Sepanjang hari ini, yang dimulai dengan cerahnya matahari pagi hingga siang dengan mendung menggantung, entah akan turun hujan atau cuma mengurangi panasnya udara. Tetapi penulis dengan isteri berdua masih saja melakukan bersih-bersih rumah dengan tema salah satu kontestan pemilu, harus riang gembira. Karena beberapa hari ke depan ketiga anak kami dan menantu bakal berkumpul di rumah, setelah hampir setahun tidak pernah ketemu secara bersamaan.
Dan di antara debu-debu halus yang beterbangan ke segala arah, yang konon katanya debu itu juga sama dengan angin yang tidak memiliki Kartu Tanda Penduduk dengan domisili yang tidak jelas. Itu saja sudah membuat isteri penulis terbatuk-batuk akibat ada alergi debu, karena sudah test alergi di dokter paru-paru di Semarang. Tiba-tiba mata ini membaca sobekan koran yang sudah lusuh dengan nama seorang tokoh di negeri ini, yang membuat warga negeri khatulistiwa terhenyak. Â
Pikiran penulis kembali menerawang jauh ke belakang, saat peristiwa itu berlangsung. Apa yang sedang terjadi dari kasus seorang tokoh lekaki ini ? Secara specifik publik sedang dipertontonkan bagaimana seseorang bisa memiliki kepribadian ganda yang tidak kentara. Penderita kepribadian ganda memiliki dua atau lebih kepribadian di dalam dirinya yang satu sama lain berbeda atau bahkan bisa bertolak belakang. Kepribadian lain ini dalam istilah psikologi dinamakan sebagai alter ego.
Di tengah situasi yang berada dalam zona nyaman, bisa saja saat itu alter ego mengambil alih kesadaran, yang berujung penderita akan menjadi pribadi lain dengan nama, usia, jenis kelamin, bahkan sifat yang berbeda. Selama kesadarannya diambil alih oleh alter ego, penderita kepribadian ganda juga akan mengalami perubahan perilaku. Mereka bisa melakukan sesuatu yang tidak menjadi kebiasaannya sehari-hari, seperti tega mencabut nyawa seseorang sekalipun itu adalah orang terdekatnya.
Sebagai contoh, bisa saja terjadi penderita kepribadian ganda yang taat pada hukum, sopan, dan berperilaku sesuai norma yang ada di masyarakat, bisa saja melakukan pencurian, berlaku kasar, mudah memaki atau membunuh. Saat penderita kepribadian ganda ditanya mengapa ia melakukan hal yang tidak biasa tersebut, ia akan memungkirinya, mengatakan bahwa ia tidak ingat pernah melakukannya, atau merujuk pada orang lain di dalam dirinya sebagai pelakunya.
Pikiran penulis kembali menerawang jauh ke belakang untuk kedua kalinya. Ada kalimat yang tertulis sepanjang peradaban manusia mengikut Sang Khalik. Orang menyembelih lembu jantan, namun membunuh manusia juga, orang mengorbankan domba, namun mematahkan batang leher anjing, orang mempersembahkan korban sajian, namun mempersembahkan darah babi, orang mempersembahkan kemenyan, namun memuja berhala juga. Karena itu sama seperti mereka sendiri, dan jiwanya menghendaki dewa kejijikan mereka
Seperti juga halnya kasus seorang pendeta di Jawa Timur beberapa tahun lalu, yang disampaikan oleh Kepala Bidang Humas Polda Jawa Timur, Kombes Pol Trunoyudo Wisnu Andiko, mengatakan pendeta berinisial HL itu diduga melakukan pencabulan kepada anak di bawah umur berinisial IW yang saat itu masih berusia 10 tahun. Artinya apa ? Bahwa hari-hari yang kian mendekat di akhir jaman, dengan makin bertambahnya usia renta bumi yang dipijak, bisa saja membuat perilaku manusia menjadi menyimpang dari ajaran yang benar, karena dimungkinkan memiliki kepribadian ganda yang disebut juga gangguan identitas disosiatif. Persoalannya adalah, apakah ketika manusia yang berperilaku negatif dan dihujat banyak orang itu, tidak mempunya sisi yang positip ? Meskipun hanya seujung kuku ?
Mungkin manusia sudah terbiasa melihat secara kasat mata casingnya saja. Apakah ini karena ingin serba instan yanpa berusaha merujuk dan mengamati dari salah satu sudut saja, tanpa berusaha mencoba mengamati dari sudut pandang yang lain. Â Seperti kata orang jika pada tandan buah anggur masih terdapat airnya: Janganlah musnahkan itu, sebab di dalamnya masih ada berkat. Bisa saja itu terjadi bukan ?
Memang menilai seseorang bukan cuman dari tampilan luarnya saja, sehingga kemudian kita bisa jatuh hati dan klepek-klepek. Tetapi mulai belajar dari kedua sisi kehidupannya. Seperti halnya Tuhan Sang Pencipta yang menilai diri kita. Sekalipun kita sudah berlumur dosa, Tuhan masih saja mau merengkuh kita. Sekalipun kita seringkali tidak setia, bahkan berselingkuh dengan yang lain, Tuhan tetap setia.
Sepertinya mendung masih saja menggantung sampai sore ini. Karena sampai masa tuamu AKU tetap DIA dan sampai masa putih rambutmu AKU menggendong kamu. AKU telah melakukannya dan mau menanggung kamu terus. AKU mau memikul kamu dan menyelamatkan kamu. Jadi rasanya Tuhan Yang Maha Kuasa tidak pernah membeda-bedakan umatnya berdasarkan etnis, warna kulit, kaya ataupun miskin. Begitu.
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H