Jaman penulis mulai menginjakkan kaki di kota gudeg sekitar tahun delapan puluhan untuk melanjutkan sekolah, rasanya ada yang makin berjarak dengan orang tua. Yang biasanya pulang sekolah bisa makan bareng dengan orang tua, sekarang tidak bisa lagi. Yang biasanya bisa bicara atas apa yang terjadi dalam keseharian di sekolah, termasuk masalah pacar juga tidak bisa lagi. Semuanya serba terbatas.
Dan menjadi sebuah episode kalau boleh dikatakan drama, tetapi yang tidak menghebohkan jagad raga dan jagad maya seperti sekarang ini. Karena saat itu episode demi episode yang terjadi semuanya dalam keadaan terang benderang, tanpa harus malu hati dengan bersembunyi di balik surat keputusan. Betapa tidak ? Karena pada masa itu teknologi belumlah semaju jaman sekarang.
Bayangkan saja, untuk mengetahui kabar orang tua di rumah, hanya bisa melalui surat yang harus ditulis rapi, karena jujur saja tulisan penulis seperti tulisan cakar ayam, istilah tempo dulu. Surat diberi amplop, ditempel perangko, yang mungkin generasi sekarang sudah tidak mengenal apa itu perangko. Dibawa ke kantor pos, dicatat dan ditanya mau yang biasa atau kilat khusus ? Tentu saja biaya yang kilat khusus lebih mahal dari pada surat berperangko biasa. Tibanyapun lebih cepat ke alamat, karena namanya saja kilat. Untung tidak terbakar.
Dan kalaupun ingin lebih cepat berkomunikasi harus datang ke kantor Telkom, mendaftar dan menunggu antrian untuk disambungkan oleh operator ke rumah orang tua. Itupun tidak sekali jadi tersambung. Karena bisa berulang kali mengengkol ataupun memutar piringan telepon yang bernomor. Belum lagi kalau kemudian ternyata di rumah sedang kosong, karena orang tua lagi pergi.
Itulah bagian episode yang menjadikan drama kehidupan yang realistis. Bukan ala drama korea alias drakor masa kini. Karena orang tua sering kali khawatir kalau tidak ada kabar dari penulis. Saat ditanya orang tua pas penulis pulang kampung, mengapa lama tidak ada kabar? Untuk meredam rasa marah orang tua, seringkali penulis menjawab, kalau tidak ada kabar berarti selamat. Dan orang tua hanya terdiam. Tetapi apakah betul demikian ?
Karena saat teknologi sudah demikian majunya, hingga setiap saat bisa bertatap muka dengan lawan bicara sekalipun nun jauh di luar pulau, bahkan di luar negeri. Apakah alasan itu masih bisa menjadikan senjata ampuh untuk menghibur orang tua yang rindu kepada anak-anaknya ? Tentu saja tidak. Dan apakah ini juga termasuk kategori drama masa kini ? Entahlah.
Bisa jadi kita sebagai orang tua, yang anak-anaknya sedang kuliah atau merantau di luar kota, di luar pulau atau di luar negeri pernah mengalami kegalauan yang sama, ketika beberapa hari tidak ada kabar dari anak-anaknya. Memang ada perbedaan sudut pandang antara generasi kita yang bisa dikategorikan angkatan senior dengan generasi milenial jaman sekarang. Bentukan lingkungan dan tatanan hidup yang berubah demikian cepat bisa mempengaruhi pola pikir anak-anak kita.
Seperti halnya perjalanan surat itu sendiri, entah digunakan sebagai alat bukti yang sah atau kemudian dibelokkan menjadi menjadi suatu keabsahan, sekalipun orang bisa menilai adanya ketidakbenaran. Sebuah penggalan kisah di dalam Kitab Suci bisa menjadikan mata batin bisa melihat dan telinga rohani bisa mendengar. Kemudian ia berkata kepada yang kedua: Dan berapakah hutangmu? Jawab orang itu ; Seratus pikul gandum. Katanya kepada orang itu : Inilah surat hutangmu, buatlah surat hutang yang lain : Delapan puluh pikul.
Mendadak dahi ini berkerut. saat membaca sepenggal kisah di atas. Menjadi sebuah pertanyaan dalam benak pikiran manusia normal. Surat siapakah yang paling hakiki di hadapan Sang Khalik ? Apakah surat dengan tangan tangan di atas meterai dan dilengkapi dengan stempel basah. Ataukah di sisi lain, orang yang berada dalam tekanan itu merupakan bagian Suratan Takdir di hadapan Tuhan ?
Menjadikan refleksi diri akan arti sebuah surat. Karena ibaratnya kamu adalah surat pujian kami yang tertulis dalam hati kami dan yang dikenal dan yang dapat dibaca oleh semua orang. Dan tidak bisa tidak, seberapapun sepak terjang kita dalam mengarungi kehidupan dengan tingkah polahnya serta gaya dan aksinya, itulah surat yang terbuka yang bisa dibaca oleh semua orang tanpa perlu memakai kacamata pembesar. Itulah fakta. Begitu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H