Mohon tunggu...
Herman Utomo
Herman Utomo Mohon Tunggu... Penulis - pensiunan

mencoba membangkitkan rasa menulis yang telah sekian lama tertidur... lewat sudut pandang kemanusiaan yang majemuk

Selanjutnya

Tutup

Financial Artikel Utama

Utang...

5 Desember 2023   13:35 Diperbarui: 19 Desember 2023   01:04 426
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kata orang pengalaman adalah guru yang terbaik. Maksudnya mungkin dari pembelajaran pengalaman yang sudah dialami beberapa waktu sebelumnya, tidak bakal terulang kembali dengan cara penanganan yang sama alias jangan sampai kejedot kedua kali. Tetapi pada faktanya tidak sedikit pengalaman bukan menjadikan guru yang baik. Malah kadangkala menjadikan blunder.

Seperti halnya yang penulis alami beserta isteri yang main ke tetangga di rumah yang sekarang kami kontrakkan. Seorang ibu yang masih berumuran sekitar lima puluh tahun dan sudah ditinggal mati suaminya yang terkena lever, tiba-tiba saja menumpahkan tangisannya ke isteri yang terbengong-bengong dan penulispun menjadi terkaget kaget.

Di sela-sela tangisannya, dia bercerita kalau beberapa bulan ini hidupnya tidak tenang karena ditagih hutang oleh debt collector yang kadangkala menggertak serta mengancam hidupnya yang tinggal sendiri. Sementara anak, menantu dan cucunya tinggal di rumah sendiri yang agak jauh dari tempat tinggalnya.

Mencoba merunut kejadian dari awal yang boleh dikatakan tragis di tengah tangisan tetangga rumah kami yang lama. Sebut saja ibu ini si A. Ibu ini mempunyai sahabat baik yang bernama B.  Si A ini orangnya baik dan tidak tegaan dan tidak tegelan. Suatu kali si B memerlukan dana yang tidak cukup besar kalau dari ceritanya. Dan si B ini minta tolong kepada si A mencarikan bank titil alias rentenir yang rajin beranjangsana mencari mangsa.

pixabay.com
pixabay.com

Tanpa proses lama disepakatilah pinjaman oleh si B. Tetapi pada proses tagihan di bulan berikutnya sesuai dengan apa yang disepakati, ternyata yang didatangi oleh debt collector adalah ibu A ini. Dan ibu inipun mencak-mencak karena merasa tidak menerima uang pinjaman dari sang rentenir sepeserpun. Dan ibu A ini sampai tidak bisa berkata apa-apa, karena tidak menyangka kawan baiknya setega ini.

Menjadi ingat sejenak, waktu ibu A ini bercerita kepada isteri penulis, sebelum kejadian ini terjadi. Isteri penulis pernah memberikan pesan kepada tetangga kami ini, seperti ada tertulis. Jangan engkau termasuk orang yang membuat persetujuan, dan yang menjadi penanggung hutang. Tetapi ibu A ini berdalih kalau si B ini ini adalah sahabat dan tidak mungkin berbuat yang macam-macam.

Rasanya mungkin sepele. Apalagi merasa yang meminta tolong adalah saudara dekat, sahabat ataupun kerabat. Tetapi itu tidak menjamin akan beresnya pembayaran cicilan hutang yang sudah berjalan. Karena sekali lagi benar kata pepatah, dalamnya sumur bisa diukur, nasib orang siapa yang tahu.

Sejenak berhenti dari tangisan yang pertama, apakah ini pertanda uneg-unegnya tetangga rumah kami sudah terlampiaskan? Ternyata tidak. Sesaat, penulis menanyakan kelanjutan solusi masalah dampak dari si penanggung hutang, si ibu A ini malah menangis untuk kedua kalinya. Rupanya masih ada masalah lagi yang jauh lebih besar.

pixabay.com
pixabay.com

Tanpa memahami lebih detail duduk perkara yang sesungguhnya, si ibu A ini menyerahkan sertifikat rumahnya kepada keponakannya untuk dijadikan modal usaha dengan skema pembagian keuntungan yang rasanya bikin melek mata. Tetapi pada kenyataannya, seperti syair lagu tempo dulu. Memang lidah tak bertulang, tak berbekas kata-kata. Tinggi gunung seribu janji, lain di bibir lain di hati.

pixabay.com
pixabay.com

Kami berdua isteri tiba-tiba beradu pandang, dan menduga apa yang sedang terjadi. Dan ternyata benar tebakan kami. Si ibu A ini sekarang juga sedang ditagih debt collector, terkait pinjaman dengan jaminan sertifikat yang sudah tergadaikan. Kembali si ibu A ini mencak-mencak. Karena dia tidak menerima uang sepersenpun dari pinjaman yang sudah diproses oleh keponakannya tersebut.

Dan saat si ibu A ini bermaksud menjual rumahnya untuk menutup semua hutangnya, yang sekalipun sejujurnya dia tidak berhutang, ternyata apa yang dihadapi tidak semudah yang dia pikirkan. Karena ternyata sertifikatnya pun sudah berbalik nama ke orang lain. Sebuah hamparan kesuraman. Karena nila setitik rusak susu sebelanga. Apalagi nilanya seekor. Tragis.

Rasanya seperti terjerembab dalam lubang yang sama. Karena sebuah niat kebaikan dan ketidaktegaan, bisa menimbulkan kehancuran. Apakah ini yang namanya memanfaatkan kejujuran ataukah ini yang namanya mengambil kesempatan dalam kesempitan akan nilai sebuah kebaikan? Ataukah si ibu A ini yang gampang terperdaya? Entahlah.

pixabay.com
pixabay.com

Kata orang lagi, sekejam-kejamnya ibu tiri, lebih kejam ibu kota. Mungkin saja ini menjadi pigura kehidupan dengan kaca yang mulai retak. Bahkan sampai kami berdua mau pamit pulang, kami tidak bisa berkata apa-apa. Membayangkan bagaimana hidup dikejar-kejar hutang tanpa merasakan nikmatnya hutang itu sendiri. Mendadak teringat sebuah kalimat. Sesungguhnya engkau tidak akan keluar dari sana, sebelum engkau membayar hutangmu sampai lunas. Begitu.   

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun