Demi memastikan kebenaran anggaran terhadap harga persisnya di lapangan, Gurbernur Ahok langsung tanya ke penjualnya. Ternyata, harganya jauh banget. Â Yang dalam anggaran mencapai 6 miliar rupiah, ternyata bisa didapat dengan harga 170an juta rupiah. Eits.... kan harusnya yang melakukan pengecekan dan memiliki fungsi pengawasan itu DPRDnya yak? kok malah ini kebalik, Gurbernurnya yang pakai ngecek-ngecek harga segala.
Pertanyaannya menjadi sederhana, okelah kalau DPRD dalam hal ini hanya sekedar menyetujui yang diajukan pemerintah daerah, lalu di mana fungsi pengawasan DPRD? Apa iya... DPRD dengan segala keteguhan hati mendukung apa yang diprogramkan dan dianggarkan pemerintah daerah? sampai di sini saja kan sebenarnya fungsi pengawasan sudah mandul di awal?
Apa iya... pak Gurbernur memiliki niat tidak baik untuk membuat 2 draft anggaran, yang satu diserahkan ke DPRD yang satunya lagi ke pemerintah pusat? Kalau yang kedua ini yang terjadi, jelas pak Ahok akan kelihatan jahat sekali menipu anggota dewan.
Sepertinya, niat baik Ahok bukan untuk menipu dewannya, tapi lebih sebagai bentuk kekecewaan. Kalau lewat dewan, harganya bisa menggelembung seperti di atas. Di sinilah kemudian dewan perwakilan rakyat daerah merasa tertipu dan alias ga dianggep sama Gurbernur.
Bukan hanya masalah ga dianggep. Masalahnya bisa lebih serius. Mungkin, jadi hanya mungkin loh yak, pak Ahok sudah melanggar tradisi. Tradisi yang selama ini dianggap wajar-wajar saja dalam dunia perbirokrasian. Ada komunikasi tak langsung yang sebenarnya mengatakan begini, "pak Ahok, sesuai tradisi setiap anggaran sebenarnya harus tetap memberikan jatah kepada mitra kerja anda yang dalam hal ini adalah DPRD. Bila tidak diberikan ya kami tidak akan menyetujui anggaran... Tanpa kami, anda berarti melanggar aturan..."
Ya benar saja, sang gurbernur kemudian dianggap tak mematuhi aturan, bikin aturan sendiri tanpa melibatkan dewan. Padahal, dewan itu kan juga bagian dari ATMnya partai. Semua partai arisan korupsi. Itu sudah tradisi. Sebagai arisan, kata penggedhenya Demokrat dan PKS, tinggal nunggu giliran saja, siapa yang dapat kartu bukan? Rupanya sebenarnya pak Ahok ingin melanggar tradisi bancakan semacam itu yang kemudian menumbalkan kader-kader partai yang sebenarnya baik untuk berurusan dengan KPK. Sebut saja misalnya ibu Atut, Ibu Angelina Sondakh, Bapak Nazarudin, Bapak Anas Urbaningrum, Bapak Sutan Bhatugena... mereka sebenarnya adalah kader terbaik bangsa yang sayang sekali harus dapat jatah arisan.
DPRD sedang tenang sekarang sebenarnya, santai saja, KPK sedang menjadi macan ompong. Apalagi dengan adanya Sarpin's Effect. Tidak mudah mentersangkakan seorang koruptor. Praperadilan bisa jadi senjata pamungkas atau paling tidak bisa menjadi senjata tunda sampai waktu tak terbatas. Jadi... dana siluman itu sesungguhnya bukan siluman bagi dunia birokrasi sebesar Jakarta.
Masalah fungsi pengawasan mah, belakangan. Yang penting bagaimana kerjanya dan sejauh seiring sejalan dengan wakil rakyat Ahok bisa save meskipun tanpa kawan kepartaian.
Sekarang, Ahok hampir tanpa pendukung di partai. Hampir semua partai ingin mengajukan hak angket interpelasi. Mungkin juga baik kalau ada hak interpelasi untuk diajukan kepada dewan wakil rakyat. Saya pikir pak Gurbernur sebagai pribadi sudah siap dengan resiko itu. Termasuk resiko pemakzulan. Lha wong sekarang saja sudah ada gurbernur tandingan yang mungkin sudah digadang-gadang jadi gurbernur pengganti.
Tapi apapun itu, sekarang masyarakat sudah atau sedang kehilangan kepercayaan pada partai. Dan Ahok sepertinya kalau secara politis hanya bisa mengandalkan dukungan dari masyarakat. Btw, masyarakat yang manakah itu? Mungkin hanya netizen yang belum terbukti punya power untuk masalah anggaran dengan silumannya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H