diambil?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun