Mohon tunggu...
Herman Utomo
Herman Utomo Mohon Tunggu... Penulis - pensiunan

mencoba membangkitkan rasa menulis yang telah sekian lama tertidur... lewat sudut pandang kemanusiaan yang majemuk

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Seandainya...

28 November 2023   13:33 Diperbarui: 28 November 2023   13:40 122
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hari Senin sore kemarin, saat penulis menikmati secangkir kopi dan cemilan keripik kentang oleh-oleh dari Wonosobo yang disediakan isteri tercinta di tengah hujan rintik –rintik yang bikin hati jadi tambah syahdu, tiba-tiba terbersit di dalam hati yang menjadikan sebuah pertanyaan, kenapa ada orang yang hidupnya berkelimpahan bahkan rasanya berkat keuangan tidak habis buat tujuh turunan. Sedangkan kalau dilihat dari kehidupannya, bukanlah sosok yang rohani banget.

Mungkin ini terbawa dari hasil piknik bersama komunitas yang sudah bak keluarga sendiri. Dengan menyewa sebuah minibus di sebuah travel, kami menikmati perjalanan di hari Sabtu kemarin, menyusur Semarang-Temanggung-Wonosobo-Dieng. Cuaca yang hujan sejak memasuki Wilayah Wonosobo, membatasi ruang gerak untuk menikmati tempat wisata Telaga Menjer, Kebun Teh Tambi, Maha Sky Batu Angkruk di hari pertama. Mau tidak mau segera harus masuk villa, karena cuaca yang tidak memungkinkan. disamping suhu sudah menunjukkan sebelas derajat Celcius.

pixabay.com
pixabay.com

Menghabiskan malam minggu dengan menyusun ulang tempat persinggahan wisata buat esok hari dan sambil bertukar pengalaman dan melihat Dieng yang berkabut dengan villa-villa ala glamping yang sudah demikian banyaknya dengan  penghuni-penghuni yang rata-rata ber-plat nomor dari luar propinsi Jawa Tengah. Dan ditemani isteri-isteri yang sudah siap sedia membuatkan dengan mie godog dan kopi susu jahe. Dan dari sinilah perbincangan dimulai….

Senyatanya memang demikian, sekalipun kita melihanya dari sudut pandang manapun, entah pakai kacamata minus ataupun kacamata plus. Ada saja yang diperhadapkan di dalam kehidupan kita. Ada demikian banyak orang yang hidupnya berkelimpahan bahkan ibaratnya kekayaannya tujuh turunan tidak bakal habis dimakan rayap. Sekalipun dari sudut pandang rohani, hidupnya jauh dari Sang Khalik.

Perbincangan makin berlanjut di tengah guyuran hujan yang makin deras, yang membuat lubuk hati yang diselimuti perasaan yang terusik ini terus berlanjut. Karena kalau melihat faktanya di sekitar kehidupan kita, banyak yang hidupnya berkebalikan. Ada yang hidupnya rohani banget malah hidupnya di bawah standar. Bahkan bisa dikatakan hidup pas-pasan. Pas untuk makan, pas untuk beli sabun mandi dan pas juga menyambung hidup dan pas untuk bayar kontrakan. Orang Jawa bilang urip iku sawang sinawang.   

www.pexels.com
www.pexels.com

Dari fakta yang ada, ada pemikiran yang nyeleneh timbul. Kalau begitu kenapa hidup gak neko-neko sekalian ? Toh mereka yang hidupnya serong kanan serong kiri, jauh dari Tuhan bahkan tidak taat beribadahpun, hidupnya malah lebih enak ? Bisa jadi mungkin ini sebuah protes yang emosional tanpa batas dan melewati koridor yang Tuhan Semesta Alam maui. Ternyata ini membuat kopi yang penulis minum mendadak pahit.

  Dan sepertinya hidup ini jadi penuh kata seandainya. Karena dalam ruang lingkup yang lebih sempit, ada batasan-batasan sekaligus persyaratan yang harus dipenuhi dan dijalani, ketika berharap hidup dalam berkat yang berkelimpahan. Yang jelas harus setia di dalam ibadah kepada Sang Pencipta Alam Semesta, tidak hidup dalam penyimpangan dari segala perintah-NYA, dan tentu saja tidak menduakan Tuhan dengan berselingkuh dengan kekuatan lain. Memang tidak bisa menghindar dari kata seandainya.

Penulis jadi teringat kalimat bermakna yang ada di Kitab Suci. Engkau tidak akan mendapat ketenteraman diantara bangsa-bangsa itu dan tidak akan ada tempat berjejak bagi telapak kakimu; TUHAN akan memberikan di sana kepadamu hati yang gelisah, mata yang penuh rindu dan jiwa yang merana. Hidupmu akan terkatung-katung, siang dan malam engkau akan terkejut dan kuatir akan hidupmu. Pada waktu pagi engkau akan berkata : Ah, kalau malam sekarang! Dan pada waktu malam engkau akan berkata: Ah, kalau pagi sekarang! Karena kejut memenuhi hatimu, dan karena apa yang dilihat matamu.

www.pexels.com
www.pexels.com

Dan ayat ini tiba-tiba menjadi kejutan buat penulis. Jadi memang kadang kala kita terjebak dengan apa yang kita lihat dari kehidupan seseorang. Orang bilang hidup itu ada plus minusnya. Karena apa yang dilihat kita nyaman pada hidup  seseorang, belum tentu buat yang menjalaninya. Benar begitu ? Bisa jadi kita pernah punya pemikiran, ah seandainya aku berduit....atau ah seandainya aku punya waktu buat keluarga....atau ah seandainya aku didik anak-anak yang bener....

Perjalanan hidup kita dengan segala problematik yang ada di dalamnya membuat ke sebuah titik suhu yang meningkat, yang menyadarkan akan arti sebuah kehidupan. Sampai sejauh manakah kita mau berdiam diri di hadapan Tuhan dan menantikan DIA; jangan marah karena orang yang berhasil dalam hidupnya, karena orang yang melakukan tipu daya. Berhentilah marah dan tinggalkan panas hati itu, jangan marah, itu hanya membawa kepada kejahatan.

pixabay.com
pixabay.com

Apakah kita mau menikmati hidup, agar hidup lebih hidup ? Ataukah kita mau menjalani hidup dengan mengasihani diri sendiri ? Karena sejatinya kata seandainya akan menjadikan warna dunia menjadi abu-abu. Dan mendadak hujan turun begitu deras dan bikin mati lampu. Begitu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun