Mohon tunggu...
Herman Utomo
Herman Utomo Mohon Tunggu... Penulis - pensiunan

mencoba membangkitkan rasa menulis yang telah sekian lama tertidur... lewat sudut pandang kemanusiaan yang majemuk

Selanjutnya

Tutup

Financial Artikel Utama

Utang...

5 Desember 2023   13:35 Diperbarui: 19 Desember 2023   01:04 426
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tanpa memahami lebih detail duduk perkara yang sesungguhnya, si ibu A ini menyerahkan sertifikat rumahnya kepada keponakannya untuk dijadikan modal usaha dengan skema pembagian keuntungan yang rasanya bikin melek mata. Tetapi pada kenyataannya, seperti syair lagu tempo dulu. Memang lidah tak bertulang, tak berbekas kata-kata. Tinggi gunung seribu janji, lain di bibir lain di hati.

pixabay.com
pixabay.com

Kami berdua isteri tiba-tiba beradu pandang, dan menduga apa yang sedang terjadi. Dan ternyata benar tebakan kami. Si ibu A ini sekarang juga sedang ditagih debt collector, terkait pinjaman dengan jaminan sertifikat yang sudah tergadaikan. Kembali si ibu A ini mencak-mencak. Karena dia tidak menerima uang sepersenpun dari pinjaman yang sudah diproses oleh keponakannya tersebut.

Dan saat si ibu A ini bermaksud menjual rumahnya untuk menutup semua hutangnya, yang sekalipun sejujurnya dia tidak berhutang, ternyata apa yang dihadapi tidak semudah yang dia pikirkan. Karena ternyata sertifikatnya pun sudah berbalik nama ke orang lain. Sebuah hamparan kesuraman. Karena nila setitik rusak susu sebelanga. Apalagi nilanya seekor. Tragis.

Rasanya seperti terjerembab dalam lubang yang sama. Karena sebuah niat kebaikan dan ketidaktegaan, bisa menimbulkan kehancuran. Apakah ini yang namanya memanfaatkan kejujuran ataukah ini yang namanya mengambil kesempatan dalam kesempitan akan nilai sebuah kebaikan? Ataukah si ibu A ini yang gampang terperdaya? Entahlah.

pixabay.com
pixabay.com

Kata orang lagi, sekejam-kejamnya ibu tiri, lebih kejam ibu kota. Mungkin saja ini menjadi pigura kehidupan dengan kaca yang mulai retak. Bahkan sampai kami berdua mau pamit pulang, kami tidak bisa berkata apa-apa. Membayangkan bagaimana hidup dikejar-kejar hutang tanpa merasakan nikmatnya hutang itu sendiri. Mendadak teringat sebuah kalimat. Sesungguhnya engkau tidak akan keluar dari sana, sebelum engkau membayar hutangmu sampai lunas. Begitu.   

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun