Sambil melihat langit yang tadinya berwarna biru dengan sinar matahari yang terik, penulis berbincang dengan tetangga depan rumah yang sama-sama berprofesi sebagai pensiunan. Sambil memberi makanan burung kesayangannya, dan sambil berdiri kami berdua berbincang mulai dari perubahan cuaca, masalah pemilu yang mulai banyak dramanya, penangkapan tetangga yang terindikasi jaringan teroris Jamaah Islamiyah, sampai akhirnya berkeluh kesah tentang biaya kuliah anaknya yang ambil fakultas kedokteran gigi di sebuah perguruan tinggi di  Yogyakarta.
Perlahan matahari mulai tertutup awan gelap, ketika keluhan tentang beratnya biaya pendidikan anaknya. Bukan karena tidak ada biaya. Tetapi karena suatu dan lain hal. Biaya yang dipersiapkan buat anaknya kuliah, ternyata dipinjam oleh tetangga yang masih tinggal dalam satu perumahan dengan nilai yang cukup amat besar. Dan uangnya itu tidak kembali sampai sekarang. Tentu saja ini membuat penulis kaget bukan kepalang dan tidak pernah menyangka.
Kayaknya tidak pernah terbersit sedikitpun, betapa kejamnya seseorang untuk memangsa orang lain, sekalipun itu tetangga sendiri. Dan dengan nilai cukup besar yang bernilai ratusan juta rupiah, tidak terbayang bagaimana emosinya tetangga penulis ini. Mungkin sebuah prinsip sudah biasa dilakukan oleh manusia model begini. Tidak hanya bertanya kepada diri sendiri, apa yang bisa dimakan hari ini, tetapi pertanyaannya adalah siapa yang gua makan hari ini. Teganya.
Mungkin tidak hanya gaya seperti ini yang terjadi dalam tatanan hidup kita. Bisa saja terjadi proses hutang-hutang yang muncul dengan berbagai variasi dan type sesuai dengan fungsi dan kegunaannya. Karena seyogyanya dalam menjalani kehidupan tidak semua orang bisa menjalaninya dengan rasa syukur dan menikmati apa yang ada di hadapannya yang jelas-jelas diagendakan oleh Sang Khalik.
Jadi teringat kepada seorang kawan yang berjenis kelamin perempuan. Beberapa kali melakukan hal yang sebetulnya tidak pas untuk dilakukan. Sudah beberapa bulan dia menunda pembayaran yang ditagihkan kepadanya. Sebetulnya nilainya tidaklah cukup besar. Karena yang dibeli dengan dana talangan hanya untuk dibelikan baju-baju ataupun iuran makan-makan. Tetapi ketika nilai itu berakumulasi berbulan-bulan, maka jadilah dia terkaget-kaget, dan menghindar dari pertemuan, saat ditagih. Padahal kawan penulis ini dan suaminya sama-sama bekerja dengan posisi jabatan dan penghasilan yang ada di atas upah minimum regional. Dan di atas kertas warna apapun, tentu saja dia sanggup membayar semua tagihan hutangnya.
Apakah memang hidup ini tidak lepas dari hutang ? Tunggu dulu. Karena tidak selamanya mendung itu kelabu. Ada memang yang mencoba hidup di atas pondasi gengsi. Entah itu mulai dari hutang kredit pinjaman online, paylater ataupun hutang kredit untuk motor, mobil, rumah bahkan untuk pesta pernikahanpun bisa jadi dengan hutang. Di satu sisi ada yang berargumen, kalau tidak ambil hutang atau kredit, gimana bisa diterima di lingkungan ? Atau ada juga yang memang berhutang karena memang tidak bisa menghindar dari hutang, akibat tekanan ekonomi yang bertubi-tubi.
Memposisikan diri dalam rimba bayangan hutang, sejauh manakah kita sudah sanggup untuk melunasinya, sekalipun dalam bentuk cicilan. Dua contoh di atas membuat penulis mengernyitkan dahi. Sebetulnya apa yang sudah dia tidak punya ? Dengan semua harta yang ada, sekalipun itu lewat hutang kredit. Ternyata yang dia tidak punya adalah tidak punya rasa malu. Dengan artian tidak punya lagi rasa malu untuk membayar cicilan tagihan yang datang kepadanya. Bahkan kalau bisa orang jawa bilang, saur padu (dibayar dengan amarah)