Mohon tunggu...
Hernawan Khotibul Umam
Hernawan Khotibul Umam Mohon Tunggu... pegawai negeri -

Alumni IKIP PGRI Semarang angkatan 2002. Sekarang mengajar di SMA Negeri 1 Batang Kawa, Lamandau, Kalimantan Tengah. Penulis Buku "Dear My Friends, Good Morning" Pergulatan Guru di Pedalaman Kalimantan.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Menuliskan Apa yang Kita Lakukan dan Melakukan Apa yang Kita Tuliskan

21 November 2014   09:01 Diperbarui: 17 Juni 2015   17:15 11
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_336805" align="alignright" width="300" caption="Si Kuda Besi"][/caption]

Berkat Tanoto Foundation saya mengingat kembali ujaran “Menuliskan Apa yang Kita Lakukan dan Melakukan Apa yang Kita Tuliskan.” Itulah sederet kalimat sakti yang saya pergunakan untuk menyemangati menulis. Menuliskan semua peristiwa yang saya alami di tempat di mana saya bertempat tugas mengajar. Menulis merupakan kegiatan yang jauh dari keramaian. Saat kebanyakan guru menghabiskan waktu istirahat untuk santai bahkan bersenda gurau melepas penat, maka saya harus menjaga diri agar fokus akan apa yang ingin ditulis. Kalaupun ikut serta berbincang tak lebih dari sekadar pelengkap saja. Misalnya menanyakan bagaimana tanggapan siswa ketika proses pembelajaran berlangsung.
Hal itu penting sebagai bahan pendukung atau pembanding bahan tulisan. Adapun jenis tulisan sederhana yang dapat disusun oleh guru yaitu Case Study. Suatu tulisan berisi tentang cerita proses pembelajaran dari mulai awal masuk, kegiatan yang dilakukan siswa, situasi dan kondisi setiap siswa, keberhasilan atau kegagalan guru menyampaikan materi sampai kejadian seorang siswa terkantuk saat jam terakhirpun bisa dituliskan menjadi hal yang menarik.
Tentu tidak hanya Case Study saja yang dapat ditulis oleh guru. Pengalaman membuktikan saya mampu menuliskan kegiatan budaya, adat, perjalanan atau wisata bahkan kuliner. Semuanya itu saya tuliskan dalam bentuk artikel. Jika tidak saya kirim ke surat kabar maka mem-publish tulisan di Kompasiana.com menjadi pilihan terbaik. Oleh karena itu tulisan yang saya hasilkan menjadi beragam.
Tips yang dapat saya bagikan antara lain, pertama, jangan pernah takut memulai tulisan. Goreskan saja pena di secarik kertas. Tuntunlah ujung pena membentuk huruf demi huruf, kata demi kata, kalimat demi kalimat, paragraf demi paragraf sehingga mewujudlah satu tulisan berupa artikel, cerita pendek, puisi, pantun dan sebagainya. Kedua, menempatkan kegiatan menulis seperti hutang. Hutang ini kita ibaratkan hutang musiman saja. Misalnya saya menulis berdasarkan Peringatan Hari Besar Nasional. Umpamanya sekarang ini Peringatan Hari Guru Nasional, maka saya membuat artikel bertema Penegakan Kode Etik Guru.
Ketiga, jangan pernah mengutuk kesulitan. Bisa jadi kesulitan sinyal telepon, ketiadaan sambungan listrik, ketidakpunyaan laptop atau tingkat kecerdasan siswa justru memacu kita untuk menulis. Tidak percaya? Saya telah membuktikannya. Di SMPN 1 dan SMAN 1 Batang Kawa, Kabupaten Lamandau, Kalimantan Tengah, saya telah membukukan kumpulan artikel. Buku itu berjudul “Dear My Friends, Good Morning – Pergulatan Guru di Pedalaman Kalimantan.”
Judul itu diambil dari salah satu artikel yang berisi tentang siswa yang berpidato Bahasa Inggris setiap hari Senin sesaat setelah upacara bendera selesai. Banyak lagi tulisan tentang kegiatan pembelajaran dengan metode game, artikel adat memakan pinang, artikel wisata lokal, sampai tulisan tentang kuliner seperti rebung, sayur pakis dan tempuyak. Menarik bukan? Semuanya bermula dari coretan di buku harian. Jika ada laptop pinjaman baru saya ketik.
Tips keempat atau terakhir, berpikirlah bahwa menjadi penulis itu hebat. Meskipun saya belum menjadi penulis hebat, setidaknya kehebatan itu bisa dibuktikan saat buku itu diterbitkan dan menjadi mahar untuk menikahi perempuan yang saya cintai. Hebatnya lagi, acara peluncuran berlangsung di sela-sela resepsi. Perlu dicatat, peristiwa itu yang pertama dan satu-satunya terjadi di desa kami. Hebat bukan?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun