Mungkin bagi orang lain, khususnya kawan-kawan di lingkungan dekat, bahkan mungkin diantara saudara-saudara keluarga sendiripun penulis seringkali membuat mereka kesal. Bagaimana tidak ? Jujur saja penulis sudah terbiasa sejak kecil dan diajar dari orang tua dan lingkungan sekolah yang mendidik untuk bisa tepat waktu dan menghargai yang namanya waktu. Jadi sebisanya penulis usahakan tepat waktu saat berjanji kepada sesama.
Tetapi di lain pihak, tidak semuanya kita bisa mengelola waktu dengan baik bukan ? Â Karena ketika kita sedang disibukkan dengan sesuatu hal, ada kalanya membuat kita lupa waktu bahwa sehari hanya ada dua puluh empat jam. Entah disibukkan dengan pekerjaan rutin di kantor, bisnis, kegiatan di rumah atau di sekolah ataupun yang lain. Kadang bisa terkaget-kaget kalau target mengejar dead line sudah mepet. Koq udah jam segini ya ?
Bahkan karena sibuknya dalam urusan target, apalagi target kejar setoran ke manager, pimpinan dan target setoran ke isteri di rumah. Semuanya bisa membuat kita sampai lupa makan, lupa waktu, lupa pulang ke rumah, lupa sholat, lupa berdoa, lupa membaca Firman Tuhan, Â dan lupa-lupa yang lain.
Membaca sebuah kalimat yang bisa bikin malu hati dengan diri sendiri. Bahkan burung ranggung di udara mengetahui musimnya, burung tekukur, burung layang-layang dan burung bangau berpegang pada waktu kembalinya, tetapi umat-KU tidak mengetahui hukum Tuhan.
Bukan berarti kemudian kita mengeluarkan jurus perngeyelannya, itu kan burung yang punya naluri dengan waktunya. Tidak juga. Karena semua apapun yang hidup di dunia tentunya akan tunduk kepada hukum alam. Terlebih juga harus tunduk pada hukum Tuhan. Sepertinya kita harus segera berkaca bukan pada cermin yang retak terbelah.
Seberapa lamakah kita disibukkan dengan aneka kegiatan ataupun pekerjaan yang menghasilkan cuan, sehingga tidak bisa berbagi waktu dengan suami, isteri, anak-anak bahkan kepada Sang Khalik yang mengendalikan waktu hidup kita ? Dan sudah merasa sebagai manusia setengah dewa yang mengagungkan posisi, jabatan dan kekayaan ?
Atau sebaliknya, kita malah merasa sudah berbagi waktu dengan Tuhan Semesta Alam dengan amat banyak, dengan berbagai kegiatan keagamaan yang terlanjur banyak diikuti, sehingga melupakan anak, isteri ataupun suami ? Apakah demikian adanya ? Padahal apa yang kita lakukan hanyalah sebatas tolok ukur dari diri sendiri. Sekalipun kesibukan nya itu atas nama pelayanan.