Oleh : Nabila Putri Zahara
Marriage is scary. Marriage is scary apabila diartikan yakni pernikahan itu menakutkan. Istilah Marriage is scary banyak digunakan menjadi konten sebagai respons terhadap pandangan bahwa pernikahan itu menakutkan. Dimana membahas berbagai ketakutan, kekhawatiran, dan ambivalensi yang sering dirasakan oleh individu atau pasangan terkait pernikahan. Banyak individu berbagi pengalaman negatif terkait pernikahan, serta berasumsi dan berakhir menciptakan narasi yang berfokus pada dampak buruk dari pernikahan serta menciptakan ruang bagi diskusi yang lebih terbuka dan jujur. Representasi beberapa contoh kalimat yang digunakan dalam konten tersebut adalah "Marriage is scary what if pasangan lo main kasar", "Marriage is scary what if he does what my dad did", "Marriage is scary gimana kalo nanti pasangan kita selingkuh", "Marriage is scary bayangin nanti pasangan gak bisa belain lo di depan keluarganya", dan lain sebagainya.
Dalam era digital ini, muncul berbagai tren yang menjadi perhatian, sehingga menjadi viral di media sosial seperti TikTok, Instagram, dan X salah satunya Generasi Z merupakan kalangan yang paling banyak menggunakan media sosial seperti Tiktok, Instagram, dan X. Menurut beberapa peneliti, tahun lahir Gen Z berada pada tahun 1997-2012. Rentang usia ini seharusnya menjadi periode dimana individu mulai mempertimbangkan pernikahan. Namun, laporan dari Badan Pusat Statistik menunjukkan bahwa jumlah pernikahan terus mengalami penurunan selama enam tahun terakhir. Penurunan paling signifikan terjadi pada tahun 2023, dimana angka pernikahan menurun sampai 2 juta pasangan dari 1.705.348 menjadi 1.577.255. Dengan penurunan angka terhadap pernikahan di masyarakat, fenomena ini sejalan dengan tren Marriage is scary dimana banyak individu di generasi ini mengekspresikan ketakutan dan keraguan mereka tentang pernikahan, menjadikan tema ini semakin relevan dan sering diperbincangkan di platform media sosial Tiktok. Narasi ini mencerminkan kekhawatiran yang mendominasi pemikiran Generasi Z, yang mungkin berkontribusi pada penurunan angka pernikahan.
Â
Gambar 2 : Canva.com
 Marriage is scary dari perspektif psikologi
1. Social Learning Theory
Fenomena ini dapat dipahami melalui teori pembelajaran sosial yang dikemukakan oleh Albert Bandura. Menurut Bandura, teori ini menekankan bahwa individu belajar melalui pengamatan dan imitasi terhadap perilaku orang lain, terutama mereka yang dianggap sebagai model. Generasi Z, yang sangat dekat dengan media sosial, belajar dari apa yang mereka lihat di platform tersebut. Dalam konteks Marriage is scary ketika individu melihat konten yang menggambarkan pengalaman negatif dalam pernikahan, mereka mungkin merasa terpengaruh dan mulai memiliki pandangan bahwa pernikahan adalah risiko yang harus dihindari. Proses ini menciptakan siklus di mana ketakutan terhadap komitmen semakin meningkat, seiring dengan meningkatnya paparan terhadap narasi negatif.
 Untuk menggambarkan dampak narasi negatif terhadap pandangan individu tentang pernikahan, berikut adalah pendapat dari dua orang narasumber yang mencerminkan pengalaman generasi Z terkait konten marriage is scary di media sosial. Narasumber 1 "Iya, jadi takut menikah karena melihat konten marriage is scary, banyak banget yang bikin itu" "Walaupun nanti nikah belum tentu seperti itu, kontennya buat kita sadar hal buruk seperti itu kemungkinannya ada". Narasumber 2 "Ngeri sih, takut menikahnya jadi muncul"
2. Attachment
Di samping itu, trauma yang dihasilkan dari hubungan atau kelekatan dengan orang tua yang tidak harmonis seringkali menjadi faktor lain yang muncul, sehingga anak dapat mengembangkan ketakutan terhadap pernikahan (Kumparan, 2024). Fenomena ini berkaitan dengan teori attachment yang dicetuskan oleh John Bowlby. Agusdwitanti dkk., (2015) mengatakan bahwa pengalaman kelekatan pada masa lalu dapat membentuk pola kelekatan yang mempengaruhi cara individu memiliki hubungan di masa dewasa.
 Ketika anak tumbuh dalam keluarga dengan hubungan yang tidak romantis, mereka dapat menginternalisasi pola interaksi negatif yang kemudian mempengaruhi cara mereka memandang hubungan pernikahan. Pengalaman semacam ini dapat menciptakan ketidakpastian dan ketakutan terhadap komitmen, termasuk pernikahan, karena mereka mungkin merasa bahwa hubungan jangka panjang tidak akan berhasil. Dengan demikian, pola kelekatan yang terbentuk dalam konteks keluarga yang tidak harmonis dapat berkontribusi pada ketakutan individu terhadap pernikahan, menekankan pentingnya lingkungan keluarga dalam membentuk pandangan terhadap hubungan romantis.
 Dalam konteks saat ini, Generasi Z sangat lekat dengan media sosial, di mana mereka terpapar oleh berbagai konten yang mengekspresikan ketakutan dan keraguan terhadap pernikahan, termasuk tren Marriage is scary. Paparan ini semakin memperkuat pandangan negatif yang telah terbentuk dari pengalaman keluarga, sehingga generasi ini cenderung merasa semakin ragu dan pesimis terhadap pernikahan.
3. Psychoanalytic Social Theory (Basic Hostility and Basic Anxiety)
 Ketakutan akan kegagalan menikah, mungkin dari trauma masa lalu atau pengalaman orang terdekat (Umsida, 2024). Marriage is scary dapat dilihat dari kacamata psikologi melalui lensa teori Karen Horney dengan mempertimbangkan konsep basic hostility dan basic anxiety. Menurut Karen, jika individu tidak memiliki atau kurang pengalaman dalam menerima kebutuhan emosional, seperti rasa aman dan kepuasan, anak tersebut akan mengembangkan perasaan basic hostility. Namun, karena anak tidak dapat mengekspresikan kemarahan tersebut terhadap orang tua, perasaan itu akan berubah menjadi basic anxiety.
Perasaan tidak berdaya ini dapat memicu ketakutan terhadap pernikahan, terutama karena ketidakpastian tentang masa depan hubungan yang bisa menghadirkan konflik atau ketidakpuasan. Selain itu, basic hostility dapat muncul ketika kebutuhan akan rasa aman tidak terpenuhi. Ini dapat menyebabkan individu mengembangkan ketidakpercayaan terhadap pasangan, merasa takut akan pengkhianatan atau kehilangan. Pengalaman masa lalu dengan orang tua dapat berkontribusi pada skeptisisme terhadap institusi pernikahan. Dalam konteks ini, ketakutan terhadap komitmen bisa dilihat sebagai respons terhadap kecemasan dan permusuhan yang mendalam, yang berasal dari pengalaman emosional yang belum teratasi.
 Dengan pendekatan ini, kamu bisa melihat bahwa ketakutan terhadap pernikahan bukan hanya hasil dari pengalaman pribadi, tetapi juga bisa dipengaruhi oleh dinamika emosional yang lebih dalam, yang berakar dari pengalaman masa kecil.
Cara Mengatasi
Gambar 3 : Canva.com
 Praktik mindfulness dan peningkatan self-efficacy sangat penting. Mindfulness memungkinkan individu untuk tetap hadir dalam momen sekarang, membantu mereka mengurangi kecemasan dan mengatasi pikiran negatif tentang masa depan. Sementara itu, meningkatkan self-efficacy yakni keyakinan pada kemampuan diri untuk menghadapi tantangan dapat memberikan dorongan mental yang diperlukan untuk merasa lebih siap menghadapi komitmen. Bagi Generasi Z, penting untuk lebih bijak dalam menerima konten yang beredar di media sosial, dengan menyaring informasi agar dapat memberikan inspirasi dan motivasi positif, Dengan mengembangkan kedua aspek ini, individu dapat membangun kepercayaan diri dan pandangan positif terhadap pernikahan, menjadikannya sebagai peluang untuk pertumbuhan dan kebahagiaan, bukan sebagai sumber ketakutan.
Sumber:
Â
Agusdwitanti, H., Tambunan, S. M., & Retnaningsih. (2015). Kelekatan dan intimasi pada dewasa awal. Jurnal Psikologi. 1(8), 13-14. Â Â Â Â Â Â
Â
Badan Pusat Statistik. (2024). Nikah dan cerai menurut Provinsi, 2023: Februari 2024. BPS-Statistics Indonesia.
Â
Kumparan. (2024, Agustus 20). Trend Marriage Is Scary di Kalangan Gen Z, Apa Dampaknya? URL.https://kumparan.com/enricco-bintang-syahputra/trend-marriage-is-scary-di-kalangan-gen-z-apa-dampaknya-23MVrkw8S6J. Diakses pada 9 Oktober 2024.
Â
Umsida. (2024, Agustus 19). Tren Marriage is Scary, Ini 6 Faktornya Menurut Pakar Psikologi Umsida. URL https://umsida.ac.id/tren-marriage-is-scary-ini-kata-pakar-umsida/. Diakses pada 11 Oktober 2024
Â
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H