Â
Oleh: Herni
Â
Kembali teringat akan masa itu. Aku berdiri sambil terus mengingat masa-masa itu, masa-masa yang sangat indah yang pernah kulalui semasa sekolah dan kuliah, ada begitu banyak harapan yang aku ingin buktikan. Harapan itu adalah aku ingin sekali memiliki satu hati. Ya, satu hati yang akan kuberikan pada seseorang yang kelak akan jadi pendampingku selamanya. Satu hati sebagai rumah bersama untuk ditinggali berdua supaya sama-sama menata masa depan yang dijalani bersama dalam ikatan satu hati.
Hari terus berganti. Kenangan itu masih saja terus mengitari pikiranku. Aku tak bisa mengelak, tak bisa mengusirnya begitu saja. Sebuah kerinduan dengan mengingat masa-masa itu tidak boleh dilawan. Disyukuri karena aku dulunya pernah mengalami dan masih mengingat masa-masa itu dengan baik.
Sembari memencet telepon genggam, aku dikejutkan suara yang tak jauh dari area aku berdiri. Suara itu terus memanggil namaku. Kuhampiri suara itu. Rupanya suara Mamaku yang lagi berbincang dari balik telepon. Kata Mamaku, telepon dari saudaranya. Aku menepi sejenak. Mamaku masih terus berbicara di telepon. Kulihat jam di tanganku sudah lima belas menit, Mamaku menerima telepon dan berbicara dengan saudaranya.
Aku duduk di situ. Kembali kubuka telepon genggam yang sedari tadi aku memegang. Aku buka kotak masuk dan membaca pesan-pesan yang masuk, yang belum kuhapus. Sebenarnya ada beberapa pesan yang sudah kulihat saat pertama kali aku membuka telepon genggam. Tapi belum kusempatkan membacanya.
Selepas menarik napas, aku niatkan membaca pesan itu. Rupanya, pesan-pesan yang sudah lama yang belum dihapus memiliki cerita dan pesan tersendiri. Ada kenangan di balik pesan-pesan itu.
"Tak boleh melepas harapan itu, tak boleh pergi. Pertahankan niat dan harapan untuk menikah bersama dia apapun risikonya. Miliki satu hati sebagai harapan yang akan menyatukan kita dalam ikatan suci di Gereja sebagai pasangan yang akan melewati bersama semua ujian dan tantangan hidup".