Salah satu kegiatan penulis di waktu pagi sebagai manusia yang sudah purna tugas adalah menyaksikan berita-berita yang beraneka rupa lewat media televisi. Tidak hanya terpaku pada salah stasiun swasta, tetapi menjelajah dari satu stasiun televisi ke stasiun televisi yang lain. Sekaligus membandingkan berita yang satu dengan berita yang lain. Siapa tahu ada yang hoax.
Sungguh menarik kalau bisa jeli menyaksikan aneka berita yang bersliweran. Ada beberapa kejadian yang penulis amati hari-hari belakangan ini, dimana rasanya manusia kekinian cepat sekali dikuasai oleh emosi dan dengan cepat melakukan sebuah tindakan arogansi yang mengutamakan egois diri sendiri. Sehingga mungkin di benaknya yang tergambar adalah manusia setengah dewa.
Bahkan dari akibat perbuatan yang dikuasai emosi tingkat tinggi, tidak jarang beberapa korban berjatuhan meregang nyawa. Sekalipun yang  berstatus meninggal hanyalah korban salah sasaran. Bisa dibayangkan bagaimana perasaan orang tua, suami, isteri atau siapapun itu, yang anggota keluarganya menjadi korban tanpa mengetahui sebab musababnya.
Dan ibarat menjadi bagian drama satu babak yang ujungnya sudah bisa ditebak. Bukan layaknya drama korea yang sedang trending di tengah masyarakat. Karena belum ketahuan siapa sutradara dan art directornya. Karena yang menjadi kenyataan di lapangan, dan itu sudah berulang kali diperagakan di depan awak media. Ketika pelaku ditangkap polisi, dihadapan awak media meminta-minta maaf sambil menangis-nangis. Pokoknya mengharu biru. Entah menangis serius atau menangis minta belas kasihan. Berbalikan dengan tampang garang dan sok arogan yang sebelumnya ditampilkan. Rasanya ini sebuah antiklimaks.
Memang, pada kenyataannya semua orang bisa marah. Semua orang bisa emosi. Semua orang bisa lepas kontrol dan bisa lepas kendali. Sehingga berasa tidak ada lagi sekat atau beton penahan diri lagi. Apa yang dilakukannya bisa saja terjadi tanpa menghiraukan keadaan di sekelilingnya, dan tanpa berpikir panjang lagi. Seorang manusia yang memiliki kadar iman yang tinggi kepada Sang Khalikpun bisa terpeleset dengan melakukan tindak kekerasan. Adakalanya mayoritas bisa memaklumi, padahal sejujurnya tidak ada dalam hatinya.
Sebuah kalimat pernah penulis baca di dalam sebuah peristiwa masa lalu. Masukkan pedang itu kembali ke dalam sarungnya, sebab barangsiapa menggunakan pedang, akan binasa oleh pedang. Kalimat yang demikian singkat rasa-rasanya bisa meredam kemarahan dan emosional, sehingga tidak berdampak pada kondisi yang lebih mengerikan lagi. Tentu saja, kalau manusianya ingat akan Tuhan Sang Pencipta dengan segala keberadaannya..
Karena sejujurnya, bagaimana perjalanan hidup kita di dalam mengarungi hari lepas hari bisa mengalami hal-hal yang di luar perhitungan matematis. Mungkin saja, begitu bangun tidur kita sudah diperhadapkan dengan suasana rumah yang membara. Selisih paham dengan suami/istri, anak, orang tua, mertua, dilanjutkan dengan suasana jalan raya yang krodit, lingkungan pekerjaan yang menekan, bahkan menemui komunikasi yang buntu dengan komunitasnya. Belum lagi tekanan ekonomi yang menghimpit. Itu semua bisa terjadi dan bisa membuat seseorang gelap mata dan sangat mudah naik emosinya.
Yang menjadi pertanyaan, seberapakah kita sudah bisa menahan emosi, berlaku sabar dan bisa menguasai diri dan mengendalikan diri dalam menghadapi segala situasi yang menekan hidup kita ? Atau masihkah kita dengan cepat ambil tindakan yang grasa grusu, yang penting kepentingan diri sendiri terpenuhi tanpa memikirkan nasib orang lain ?
Mungkin. disinilah pentingnya arti sebuah introspeksi diri di setiap langkah kita. Karena bisa jadi emosi yang tidak beraturan disertai timbulnya kemarahan yang meledak, Â justru karena ulah kita sendiri yang direspon oleh orang lain dengan cara yang berlawanan dan tidak terpikirkan oleh kita. Berhentilah marah dan tinggalkanlah panas hati itu, jangan marah, itu hanya membawa kepada kejahatan. Mungkin mulai dipikirkan lagi, apakah perlu minum obat penurun tensi setiap hari ataukah perlu bersujud di hadapan Sang Ilahi. Sambil bertanya, kita ini siapa ? Begitu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H