1. Sumber kaidah
a. Al-Quran surah Al-Baqarah ayat 219:
Artinya: Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah: pada keduanya itu terdapat dosa besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya. Dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah: yang lebih dari keperluan. Demikianlah ALLAH menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu supaya kamu berfikir.
b. Al-Quran surah al-Nisa ayat 111:
Artinya: Barang siapa yang mengerjakan dosa, maka sesungguhnya ia mengerjakannya untuk (kemudharatan) dirinya sendiri. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.
Qaidah muamalah yang kedua ini adalah masuk apa saja perbuatan muamalah yang di dalamnya mengandung manfaat dan tidak mengandung mudharat di bolehkan, tetapi jika perbuatan muamalah itu mengandung mudharat, maka di haramkan.
Dalam syariat islam, maka tujuan diadakannya hukum, termasuk bagian muamalah adalah untuk mendapat kemaslahatan, dan menjauhi kemudhadatan. Setiap kemaslahatan mengandung manfaat, dan setiap kemudharatan mengandung bahaya.
Kata mashlahat secara etimologi merupakan akar kata saluha. Kata ini di gunakan untuk menunjukkan jika seseorang menjadi (berkeadaan atau tabiat) baik, tidak menyimpang, adil, saleh atau jujur. Kata ini secara alternatif juga menunjukkan keadaan yang mengandung kebijakan-kebijakan tersebut. 100 maslahah berarti juga sebab, cara atau tujuan yang baik, yang bermanfaat. Secara umum, maslahah biasa di beri muatan pengertian dengan ungkapan yang masyhur yaitu (mengusahakan keuntungan dan menyingkirkan bahaya) bentuk jamaknya adalah mashalih yaitu kerusakan. Mafsadat dan adalah sesuatu yang menimbulkan kemudharatan.
Segala sesuatu yang di syariat kan oleh islam tentu memiliki kemaslahatan dan mengandung manfaat, sebaliknya segala sesuatu yang di larang oleh islam adalah mafsadat dan mengandung bahaya. Ketentuan syariat yang menyatakan ada manfaat dan mudharat akan terkadang berbeda dengan ketentuan akal manusia. Seperti perbuatan yang menurut akal adalah maslahat dan mengandung manfaat, karena dengan riba mendapatkan keuntungan dalam bertransaksi di dapat dengan mudah, tetapi menurut syariat adalah mafsadat dan mengandung bahaya, karena menyengsarakan bagi mereka yang bertransaksi.
Dalam muamalah, seperti jual beli, utang piutang, dan lainnya, sebagaimana di terangkan pada qaidah fiqhiyyah muamalah yang pertama, bahwa semua muamalah itu boleh karena ber muamalah itu bermanfaat. Kebolehan muamalah itu selama tidak ada dalil yang menyatakan keharaman, karena keharaman itu mengandung mafsadat dan bahaya. Oleh karena dalam bermuamalah dilarang adanya unsur kezhaliman, unsur gharar, unsur maysir dan tiba.
2. Penerapan qaidah
Pada dasarnya semua yang bermanfaat halal (boleh), demikian pula saling membahayakan (merugikan) haram dengan petunjuk syariat.
a. Semua bentuk jual beli dibolehkan oleh para ulama, karena jual beli itu mengandung manfaat, tetapi para ulama mengharamkan jual beli yang ada unsur riba, karena riba mengandung unsur kemudharatan (bahaya), kemudharatan itu di tunjuk oleh syariat. Misalnya orang melakukan utang piutang kemudian pembayarannya berlebihan dari jumlah utang dengan permintaan sipemberi utang.
b. Musyarakah di butuhkan oleh masyarakat untuk meningkatkan kesejahteraan dan usaha memerlukan dana dari pihak lain, di mana masing-masing pihak memberikan konstribusi dana, dengan ketentuan, bahwa keuntungan dan resiko ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan ketika akad.
c. Dalam melakukan muamalah seperti jual beli, upah mengupah, utang piutang dan lainnya dibolehkan oleh islam, karena mengandung manfaat dan tolong menolong di antara sesama manusia. Tetapi jika dalam muamalah itu mengandung unsur penipuan, maka muamalah itu menjadi haram.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI