Sudah sejak Asar tadi aku duduk di sini. Tepatnya di sisi utara pos parkir sepeda motor. Parkiran di depan Mall ini biasanya tidak begitu ramai. Namun beberapa hari ini sebaliknya. Mungkin karena mendekati lebaran. Sudah H-5. Banyak motor keluar masuk parkiran. Kak Pi'i, yang biasa menjaga parkir bekerja sama dengan Kak Leman membuka lahan parkir sementara. Merambah ke sisi utara Mall di pinggiran kota ini.
Tidak seperti Kak Pi'i yang duduk di atas kursi di dalam box parkir yang terbuat dari triplek sisa. Â Di sana, Kak Leman hanya duduk di kursi plastik yang warnanya sudah memudar. Menerima karcis parkir dari pemarkir motor yang hendak keluar. Menjauhi Mall. Sementara itu, tugas mengarahkan dan membantu pengendara menemukan tempat parkir yang pas diberikan pada Kak Juber.
Sudah sejak Asar tadi aku duduk di sini. Di undak-undakan menuju pintu utama Mall ini. Di sampingku kuletakkan tampah tua berisi mbote talas dan ubi. Hari ini aku belanja sedikit lebih banyak dari kemarin-kemarin. Barangkali para tukang parkir tadi kelaparan setelah mengatur motor yang lalu lalang. Barangkali para tukang bentor---becak montor---ingin mengisi perutnya dengan talas ini. Atau para sopir gojek, sopir-sopir angkot yang biasanya menghabiskan mbote talas ini. Ngganjel weteng---mengganjal perut-- kata mereka.
Kalau mengharapkan para pengunjung Mall untuk membeli talas mboteku, kok rasanya nggak mungkin. Mereka orang-orang berduit. Mudah baginya membeli macam-macam makanan yang ditawarkan warung-warung yang menutupi semua sisi Mall ini. Ada nasi campur, rawon, soto, bakso, tahu campur, dan sebagainya. Es teler, es campur, es degan, es kacang ijo. Ada semua. Lihat saja di keber---spanduk yang bertuliskan menu yang dijual---di depan warung-warung tadi. Ada kebernya yang diganti baru karena semangat hari raya. Ada yang kebernya sudah kumal. Sekumal meja kursi warungnya.
Orang-orang berpunya nggak bakal membeli talas mboteku. Apalagi sekarang. Pasti THR mereka sudah cair. Tidak sulit mengeluarkan lembaran biru rupiah demi menebus dua mangkok bakso dan es teler. Untuk membeli talas mboteku, sekali lagi aku tidak banyak berharap. Bukan aku mendahului kehendak yang memberi rezeki. Hanya saja talas mboteku bukan level mereka. Aku cukup sadar diri siapa pembeli daganganku sebenarnya.
Tidak jauh dari tempatku duduk, kulihat ada pemain baru. Biasanya tempat itu ditempati Bik Ten. Ia duduk sambil menengadahkan tangannya. Mengharap iba para pengunjung Mall ini. Di depannya diletakkan mangkok aluminium kecil yang sudah menceng ke sana ke mari. Kalau ada orang memasukkan koin, suaranya cempreng. Sudah lama ia menjalani profesi yang aku sendiri bakal tidak mampu melakukannya. Bukan karena apa-apa. Hanya saja aku malu. Aku masih punya tenaga untuk kulakan mbote talas. Memasaknya dan menjualnya.
Kemana Bik Ten ya? Perempuan yang menggantikan posisinya sekarang berdiri dengan kruk penyangga di tangan kanannya. Kalau melihat penampilannya sih, pasti ia lebih muda dari Bik Ten. Rambutnya belum berubah warna. Hanya saja bajunya kumal. Ah... apa bajuku sekumal bajunya ya? Sementara itu tangan kirinya memegang mangkok plastik berwarna biru yang masih baru.
Sudah sejak Asar tadi aku duduk di sini. Mengamati para pengunjung Mall yang lalu lalang. Hampir semua perempuannya menggenggam dompet yang tebal. Ada yang berwarna hitam, coklat, merah. Kalau tidak, mereka pasti menyelempangkan tas kecil di badannya. Tas kecil itu tampak sedikit menggelembung. Bisa jadi karena dompetnya terlalu tebal. Berisi lembaran-lembaran rupiah yang sebentar lagi pasti berubah bentuk. Â Menjadi baju, sepatu, makanan, minuman, dan lain-lain. Sementara yang laki-laki berjalan biasa. Jarang kulihat mereka memakai tas. Ada juga sih tapi nggak banyak. Kebanyakan mereka berjalan santai menuju Mall. Ketika berlalu segera kutangkap ada yang menonjol di saku celana belakang mereka. Mungkin dompetnya terlalu tebal. Berisi amplop THR yang belum dibuka.
Ketika melewati tempatku duduk, beberapa di antara mereka bergandengan tangan. Mesra. Namun tidak pernah kulihat pemandangan serupa saat mereka pulang. Masing-masing tangan mereka membawa tas berisi belanjaan. Di permukaan luar tas itu bertuliskan M, R, S, dan lainnya. Ada yang bentuknya kotak, persegi. Ada yang ukurannya besar kecil. Ada yang bahannya kertas, kardus, dan plastik. Ada yang hanya menjinjing tas kresek plastik tanpa merek. Ada yang warnanya putih dan hitam.
Sudah sejak Asar tadi aku duduk di sini. Sekarang sudah mendekati Isya. Talas mboteku belum juga berkurang. Seperti pengunjung Mall ini yang belum juga berkurang. Semakin malam justru semakin banyak saja. Melimpah ruah.
Kulihat nun jauh di sana. Di antara terangnya lampu-lampu. Di bedak-bedak di samping Mall ini sebuah baju muslim anak berwarna biru. Tetap pada tempatnya. Sudah seminggu. Dan pintaku pada Gusti Allah semoga tetap begitu. Sampai talas mboteku laku. Dengan begitu aku bisa menebusnya. Membawanya pulang untuk putri semata wayangku.
Emak pulang Nak, ini kubawakan baju warna biru.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H