Sudah lima hari ini hujan tidak lagi turun dengan lebatnya di perumahan penulis tinggal, seperti hari-hari sebelumnya. Tetapi bukan berarti cuaca yang cerah tidak menyisakan pekerjaan rumah yang rasanya berat di ongkos dengan perlu sedikit rekayasa teknik dalam pekerjaan ke depannya.
Ceritanya di hari Kamis pagi minggu kemarin, penulis dibuat terkejut saat akan keluar dari perumahan. Sebuah rumah yang sedang dibangun yang berada di tepi jalan raya dengan elevasi yang agak tinggi, terlihat dengan jelas sepanjang dindingnya tumbang dengan kolom-kolom beton miring dan pondasi dan dinding penahannya retak dari atas ke bawah. Kejadian ini terjadi setelah tiga hari berturut-turut diguyur hujan lebat setiap siang.
Dari pengamatan, menurut pendapat pribadi yang sejujurnya tidak pernah kuliah di fakultas teknik sipil, memang sejak awal pembangunan pekerjaan pondasi tidak sesuai dengan struktur yang direkomendasikan. Ada juga pekerjaan urugan tanah di sisi dinding yang cukup tinggi tidak dilakukan proses pemadatan yang benar, dan cenderung asal saja dipadatkan. Bahkan sepanjang pondasi dan dinding penahan tidak ada sulingan air, yang berfungsi memberikan “nafas” saat tanah sudah jenuh dengan air. Sehingga saat ada air yang terjebak dalam timbunan tanah bisa dikeluarkan lewat pipa sulingan air.
Apakah itu sebuah kesombongan yang dibalut dengan kesengajaan dalam sebuah pembangunan konstruksi dengan mengurangi angka koefisien dalam spesifikasi ? Sehingga diperoleh keuntungan yang berlipat kali ganda ? Atau, apakah kontraktor memanfaatkan kelemahan pemilik bangunan yang tidak menguasai pekerjaan teknik sipil, dan pasrah bongkokan dengan menyerahkan secara bodongan ? Entahlah. Tetapi yang jelas, di atas semuanya, yang terjadi tentu saja atas seijin Tuhan. Dan apakah ini sebuah peringatan ? Bisa jadi.
Karena, apapun itu, perjalanan hidup ini yang ditempuh lewat atas telapak kaki yang berpijak di atas bumi, semuanya tentu saja ada di dalam kedaulatan dan kendali Sang Khalik. Jadi teringat sebuah kalimat yang ada kaitannya dengan bangunan rumah. Sebab sesungguhnya, Tuhan memberi perintah, maka rumah besar dirobohkan menjadi reruntuhan dan rumah kecil menjadi rosokan.
Bisa tidak bisa, sepanjang perjalanan kehidupan, tanpa sadar seringkali manusia dengan type apapun, entah yang mengaku sudah beriman kepada Yang Maha Kuasa dengan kadar nilai yang setinggi langit, maupun yang beriman setengah-setengah, bahkan juga manusia yang bisa jadi tidak memiliki imanpun, pernah membuat sebuah kesombongan jasmani yang berselimut percaya diri dan kemampuan diri yang handal sesuai dengan kapasitas disiplin ilmu yang dimiliki. Atau juga membuat kesombongan rohani dengan berselimut ayat-ayat suci yang dimanipulasi untuk bisa meyakinkan orang lain, sekaligus untuk kepentingan pribadi, yang buntutnya buat mencari cuan. Semuanya bisa terjadi pada siapa saja, kapan saja dan dimana saja.
Mungkin sejenak terbersit, mungkinkah ? Tetapi menjadi sebuah ingatan di dalam peradaban manusia yang begitu heterogen, karena yang tidak mungkin bisa menjadi mungkin. Dan yang tidak bisa menjadi bisa. Seperti yang membuat geger dunia hukum beberapa waktu yang lalu yang berhubungan dengan pemilihan umum. Sungguh, kamu telah mengubah keadilan menjadi racun dan hasil kebenaran menjadi ipuh ! Ini benar terjadi dan bukan lagi sebuah drama korea yang mendadak trending. Inilah pembalikan keadaan.
Seperti saat membawa troli yang penuh belanjaan di supermarket di tengah-tengah puluhan manusia yang rela antri memborong bahan makanan untuk menyambut hari Natal dan Tahun Baru. Itu juga yang diperlukan di sekitar lingkungan, bagaimana menjaga dan membawa diri kita di dalam pergaulan dengan sesama dan tentu saja dengan Sang Pemilik Kehidupan. Karena pada dasarnya setiap kesombongan yang dibuat sendiri ataupun kesombongan dengan berjamaah, sama-sama memiliki konsekuensi di hadapan Tuhan.
Tanpa melalui protokoler resmi, penulis membuka status di whatsapp milik sahabat yang tiba-tiba muncul. Tertulis. Orang ini memegahkan kereta dan orang itu memegahkan kuda, tetapi kita bermegah dalam nama Tuhan, Allah kita. Dan itu bukan suatu kebetulan. Sungguh ini menyadarkan, kita bukanlah siapa-siapa di hadapan Tuhan. Begitu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H