Hujan lebat yang turun semalam, rasanya membuat udara makin sejuk dan tidur penulis semakin pulas. Bangun tidur di pagi pun badan rasanya menjadi segar tidak berasa gerah seperti bulan-bulan sebelumnya. Berdua isteri yang sudah kembali pulih kondisi tubuhnya setelah sempat tumbang seminggu lalu, kami berjalan kaki mengitari perumahan ditemani juga dengan si Coco anjing kecil pomerian yang sudah berusia hampr tiga tahun.
Menikmati rimbunnya pohon-pohon pinus yang ada di kiri kanan jalan dan semburat cahaya matahari pagi yang bikin tubuh menjadi hangat dan berkeringat. Separuh langkah perjalanan, penulis diajak berbincang dengan tetangga yang sudah lama tidak berjumpa, setelah pada tahun dua ribu dua puluh ditinggal pergi isteri keharibaan-Nya karena serangan covid-19.
Sambil berdiri di tepi jalan di bawah sinar matahari yang mulai membuat keringat di badan makin deras membanjir, tetangga ini bercerita tentang pernikahannya yang baru saja dijalani tiga bulan lalu. Juga bercerita tentang anak-anaknya yang sudah bekerja dan memasuki dunia mahasiswa. Ada rasa kebanggaan yang terpancar di wajahnya.
Berkaca dari aneka kisah dan peristiwa yang pernah kita alami sepanjang perjalanan hidup, melewati hari lepas hari, adakalanya kita merasa bahwa memiliki sebuah kebanggaan perlu diceritakan kepada orang lain, tanpa maksud merendahkan pihak lain tentunya. Tetapi adakalanya maksud hati menceritakan sebuah kebanggaan menjadi kebablasan. Karena yang direspon lawan bicaranya adalah sebuah kesombongan yang sedang diungkapkan.
Bisa jadi memang kita tidak pernah berasa bahwa antara kebanggaan dan kesombongan itu beda-beda tipis alias sebelas dua belas. Baik dari sudut pandang dan dari sisi mana kita melihatnya. Ataupun respon dari kondisi hati yang sedang tidak dalam kondisi stabil. Semua bisa berganti dan berubah posisi.
Â
Ketika anak-anak kita kemarin menang di salah satu lomba di acara menyambut hari kemerdekaan, misalnya. Apakah itu sebuah kebanggaan ataukah menjadikannya sebuah kesombongan karena bisa mengalahkan peserta lain ? Begitu juga ketika anak-anak kita bisa masuk ranking tiga besar di sekolah, apakah itu menjadi sebuah kebanggaan ataukah berujung pada kesombongan karena menganggap sebagai manusia pintar dibanding murid yang lain ?
Ketika kita kemudian memasuki area pekerjaan dan dinyatakan lolos diterima di sebuah instansi/perusahaan dari ribuan pelamar, apakah itu menjadi sebuah kebanggaan ataukah menjadi sebuah kesombongan karena merasa berhasil bisa menyingkirkan saingannya ? Juga, ketika kita kemudian terpilih untuk menduduki posisi jabatan strategis dalam lingkup pekerjaan, apakah ini juga berujung pada kesombongan karena merasa lebih dari yang lain ?
Bahkan saat penulis memasuki dunia pensiun tanpa ada jejak rekam digital yang berwarna merah, inipun menjadi sebuah pertanyaan yang logis. Apakah itu juga termasuk kategori sebuah kebanggaan karena bebas dari panggilan penyidik, ataukah ini sebuah kesombongan yang perlu diceritakan bahwa penulis sudah merdeka dalam arti sesungguhnya ? Entahlah.
Tetapi Ini adalah sebuah fakta yang tidak bisa dipungkiri yang kadangkala tidak disadari oleh diri sendiri. Merasa bahwa itu semua yang menjadi kebanggaan sekaligus di balik kesombongan yang terjadi itu, karena hasil usahanya sendiri. Dan lupa ada siapa di balik semuanya itu. Karena saat itu yang digunakan ada pada sensor rasa, bukan sebagai wujud benda mati.
Tidak menutup kemungkinan juga, sepanjang menjalani perjalanan kehidupan yang sudah kita lalui, seberapakah kita mau bercermin dengan diri sendiri apa yang sudah kita lakukan ? Layaknya sebuah petuah yang kadangkala sering kita dengar tetapi sering dianggap angin lalu. Jangan sombong dengan apapun yang kamu punya karena Sang Khalik bisa saja mengambilnya dalam sekejap mata. Karena kadang Tuhan Semesta Alam tidak akan mengubah suatu keadaan yang terjadi di sekitarmu, karena DIA ingin mengubah yang ada dalam hatimu.
Sebab semua yang ada di dalam dunia, yaitu keinginan daging dan keinginan mata serta keangkuhan hidup, bukanlah berasal dari Tuhan, melainkan dari dunia. Dan memang pada kenyataannya, terkadang seseorang menjadi angkuh dan sombong saat ia merasa lebih dibandingkan sekitarnya. Namun ia lupa, kalau semua itu hanya sementara. Karena apa yang menjadi kebanggaanya tidak ada yang kekal.
Menjadikan sebuah pertanyaan, kepada siapa kita harus berbangga. Karena semua apa yang kita miliki bersumber dari Sang Pencipta. Dan itu semua karena Kasih Tuhan. Seperti pepatah katakan, ketika kamu sudah berada di puncak, ketahuilah tidak ada jalan lain lagi kecuali jalan untuk turun. Dengan kata lain, apakah masih merasa ingin menjadi manusia serba bisa dan tidak menganggap yang lain ? Begitu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H