Sejatinya dunia ini penuh warna. Tidak melulu hitam dan putih. Malah seringkali muncul warna abu-abu yang sulit diterjemahkan ke dalam bahasa apapun. Apalagi pakai bahasa hati atau telepati, yang tidak semua orang memilikinya. Tetapi sesungguhnya itu nyata ada dan bukan hisapan jempol di dalam sejarah perjalanan kehidupan umat manusia.
Mungkin pernah diantara pembaca yang pernah mengalami kejadian seperti ini. Mencoba memberikan nasehat dan masukan kepada seseorang yang sedang menghadapi masalah, tetapi orang yang diberi nasehat atau masukan justru tidak menanggapinya dengan baik. Masih mending kalau yang diajak bicara matanya masih menatap mata kita. Tetapi justru yang terjadi adalah sikap yang meremehkan, dengan menunjukkan wajah yang aneh. Gimana rasanya ? Mangkel ?
Ini sebuah fakta. Jadi bukan khayalan dalam bingkai cerita, bukan juga hoax. Suatu kali, ini dialami oleh isteri penulis. Bermaksud baik untuk memberi masukan kepada seseorang, yang dianggap sudah demikian dekat hubungannya dengan isteri penulis, dengan maksud agar ke depannya tidak menimbulkan masalah yang berkepanjangan. Tetapi apa yang didapat justru kebalikannya. Orang tersebut justru berbalik dengan respon yang di luar dugaan. Bahkan cenderung menggurui isteri saya. Dan hal tersebut membuat tensi dan degub jantung isteri naik.
Saat penulis mendengar curahan hati isteri tercinta, penulis hanya hanya katakan, sambil menyeruput kopi pahit tanpa ada teman pisang goreng seperti biasanya. Kamu adalah ibarat tukang pos yang mengantarkan surat ke alamat seseorang. Ketika surat itu sudah diterima di tangannya, itu sepenuhnya menjadi haknya. Masalah surat itu mau dibaca, dilempar atau bahkan dibakar habis, itu bukan lagi tanggung jawabmu. Karena posisimu hanyalah pengantar surat atau penyampai pesan. Jadi tidak perlu mangkel, emosi, uring-uringan ataupun marah bak kebakaran jenggot .
Memang saat diperhadapkan seperti cerita di atas, kita bisa lepas kontrol bahkan terpengaruh dan terprovokasi akan jawaban-jawaban yang menyakitkan jiwa raga. Apalagi yang diajak bicara jam terbang rohaninya sudah demikian tinggi dan dengan kehidupan ekonominya di atas rata-rata. Sehingga tanpa sadar ada kecenderungan meremehkan dan menyepelekan masukan dan nasehat dari seseorang yang boleh dikata masih bau kencur ditambah lagi dengan standar ekonomi yang pas-pasan. Ini yang membuat seseorang terlihat jumawa.
Belum lagi kalau yang diberi masukan punya jabatan dengan kursi yang empuk, sehingga saking empuknya jadi lupa buat berdiri. Rasanya ini juga fakta yang ada di lapangan. Dan tidak bisa tidak, ini menjadi barometer kehidupan seseorang yang pada saatnya bisa berubah seratus delapan puluh derajat dari kehidupan yang lamanya. Tidak ada lagi warna hitam atau putih. Yang ada hanyalah warna abu-abu.
Â
Sebaliknya buat orang yang memberi masukan dan merasa tertolak, dengan kondisi yang ada di luar perkiraannya, biasanya akan lama menyimpan dalam hati rasa penolakannya, yang membuat munculnya bibit akar kepahitan. Rasanya kita perlu bersyukur karena di dunia ini penuh warna-warna bak pelangi yang bisa dijadikan petunjuk agar kita bisa meredakan rasa amarah yang memuncak dan bisa membuat pengendalian diri terwujud. Terlebih sudah memiliki kadar iman yang kuat kepada Sang Khalik.
Ini memang tidak sedang terkait masalah hak seseorang. Tetapi lebih cenderung kepada sikap hidup saat berhubungan dengan sesama antar umat manusia. Dan kembali ke cerita di atas, memang ada kecenderungan kelompok yang baik mendengarkan, atau yang tidak. Sepenggal cerita di atas, itu baru menunjukkan dengan hal yang berkaitan dengan konteks kedagingan dan nafsu duniawi. Bagaimana lagi kalau diperhadapkan dengan konteks yang berbau iman kerohanian dan Tuhannya, tetapi mendapat perlawanan dengan jawaban yang menohok ?
Sepertinya perlu bersekolah kembali dengan mata pelajaran budi pekerti dan sopan santun yang rasanya sudah hilang dalam tatanan kehidupan yang majemuk. Bagaimana pentingnya juga mengelola pengendalian diri dalam keseharian kita, agar kita tidak ikut larut dalam emosi saat berhadapan dengan seseorang yang menganggap dirinya selalu benar dan selalu di atas dan selalu tidak berkenan dalam menerima nasehat ataupun masukan yang posistip.
Seperti yang ada tertulis. Sampaikanlah perkataan-perkataan-KU kepada mereka, baik mereka mau mendengarkan atau tidak. Mendadak sebuah pertanyaan dari dalam lubuk hatipun muncul. Saya ini siapa ? Kamu itu siapa ? Kita ini siapa ? Begitu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H