Oleh: Zaky Ismail (Dosen FISIP UIN Sunan Ampel Surabaya)
Kiprah politik Siti Rohmi Djalilah menjadikan dirinya sosok penting dalam sejarah kepemimpinan di NTB, terutama dalam meningkatkan peran perempuan di ranah politik dan pemerintahan. Cucu pertama ulama kharismatik pendiri Nahdlatul Wathan (NW), Tuan Guru Muhammad Zainuddin Abdul Majid juga akan mencatat sejarah menjadi Gubernur perempuan pertama NTB, serta menjadi gambaran eksistensi pengaruh keluarga besar pendiri NW dalam kehidupan sosial dan politik masyarakat.
Dengan ditetapkannya pasangan calon gubernur dan wakil gubernur Nusa Tenggara Barat (NTB) yang berkontestasi pada pilkada 2024 oleh KPUD NTB pada tanggal 22 September yang lalu, maka secara resmi terdapat tiga pasangan calon yang akan bertarung memperebutkan kursi kepemimpinan nomor satu di NTB. Salah satu pasangan calon tersebut adalah Sitti Rohmi Djalilah-Musyafirin merupakan representasi kader pemimpin terbaik yang dimiliki oleh NTB saat ini.
Dalam tilikan sejarah kontestasi Pilkada di NTB era reformasi, bisa dipastikan bahwa baru kali ini NTB menghadirkan perempuan di tampuk tertinggi kepemimpinan politik. Setelah sebelumnya hanya sebagai “serep” (baca wakil) maka pada pilgub tahun 2024 ini, NTB menghadirkan Sitti Rohmi Djalilah sebagai calon gubernur tunggal dari kalangan perempuan. Tentu saja tanpa mengesampingkan pasangan lain yang masih menjadi “ban serep” tadi. Lantas pertanyaannya adalah, sejauh mana akseptabilitas calon gubernur perempuan pada pilgub NTB kali ini di tengah persepsi subordinatif dalam "budaya patriarki" kultur ketimuran?.
Dalam konteks kepemimpinan publik, kapasitas dan kapabilitas menjadi dua kata kunci utama untuk mengukur kepantasan seseorang menjadi leader. Idealnya, dalam konteks kepemimpinan publik bidang apa saja, termasuk bidang politik, kiprah perempuan bukan lantas menjadi sebuah handicap. Justru kekuatan elektabilitas calon perempuan kerap menjadi kartu As pemenangan dalam kontestasi elektoral.
Dalam scope politik nasional Indonesia, setelah lebih dari dua dekade era keterbukaan politik di masa reformasi, budaya politik sudah sangat terbuka dengan kehadiran calon-calon pemimpin dari kalangan perempuan. Beberapa daerah di Indonesia antara lain mencatat bahwa perempuan dengan kapasitas dan kapabilitas mumpuni pernah menduduki jabatan politik tertinggi di tingkat daerah sebagai hasil kontestasi politik. Sebut misalnya Ratu Atut Chosiyah di Provinsi Banten dan Khofifah Indar Parawansa di Jawa Timur. Kemudian di tingkat kabupaten tak kurang dari Tri Risma Harini pernah terpilih menjadi walikota Surabaya, Airin Rachmi menjadi walikota Tanggerang Selatan, Chusnunia Chalim Bupati Lampung Timur, dan Eva Dwiyana walikota Bandar Lampung, serta contoh-contoh lain yang tidak disebutkan secara lengkap dalam tulisan ini. Fakta tersebut menjadi penegasan bahwa pada dasarnya hak politik perempuan tidak dibeda-bedakan dengan laki-laki.
Laki-laki dan perempuan memiliki kedudukan yang setara untuk dipilih menduduki tampuk kepemimpinan politik. Mitos bahwa laki-laki lebih segala-galanya dari perempuan tidak selamanya bisa dibenarkan. Karena indikator utama sebuah kepemimpinan publik adalah kapasitas diri dan kapabilitas kepemimpinan (leadership capability). Lebih-lebih jika kemampuan individu tersebut didukung oleh faktor-faktor lain yang melekat dan menguatkan diri sang kontestan, tidak peduli apakah ia laki-laki atau perempuan. Bahkan Islam pun mengaskan bahwa “Apabila suatu urusan diserahkan kepada yang bukan ahlinya, maka tunggulah kehancurannya”.
Di samping itu, terdapat beberapa faktor yang memiliki daya kejut (political game-changer) dahsyat yang bisa jadi sangat berpengaruh terhadap perubahan konstelasi politik, lebih-lebih di NTB. Pertama, rekam jejak. Pengalaman birokrasi, nama baik, tidak ada catatan aib politik, bersih, hadir dan engage dengan masyarakat dalam segala situasi serta memiliki komitmen yang kuat terhadap kemajuan daerah menjadi modal penting seorang kontestan di NTB. Apalagi jika si calon adalah orang yang sangat dekat di hati masyarakat NTB, sebagai modal sosial. Maka calon dengan rekam jejak yang baik kemudian didukung modal sosial kuat akan sangat terbuka kemungkinan kepenerimaan (akseptabilitas) dan keterpilihan (elektabilitas) nya daripada calon yang tidak didukung faktor tersebut. Terlebih lagi jika jelas-jelas si calon lahir dari kultur masyarakat “santri” yang sangat lekat dengan kultur masyarakat NTB. Pengalaman keterpilihan TGB (Tuan Guru Bajang). Muhammad Zainul Majdi yang berpasangan dengan Badrul Munir Pada pilgub tahun 2008 yang lalu menegaskan asumsi di atas. Kolaborasi antara santri dan birokrat yang tercermin dalam pasangan TGB-Badrul saat itu akhirnya memenangkan kontestasi dengan keterpilihan sebesar 38.84%, mengalahkan 3 pasangan calon lainnya.
Selanjutnya adalah, dukungan dari tokoh berpengaruh. Dalam konteks politik NTB hari ini, kharisma TGB sebagai tokoh kunci masih menjadi faktor paling penting yang mempengaruhi konstelasi politik NTB. Maka tak heran jika kemudian para kontestan “berebut” ingin menunjukkan bahwa dia lah yang “didukung” oleh TGB. Selain sebagai ulama kharismatik, TGB juga merupakan gubernur NTB dua periode antara tahun 2008-2018. Pandangan-pandangan dakwahnya yang moderat, menyejukkan dan penuh empati menjadi poin penting diterimanya TGB di semua kalangan, tidak hanya di kalangan internal jamaah NWDI, namun di hampir semua elemen masyarakat NTB. Dan tidak bisa dinafikan bahwa kepemimpinannya selama dua periode membawa dampak sangat signifikan bagi NTB di kancah nasional maupun internasional. Bahkan sampai hari ini, TGB masih merupakan tokoh nasional yang sangat diperhitungkan.
Hubungan darah TGB dan Sitti Rohmi Djalilah