Dalam jalanan panjang saat sengatan matahari memerangi, aku berusaha mencari ketenangan. Demi sebuah ketenangan aku meleburkan diri di tengah hari. Ku lihat deburan ombak yang berkejar menggulung ke permukaan, kemudian kembali ditarik laut. Aku hanya terus berjalan di pesisir sambil melihat tapak kaki yang lancang membuat tanda dengan sendirinya di pasir berwarna abu kehitaman, sesekali aku kembali melihat ke belakang ke arah tapak kaki ku. Suara deburan ombak menggema dalam pendengaran, sambil sesekali aku tersenyum melihat gulungan ombak yang naik ke pesisir dan menghapus jejak kaki ku. Sejenak dapat ku lupakan hiruk pikuk kehidupan yang begitu rumit. Ku nikmati deburan ombak yang berteriak dalam pendengaran ku.
Dalam jarak pandang yang tak terlalu jauh ku lihat seorang gadis kecil bersama anak lelaki yang lebih kurang seusia, berlarian di pesisir sambil sesekali melawan ombak dengan tawa yang terpancar di wajah keduanya. Aku berusaha mendekat dan melihat interaksi kedua anak kecil yang dipuaskan oleh deburan ombak, dari interaksi keduanya ku ketahui bahwa mereka kakak beradik dan masyarakat asli pesisir pantai ini. Aku terus saja memperhatikan keduanya, sambil tenggelam dalam lamunan ku.
Bagaimana mungkin kedua anak kecil ini bisa begitu bahagia? Apakah mereka hanya anak kecil yang naif ? yang tak tahu betapa kejam dan rumitnya dunia ini. Bagaimana mungkin mereka tetap terpuaskan tawanya hanya dengan menikmati deburan ombak? Aku sama sekali tak mencurigai kedua anak ini, tak mungkin tawa kedua anak kecil ini palsu. Gandengan tawa dan ketulusan yang terpancar dari kedua anak kecil itu membawa ku pada perefleksian diri.
Apakah hanya ini kuncinya? Inikah jawaban dari persoalan hidup yang sangat susah untuk ku pecahkan? hanya sebatas mensyukuri keadaan kah? Saat mata terpejam dan tak lagi bisa melihat, masih ada telinga yang berkelana menemukan suara deburan ombak, masih ada hidung yang mencium aroma amis pantai, semuanya menjadi satu untuk sekedar saling melengkapi. Dan aku tetap bisa menikmati deburan ombak ini. Bukan main, mahakarya Tuhan memang tak diragukan lagi.
Masih saja aku diseret masuk dalam lamunan yang berkepanjangan ini. Seperti tapak kaki yang terus maju di pesisir pantai, semuanya pasti terhapuskan kala alam bekerja sama. Terus berjalan saja !! Nanti juga di belakang akan ada deburan ombak yang mampu menghapuskan semua jejaknya. Terhitung sejak detik berdetak ke detik selanjutnya, terus lah berjalan dan jangan lagi berdiam. Nyatanya hidup ini memang soal perjalanan kan? Seperti telinga dan hidung yang membantu kala mata tak lagi bisa melihat, dalam perjalanan hidup rumit ini pun akan datang penolong yang mampu bersusah tanggung bersama dalam melewati hari berat.
Tapi sesaat sebelum lamunan undur diri, aku kembali meragu. Aku bertanya kembali. Bagaimana jika mata yang tak lagi bisa melihat ternyata diperjumpakan dengan telinga yang tak dapat mendengar dan hidung yang tak lagi bisa mencium ?. Bukan kah ini memunculkan persoalan baru ? Ah, sialllll.... Aku mulai putus asa lagi. Apakah asa dapat dicari dalam lautan dalam di depan ku ? Atau dapatkah asa ku bangun seperti membangun kerajaan pasir di tepi pantai ?. Tapi aku takut kala mencari asa di lautan dalam akan tenggelam. Aku takut kala membangun asa bak kerajaan pasir di tepi pantai akan hancur, diterjang deburan ombak yang datang. Asa ku hilang, benar-benar hilang. Tak dapat ku temukan, pun tak dapat ku bangun. Hanya puing-puing berserakan yang terpisah bercerai berai. Ya, itu lah asa ku.
Nyatanya deburan ombak yang memuaskan kedua anak kecil itu tak mampu membuat ku menemukan, atau sekedar membangun asa yang tinggal puing ini. Aku benar mencari sebuah ketenangan atau hanya sekedar ingin kabur sesaat dari hidup yang penuh absurditas ini?.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H